close
559d2861ecad04cb1242a3ba-750-506
Ilustrasi konsumen putau dengan cara suntik (Foto: Business Insider)

Putau alias heroin yang nama generiknya diacetylmorphine kembali marak di pasar gelap narkoba Bandung. Kondisi serupa bisa dipastikan terjadi juga di kota-kota Indonesia lainnya.

Keberadaan putau sempat lama menghilang. Setidaknya sepanjang 2017-2018 saya tidak mendengar kabar ada yang mengonsumsinya. Kalaupun ada, harganya tidak masuk akal. Berapa? Saya juga malas membahasnya. Sebab, kalaupun ada yang bilang misalnya Rp5 juta per gram, belum tentu barangnya ada, dan yang pasti uangnya juga nggak ada!

Anggaplah tahun kemarin itu, narkoba ilegal yang tersedia di pasar gelap hanya sabu-sabu (metamfetamina kristal), pil ekstasi, ganja, dan sebagian sinte baik dalam bentuk tembakau maupun cairan rokok elektrik. Tersedia bukan berarti kamu bisa datang ke bandarnya, kasih uang, dan langsung dapat barang seperti belanja di toko. Sering kali, kamu harus menunggu seharian, menahan kesal kalau mutunya jelek, serta ikhlas kalau orang yang kamu berikan uang tidak bisa kamu hubungi lagi. Namanya juga pasar gelap!

Geliat peredaran narkoba dengan rumus kimia C21H23NO5 ini sudah saya tengarai sejak pertengahan Desember lalu. Waktu itu, saya dapat kabar duka dari Bali. Teman saya yang pernah lama tinggal di sana, ditemukan tewas di sebuah kamar penginapan bersama puluhan gram putau yang belum disuntikkan. Kabarnya, dia beli di Hotel K sekalian menghadiri Djakarta Warehouse Project. Itu lho, festival rave yang katanya terbesar se-Asia tapi di tahun kesepuluhnya harus diungsikan dari Jakarta.

Kemarin saya dengar dari teman yang baru mudik ke Bogor, di sana putau dijual Rp70 ribu per sekali suntik. Harganya memang ditetapkan suka-suka si penjual. Di Bandung sendiri ada yang menjual per plastik (paket) Rp300 ribu. Itu kira-kira bisa disuntikkan 1-3 kali.

Situs informasi pasar gelap global Havocscope menyebutkan, harga heroin di Indonesia US$98.95 per gram. Kalau dikonversi ke rupiah menjadi Rp1.417.591,31 atau kita bulatkan saja jadi Rp1,5 juta per gram.

Sebuah kajian di Swiss mengenai dosis heroin untuk pecandu opioid kronis menyatakan, konsumsi harian putau rata-rata adalah 474 mg untuk disuntik dan 993 mg untuk diisap asapnya. Itu berarti dalam sehari seorang pecandu membutuhkan rata-rata hampir setengah gram kalau mau disuntikkan dan hampir satu gram kalau dibakar lalu asapnya diisap.

Efek heroin bisa dirasakan antara 4-5 jam. Artinya seorang konsumen kronis harus menyuntik setidaknya empat kali untuk 16 jam waktu terjaganya – 8 jam untuk tidur. Dengan demikian, dosis per sekali suntik rata-rata konsumen kronis adalah sekitar 0,12 gram.

Baca juga:  Cara Memenangi "Perang terhadap Narkoba"

Perhatian saya pada tulisan ini adalah, pertama apakah benar harga putau sekarang sudah lebih murah dibanding opioid lainnya; terutama metadon hidroklorida yang bisa ditebus dengan Rp15 ribu berapapun dosisnya di RS Hasan Sadikin Bandung atau Rp7 ribu di puskesmas wilayah Kota Bogor? Lalu kedua, atas maraknya putau belakangan ini, apa yang perlu dilakukan supaya kejadian seperti akhir 1990-an, yakni melonjaknya penularan virus darah dan kematian-kematian akibat overdosis tidak terulang?

Ketersediaan dan Harga

Yang sebenarnya terjadi saat ini adalah euforia mantan pecandu atau pasien terapi rumatan opioid atas lebih mudah diperolehnya putau ketimbang setahun lalu. Ya, setidaknya sejak enam bulanan lalu waktu saya menerima kabar duka dari Bali, bandar sudah kembali memasarkan putau.

