close
man-smoking-meth-680×350
Ilustrasi konsumsi sabu, metamfetamina kristal (Foto: D.A.M Home Inspection)

Saat mengonsumsi narkoba ini, tangan saya tidak bisa diam. Sedotan saya gunting dan sambung sedemikian rupa. Begitu pula dengan kertas aluminium dan tisu. Benda apapun yang terlihat, pasti jadi sasaran. Saya seperti sedang melakukan tugas prakarya dengan serius. Tapi tidak jelas apa yang dihasilkan. Malah, benda-benda hasil gunting-sambung tadi akhirnya dibuang karena saya anggap nirfaedah.

Waktu itu pengujung 1996. Teman saya yang berpengalaman dengan konsumsi sabu bilang, efeknya memang bikin ribet.

Efek ribet sabu yang tak akan saya lupakan adalah saat konser Arkarna, grup musik asal Inggris di Jakarta, September 1998. Sehari sebelumnya saya nyabu. Malamnya tidak tidur. Sebelum berangkat ke tempat konser pun saya masih sempat melakukan beberapa isapan.

Saat band pembuka, The Fly manggung, kacamata saya jatuh. Gagangnya patah. Mulailah saya melakukan tugas prakarya macam tadi, membetulkan gagang kacamata itu. Saking seriusnya, Arkarna pun tidak saya tonton. Saya malah asyik duduk di pojok ruangan, ngoprek kacamata yang tidak berhasil tersambung sampai gedung pertunjukan sepi. Sialan!

Selain ribet berprakarya, efek konsumsi sabu yang saya rasakan adalah tidak bisa tidur. Sabu juga tidak membuat saya merasa melayang. Padahal saya sudah banyak menghirup asap hasil pembakarannya. Ini berbeda dengan narkoba lain. Mengisap rokok pun bahkan sering membuat saya merasa melayang, kepala puyeng walaupun sebentar.

Atau, saya dapat merasakan perubahan suasana hati setelah beberapa kali menyesap minuman beralkohol. Saya jadi lebih bisa mengungkapkan isi pikiran, termasuk tertawa lepas. Tapi tidak dengan sabu. Ya, mungkin saya tidak menemukan apa yang saya cari dari konsumsi narkoba jenis ini.

Orang seperti saya pasti banyak. Buktinya, konsumen sabu di Indonesia masih kalah jumlah dengan konsumen ganja yang juga merupakan narkoba ilegal. Apalagi dibandingkan dengan jumlah perokok.

Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan, narkoba berbentuk kristal bening ini dikonsumsi oleh 850 ribuan penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun pada 2017. Sebagai perbandingan, konsumen ganja di tahun yang sama mencapai 1,7 jutaan jiwa.

Dari 850 ribuan konsumen tersebut, salah satunya adalah Fariz RM. Musisi kawakan itu membeberkan alasannya mengonsumsi sabu untuk daya tahan tubuh karena banyaknya pekerjaan, sedangkan usianya sudah 59 tahun. Hal itu disampaikan Argo Yuwono, Humas Polda Metro Jaya pascapenangkapan pencipta sekaligus pelantun Sakura (1980) dan Barcelona (1988) itu, Jumat lalu (24/8).

Baca juga:  Napas Rokok dalam Revolusi Mental Jokowi

Tidak bisa dimungkiri, sabu memiliki sejumlah khasiat bagi tubuh, salah satunya adalah merasa berenergi. Khasiat seperti ini sebenarnya juga serupa dengan konsumsi kopi.

Kafein yang terkandung dalam kopi dan metamfetamina atau zat aktif sabu adalah sama-sama stimulan. Jenis zat ini merangsang susunan saraf pusat sehingga mempercepat detak jantung dan meningkatkan keterjagaan (“membunuh” kantuk dan rasa lelah). Karena itulah sabu populer dikonsumsi untuk menunjang profesi sebagian kalangan.

Dalam dunia olahraga, kita mengenal “doping”. UNESCO mendefinisikan istilah ini sebagai pemanfaatan obat atau cara-cara terlarang untuk meningkatkan hasil latihan dan pertandingan seorang atlet. Sabu banyak dikonsumsi sebagai doping oleh sejumlah pekerja agar mampu mengerjakan tugasnya dengan waktu yang lebih panjang.

