close
PCC-Acre
Ilustrasi PCC

Di akhir pekan ketiga September tahun ini (16/9), publik disuguhi berita di berbagai media mengenai pengepungan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI, kantornya berdekatan dengan LBH Jakarta) yang terletak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Pengepungan sejak Sabtu pagi terkait rencana seminar mengenai korban 1965 siang harinya.

Istilah “korban 1965” identik dengan silang sengkarut sejarah mengenai benarkah Orde Baru “membantai” bukan hanya anggota PKI tapi juga partisipan dan kelompok-kelompok yang diduga berhubungan seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Salah satu tokoh Lekra, Pramoedya Ananta Toer dipenjara di Pulau Buru tanpa diadili. Tentu yang lebih sadis adalah perkiraan hingga setidaknya setengah juta orang yang dibantai karena keterkaitan dengan PKI.

Kembali ke Menteng, Jakarta. Sangat disayangkan, pengepungan sejak Sabtu pagi tersebut diikuti penyerangan pada Minggu malam saat jadwal acara sudah bukan lagi seminar melainkan pagelaran musik.

Banyaknya massa yang berkumpul di depan kantor LBH Jakarta sejak Sabtu lalu tak lepas dari kabar dan ajakan di media sosial untuk menghentikan seminar mengenai korban 1965 di kantor LBH tersebut. Keterangan panitia dan polisi bahwa jadwal acara sudah berganti menjadi pagelaran musik (17/9) tidak digubris massa dari sejumlah ormas yang sudah mengepung sehari semalam hingga penyerangan terjadi.

Yang saya tahu begini, tiap tahun pasti ada saja pihak yang iseng menakut-nakuti bangsa ini terutama generasi pasca film Pengkhianatan G30S/PKI sudah tidak wajib diputar tiap malam 30 September. Kalau mau lebih serius, bukalah situs-situs yang menganalisis politik Indonesia. Di situs ini saya akan menguak tabir lini masa (time line) antara empat kejadian yang saya jadikan judul di atas.

Baca juga:  Pemerintah Jangan Jadikan Wabah Covid-19 Kesempatan untuk Sahkan RKUHP

Oke ya, setidaknya 16 September menjadi penanda kejadian keempat, yaitu isu PKI. Kemudian rekan-rekan tahu lah isu ini diarahkan ke mana. Atau tidak?

Dua hari sebelum kejadian di kawasan Menteng, Jakarta, (14/9) media massa kompak memberitakan puluhan remaja yang dilarikan ke rumah sakit di Kendari, Sulawesi Tenggara, lantaran mengonsumsi sejumlah pil yang selama ini memang dikenal untuk rekreasi remaja kelas bawah. Kalau remaja kelas menengah mungkin bisa ke night club, mereka ini cukuplah dengan ‘menekan’ beberapa butir pil obat batuk, ditambah obat Parkinson’s, dan PCC.

Ini kejadian serius karena setidaknya 76 remaja menjadi korban (5 meregang nyawa) penjualan obat-obatan yang seharusnya peredarannya diawasi pemerintah. Jumlah tersebut adalah yang dilansir Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara.

Dari kejadian Kendari ini ada satu obat bernama PCC yang menjadi perbincangan bahkan banyak yang menyebarkan hoaks tentang obat ini. PCC merupakan singkatan dari paracetamol (pereda nyeri), caffeine (stimulan, zat aktif dalam kopi), dan carisoprodol (pengendur otot). Carisoprodol bekerja mengatasi nyeri dengan mengatasi ketegangan otot.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI pun segera mengeluarkan pernyataan resmi bahwa institusi tersebut telah membatalkan izin edar 10 merek obat yang mengandung karisoprodol sejak 2013. Menurut badan tersebut, PCC atau obat yang mengandung karisoprodol yang beredar dan dikonsumsi puluhan remaja di Kendari itu adalah ilegal.