Kenapa mereka kembali memasarkannya di sini? Ini butuh jawaban panjang. Untuk mempersingkat, jawabannya adalah laba yang tinggi dan lebih rutin ketimbang penjualan narkoba lainnya.

Di tingkat pengecer saja, dari satu gram putau yang mereka beli dengan harga eceran yang Rp1,5 juta itu, mereka bisa membaginya jadi 50 paket sekali pakai seperti yang teman saya bilang di Bogor dijual Rp70 ribu. Itu berarti tiap paket berisi 0,02 gram dan bila terjual semua, maka terkumpullah dana Rp3,5 juta.

Untuk konsumen yang sudah lama ‘puasa’, menyuntik 0,02 gram putau sudah cukup untuk membuat mereka garuk-garuk hidung dan merasakan sensasi kehangatan opioid di tubuh.

Tapi masalahnya begini, heroin itu adalah narkoba dengan tingkat toleransi tertinggi di antara narkoba populer lain seperti kokaina, alkohol, apalagi ganja. Tingkat toleransi maksudnya, tubuh membutuhkan jumlah narkoba yang lebih banyak untuk mencapai efek pada konsumsi sebelumnya. Hal ini diungkap oleh Dr. Jack E. Henningfield dari National Institute on Drug Abuse di AS sana bersama rekannya dari Universitas California San Fransisco, Dr. Neal L. Benowitz pada 1994.

Selain toleransi, mereka memeringkatkan heroin bersama lima narkoba populer lainnya untuk tingkat ketagihan, gejala putus zat, ketergantungan, dan efek terhadap kesadaran konsumennya.

Tidak butuh waktu lama paket putau yang Rp70 ribu itu tidak lagi bisa dirasakan tubuh.

Apalagi yang diperoleh dari pasar gelap, putau yang diresepkan secara resmi di Swiss saja rata-rata dosis sekali suntiknya 0,12 gram walaupun itu untuk pecandu kronis. Dengan putau yang tidak jelas mutunya, dosis yang dibutuhkan konsumen tentu akan cepat meningkat. Mereka akan lebih sering menyuntikkannya.

Baca juga:  Penghilangan Paksa: Akankah Jokowi Mengakhiri Kejahatan Mengerikan Ini di Eranya? (Sambungan)

Kalau untuk rekreasi, seminggu sekali misalnya, ini masih masuk akal walaupun penghasilan kita pas-pasan. Sekali konsumsi Rp70 ribu, Teman! Harganya setara dengan dua botol kecil bir dingin yang tempat penjualannya makin langka saja.

Untuk orang-orang macam saya yang tidak bisa mengendalikan konsumsi putau, ketersediaan dan harga narkoba itu sekarang tetap jadi masalah.

Saya sangat yakin mutu putaunya buruk. Maklumlah bandar mau untung besar. Mereka mencampur diacetylmorphine dengan banyak bahan lain yang bisa larut di air supaya bisa disuntikkan. Setelah lama tidak konsumsi putau, omong-omong saya pernah mencobanya lagi. Dan betul saja, tak sampai seminggu, dosis yang saya butuhkan mencapai setengah gram untuk maksimal dua hari.

Kalau saya kembali menyuntik putau sekarang, artinya saya butuh dana Rp1,5 juta setiap empat hari. Itupun kalau mutunya sedang. Kalau mutunya buruk, tentu saya harus lebih sering menyuntikkannya. Bisa jadi tiap dua jam. Alhasil, semakin cepat pula saya menghabiskan komoditas ini dan tentu saja uang saya.

Saya bisa mengatakan hal seperti ini karena sejak 2003 Pemerintah RI sebenarnya telah menyediakan terapi substitusi opioid menggunakan metadon hidroklorida berbentuk sirup. Saya pernah memanfaatkan layanan ini.

Menurut Laporan Perkembangan HIV-AIDS & IMS dari Kementerian Kesehatan RI (2018), saat ini layanan yang dikenal sebagai Program Terapi Rumatan Metadon ini tersedia di 92 tempat, baik rumah sakit, puskesmas, maupun klinik di lapas dan rutan di seantero negeri.

