close
WhatsApp Image 2019-05-30 at 16.32.32
Ilustrasi pengobatan Hepatitis C yang mahal. Foto: Gina AWP

Rumah Cemara (21/5) – Meskipun sudah mendekriminalkan kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi sejak 2001, Portugal masih menghadapi sejumlah masalah menyangkut kesehatan konsumennya. Penularan hepatitis C misalnya, masih banyak terjadi. Ditambah lagi, kebanyakan pengidapnya tidak menyadari kalau mereka sudah terinfeksi virus yang menyerang lever ini.

Hal tersebut diungkapkan Raditya, Koordinator Kemitraan Rumah Cemara, saat menjadi pembicara dalam diskusi komunitas yang rutin digelar Rumah Cemara di sekretariatnya, Jl. Gegerkalong Girang No. 52 Bandung, Selasa lalu.

Dalam diskusi yang berlangsung santai itu, Radit memaparkan sejumlah pembelajaran yang diperolehnya saat menjadi peserta International Harm Reduction Conference di Porto, Portugal, 28 April hingga 1 Mei 2019 lalu. Menurutnya, masalah narkoba atau NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) adalah masalah yang kompleks. Masyarakat perlu mendapat pendidikan secara massal sehingga masalah kesehatan dan kesejahteraan konsumennya lebih diperhatikan.

Di hadapan belasan peserta diskusi, Radit juga mengulas sejumlah persoalan kesehatan yang dihadapi konsumen NAPZA, termasuk di Indonesia. Ia mencontohkan, para pengidap hepatitis C di Indonesia belum mendapat perhatian yang penuh dari pemerintah. Obat hepatitis C cukup sulit diperoleh dan harganya tergolong mahal.

RS Hasan Sadikin Bandung pernah melaksanakan program pengobatan hepatitis C menggunakan kombinasi obat bernama sofosbuvir dan daclastavir sepanjang 2017-2018. Efektivitas kombinasi obat ini untuk melenyapkan virus hepatitis C dari dalam tubuh mencapai 95 persen. Efek sampingnya pun minim dan yang lebih penting, biayanya jauh lebih terjangkau dibanding dengan obat generasi sebelumnya.

Baca juga:  Kedaulatan Bangsa untuk Pengendalian Narkoba di Indonesia

Saat India memproduksi versi generik sofosbuvir pada 2015, pengidap hepatitis C di seluruh jagat bisa membeli obat itu seharga 5-10 dolar AS per butir dari yang tadinya seribu dolar AS per butir saat masih diproduksi perusahaan farmasi di AS, Gilead, sejak 2013.  Gambarannya, selama 3 bulan atau 12 minggu terapi berarti pasien minum 84 butir obat. Dengan harga seribu dolar AS per butir, maka dana yang dibutuhkan, 84.000 dolar AS atau 1,1 miliar rupiah dengan kurs US$1 = Rp13.000.  Bandingkan dengan obat yang diproduksi saat ini! Pasien hanya butuh 9,8 juta rupiah untuk terapi selama 12 minggu.

Sayangnya program pengobatan tersebut di Indonesia tidak berkesinambungan. Hal ini disebabkan oleh buruknya pengelolaan dukungan donor dari sejumlah pihak termasuk dari kementerian luar negeri negara-negara sahabat dan sejumlah ornop internasional.

Seharusnya dengan terobosan ini, negara-negara yang banyak memiliki pengidap hepatitic C bisa memanfaatkan bantuan yang disediakan berbagai organisasi baik pemerintah maupun nonpemerintah tadi. Tidak hanya mencari pengidap dan mengajaknya untuk mengikuti pengobatan, tapi juga supaya para pengidap sadar dan akhirnya memeriksakan virus yang diidapnya tersebut lalu mengikuti terapi untuk kesehatannya sendiri.

Pada 2017-2018, RS Hasan Sadikin hanya mengandalkan petugas-petugas pendampingan yang dibayar untuk menurunkan prevalensi HIV di Jawa Barat. Petugas-petugas tersebut semuanya bekerja di organisasi-organisasi nonpemerintah yang kebetulan mendapat proyek supaya semakin banyak orang yang melakukan tes HV, mengikuti terapi ARV, serta terlibat aktif dalam terapi sehingga di masa tertentu pascaterapi ARV HIV tidak lagi terdekteksi dalam darahnya.

Baca juga:  PBB Desak Penutupan Pusat Rehabilitasi dan Rumah Tahanan Kasus Narkoba

Ini dikenal sebagai strategi 90-90-90, yakni supaya 90 persen orang yang pernah atau rutin melakukan perilaku berisiko tertular HIV melakukan tes untuk memastikan keberadaan HIV dalam tubuhnya; lalu dari semua yang melakukan tes itu 90 persennya mengkuti terapi ARV supaya virus dalam tubuhnya tidak berkembang biak sehingga jumlahnya tidak mampu untuk bisa menginfeksi orang lain; dan dari jumlah yang ditargetkan mengikuti terapi ARV, 90 persennya tidak mengidap virus yang cukup untuk mengingfeksi. Istilah lainnya adalah, virus HIV dalam darahnya tidak terdeteksi. Strategi 90-90-90 ini ditargetkan terjadi pada 2020. Radit pun merasa kalau target yang ditetapkan PBB melalui UNAIDS ini teramat ambisius!

Sebagai tambahan informasi, Global Fund for AIDS, TB, & Malaria (GF-ATM) yang dananya berasal dari negara-negara G-20 merupakan sumber dukungan terbesar untuk penanggulangan AIDS di dunia saat ini termasuk di Indonesia. Negara kita sendiri merupakan anggota G-20.

Hal lain yang menjadi pembahasan menarik sore itu adalah tata cara pertolongan pertama pada kejadian overdosis narkoba. Radit menyatakan, walaupun informasi mengenai cara pertolongan pertama pada kasus overdosis narkoba sudah diketahui, terkadang orang mengalami kepanikan sehingga korban tidak dapat tertolong.

“Naloxone harus segera diberikan kepada korban, jika ia mengalami overdosis,” tambahnya. Obat ini adalah penawar racun jika seseorang mengonsumsi heroin secara berlebihan. Walaupun demikian, karena merupakan antagonis opioid, naloxone tidak bisa digunakan untuk mengatasi kelebihan dosis amfetamina atau metanol yang terkandung dalam minuman oplosan misalnya.

Baca juga:  Mencegah Kematian akibat Overdosis Putau

Pada akhir diskusi, Radit mengutip kalimat yang disampaikan Prof. Carl Hart, seorang ahli dari Universitas Columbia, Amerika Serikat yang menyampaikan pidato penutupan konferensi internasional  itu. Profesor berambut gimbal itu mengatakan para konsumen narkoba sudah saatnya untuk speak up. Artinya, mereka harus mulai bersuara dan menunjukkan bahwa mereka bisa bekerja secara normal dan berprestasi.

Eric Arfianto

The author Eric Arfianto

Penggiat internet, web master, old doggies skateboarder, hobi musik dan film horor.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.