Baiklah, mungkin pembaca situs ini masih ada yang ingat pada era 1980-an terdapat obat legendaris di kalangan remaja zaman itu, namanya “BK”. Informasinya seliweran. Ada yang bilang BK itu singkatan dari Bandung Kina, tapi yang tak kalah konyol, konon BK ini adalah obat untuk menenangkan anjing. Ya, anjing, hewan berkaki empat yang sering distigma karena menyebarkan penyakit rabies dan kadang berisik tanpa sebab.

Baca juga:  Penjara Penuh Sesak, Keselamatan Warga Binaan Dipertaruhkan

Saya penasaran, kalau BPOM ditanya mengenai obat ini, mereka akan memberikan penjelasan apa? Bahwa obat itu sudah ditarik dari peredaran karena wabah rabies di Indonesia sudah bisa dikendalikan.

Tentu sebagai pemerhati media dan gosip nasional, rekan pembaca tahu ada satu pemberitaan besar dua hari sebelum kejadian PCC di Kendari, yakni tersangka kasus ujaran kebencian yang kebetulan salah satu tim sukses cagub DKI Jakarta 2017-2022 diketahui mengirim dana Rp75 juta ke pihak Saracen.

Buat yang tidak begitu peduli apa itu Saracen, saya kasih tau. Ini adalah sindikat kelompok pelaku kejahatan siber, kebetulan saja namanya Saracen (saya pun penasaran mengapa mereka memilih nama itu). Mereka menyediakan jasa menyebarkan kebencian melalui setidaknya 800 ribu akun media sosial.

Sepak terjang Saracen ini sebenarnya telah diusut polisi sejak akhir Agustus 2017. Namun yang heboh ya yang Selasa, 12 September itu. Sampai-sampai first lady kita, Iriana Joko Widodo turut disangkut-pautkan. Iriana diberitakan diserang melalui jaringan Saracen itu.

Tapi rekan-rekan tahu kan kalau sehari sebelum berita heboh Saracen itu adalah jadwal pemeriksaan Setya Novanto, Ketua DPR RI, yang telah menjadi tersangka kasus korupsi KTP elektronik. Dikabarkan, terdapat rombongan anggota DPR RI periode 2009-2014 yang menerima dana komisi proyek pembuatan KTP elektronik buat 200-an juta warga Indonesia.

Sebagai informasi, Novanto tidak menghadiri pemeriksaan tersebut karena sakit. Bahkan Novanto mengajukan praperadilan supaya status tersangkanya dibatalkan.

Baca juga:  Timnas Homeless World Cup Indonesia Tetap Berlatih Saat Ramadan

Saya bukanlah ahli opini publik. Saya hanya menuliskan saja kasusnya Setya Novanto yang terkait korupsi KTP elektronik, sehari setelah itu tidak ada kantor pemberitaan yang tidak turut meliput pengiriman dana puluhan juta rupiah ke Saracen. Dua hari pasca heboh penerimaan uang ke jaringan Saracen, semua media memberitakan puluhan remaja yang jadi korban konsumsi obat di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Bahkan khusus yang obat ini sampai disebarkan lewan pesan teks bahwa PCC juga dijual dalam kemasan kembang gula seharga Rp50 di sekolah-sekolah dasar. Oh ya, saya mau mengingatkan bahwa yang namanya penjualan narkoba (sindikat) mereka mencari untung besar. Kalau narkobanya diecer Rp50 per butir dan dijual dibanyak sekolah, apakah bisa menguntungkan?

Jawabannya tentu saja bisa.

Tapi rekan pembaca boleh tanya deh, apakah tiap anak SD akan membeli permen narkoba ini, belum lagi sindikat tersebut harus bersaing dengan permen mainstream yang sudah laku di pasaran?

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan rekan pembaca. Boleh-boleh saja Anda percaya bahwa rentetan kejadian yang telah saya jabarkan adalah strategi pemberitaan nasional untuk menutupi isu besar nasional lainnya. Istilah standarnya, “pengalihan isu”. Tapi tentu Anda berhak melihat lini masa pemberitaan tersebut sebagai rentetan kejadian. Yang penting jangan termakan hoaks kalau narkoba dijual di sekolah-sekolah dasar dengan harga murah. Rugi bandar!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

3 Comments

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.