Saya kembali akan membuat perbandingan dengan yang terjadi di Bogor, yang kabarnya putau di sana dijual Rp70 ribu per sekali suntik. Di kota itu setidaknya ada dua puskesmas yang menyediakan layanan terapi metadon dengan tarif Rp7.000 untuk berapapun dosis yang dikonsumsi. Narkoba ini standar mutunya terjamin, produsennya BUMN, dan diserahkan lewat sistem kesehatan masyarakat dengan harga yang standar pula.

Efek opioid (heroin, morfina, dan turunan opium lainnya) metadon memang baru dirasakan tubuh setelah 30 menit dikonsumsi. Berbeda dengan putau yang begitu disuntikkan ke urat, langsung terasa. Tapi efek metadon bisa dirasakan hingga 36 jam. Kamu hanya cukup bayar Rp7 ribu untuk merasakan khasiat yang sama dengan putau untuk seharian.

Konsumsi metadon di sebuah puskesmas (Foto: Kupatt)

Konsumsi putau di Bogor sesuai informasi dari teman itu, hanya untuk efek yang dirasakan setidaknya dua jam karena mutu dan siapa produsennya tidak jelas. Untuk terus merasakan efeknya selama 16 jam waktu terjaga berarti dibutuhkan delapan kali suntikan yang menghabiskan biaya Rp560 ribu.

Baca juga:  Perspektif Antropologi dan Kedokteran Adiksi untuk Revisi UU Narkotika

Saya merasa program pemerintah sejak 2003 yang menyediakan terapi pengganti opioid dengan sirup metadon hingga di tingkat puskesmas kelurahan sudah tepat untuk melawan pasar gelap putau.

Namun saya mengkritik praktik sebagian besar penyedia layanan ini ketika menerima pasien baru yang ingin segera mengalihkan konsumsi putaunya ke metadon di fasilitas kesehatan resmi. Pasien harus melalui dosis yang diberikan bertahap-meningkat, dimulai dengan dosis rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan opioid sang pasien yang mungkin mencapai setengah gram heroin per hari seperti yang pernah saya alami.

Akibatnya, karena masih merasakan sakit akibat putus putau di sekujur tubuh dan ketidaknyamanan pikiran meski sudah minum metadon, mereka tetap akan mencari narkoba di luar layanan resmi untuk membuat dirinya ‘normal’. Kalau sudah begini, putau dan sejumlah pil benzodiazepine menjadi pilihan. Tak heran bila kemudian dosis metadonnya sudah stabil, mereka tetap membutuhkan benzodiazepine agar pikirannya bisa nyaman.

Mencegah Penularan Virus Darah dan Kematian akibat Overdosis

Selain terapi rumatan metadon, pemerintah pada pertengahan 2000-an juga menyediakan layanan alat suntik steril. Ini dilakukan supaya para konsumen putau terhindar dari penularan virus darah seperti HIV atau hepatitis C dengan menggunakan alat suntik steril.

Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 yang dilansir Kementerian Kesehatan RI, terdapat 194 puskesmas yang menyediakan layanan alat suntik steril di negeri ini.

Di saat peredaran putau marak lagi seperti sekarang, dinas kesehatan dan jajarannya di puskesmas perlu lebih siaga. Tidak perlu lah birokrasi yang berbelit-belit saat seorang konsumen putau hendak memperoleh alat suntik steril. Pasalnya dengan mutu putau yang beredar saat ini, penyuntikan dilakukan lebih sering yang berarti lebih banyak alat suntik steril yang diperlukan. Hal tersebut harus dilakukan supaya penyuntik putau ini tidak menggunakan alat suntik secara bergantian.

Setahu saya, program penanggulangan HIV-AIDS di tingkat kabupaten/ kota sampai tahun lalu masih menganggarkan kebutuhan alat suntik steril ini. Stoknya pun masih tersedia di gudang-gudang dinas kesehatan.

Layanan alat suntik steril di puskesmas untuk mencegah penularan HIV di kalangan konsumen narkoba (Foto: KPA Jabar)

Selain terapi metadon dan layanan alat suntik steril yang telah menjadi program pemerintah sejak pertengahan 2000-an untuk melawan pasar gelap opioid sekaligus mencegah penularan virus darah, ada satu lagi isu yang lebih gawat seiring maraknya lagi putau. Ini berkaitan dengan perilaku menyuntik putau yang sudah lama tidak dilakukan konsumen, yakni risiko kematian akibat overdosis.

Untuk mencegah dampak buruk konsumsi putau yang paling parah ini, kamu bisa membacanya di sini.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.