Popularitas sabu dibandingkan narkoba lain di Indonesia tidak terlepas dari khasiatnya yang telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu.

Metamfetamina disintetiskan dari efedrin, alkaloid yang terkandung dalam tanaman Ephedra sinica. Di Tiongkok, zat dari tanaman ini telah dimanfaatkan untuk pengobatan asma dan infeksi-infeksi saluran pernapasan bagian atas sejak dua ribu tahun lalu.

Khasiat efedrin (dan pseudoefedrin) adalah perangsang dan termogenik. Senyawa ini merangsang otak, meningkatkan detak jantung, meningkatkan tekanan darah, dan membuat bernapas jadi lebih mudah. Khasiat termogeniknya meningkatkan metabolisme yang ditunjukkan oleh peningkatan suhu tubuh.

Dalam pengobatan modern, zat aktif itu dimanfaatkan untuk mengatasi kelebihan berat badan, antiasma dan hidung tersumbat, pengobatan gangguan hiperaktif atas lemahnya atensi (ADHD), serta rekreasional termasuk meningkatkan kesenangan seksual.

Pervitin, ‘doping’ tentara Jerman di Perang Dunia II (Foto: Flickr)

Saat Perang Dunia II berkecamuk, serdadu termasuk pilot tempur Jerman dibekali pil metamfetamina bernama Pervitin agar mampu berperang lebih lama, bersemangat, dan tidak begitu mencemaskan keselamatan diri (Ulrich, 2005).

Khasiat pil yang dilansir militer di bawah kepemimpinan Adolf Hitler itu serupa dengan adrenalin yang diproduksi tubuh, yakni memacu kewaspadaan. Buat kebanyakan orang, zat ini meningkatkan kepercayaan diri, konsentrasi, serta kesediaan mengambil risiko yang secara bersamaan mengurangi sensitivitas terhadap nyeri, lapar, dan kebutuhan untuk tidur.

Baca juga:  Konsumsi Miras Yang Lebih Aman

Usai perang, pekerja-pekerja di Jepang mengonsumsi metamfetamina demi meningkatkan produktivitas dan mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi.

Di awal 1950-an, Kementerian Kesehatan Jepang menerbitkan serangkaian aturan untuk menghentikan produksi serta penjualan stimulan tersebut. Bagaimanapun, metamfetamina terus beredar melalui pasar gelap yang dikendalikan organisasi kejahatan seperti Yakuza. Dari sinilah nama pasar gelap untuk metamfetamina, seperti shabu dan speed mulai digunakan dan populer hingga kini (Tamura, 1989).

Obat ADHD yang banyak dimanfaatkan untuk diet di Amerika (Foto: Bitcoins Drugstore)

Sebelum sabu populer dan menjadi objek UU Psikotropika 1997, amfetamina sebenarnya cukup dikenal sebagai pelangsing. Obat berbentuk pil atau cairan suntik ini juga kerap dikonsumsi sejumlah mahasiswa supaya bisa mengerjakan tugas kuliah semalam suntuk. Selain sesuai ketentuan medis, amfetamina generik bisa diperoleh di apotek dan bahkan tanpa resep di sejumlah salon kecantikan pada masa itu.

Popularitas sabu juga ditentukan oleh kondisi sosial-politik berupa sebuah kebijakan yang populer. Alih-alih merevisinya agar mengedepankan kesehatan masyarakat akibat maraknya penularan HIV sesuai ketetapan Sidang Umum MPR Tahun 2002, mayoritas anggota DPR dan Presiden hanya mengesahkan UU Narkotika dengan hukuman yang diperberat pada akhir masa jabatan mereka pada 2009.

UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menutup kemungkinan perusahaan farmasi mengantongi izin produksi dan pemasaran obat-obat stimulan jenis amfetamina. Karena hanya diizinkan untuk keperluan iptek dengan jumlah yang sangat terbatas, maka pasokan zat-zat ini akhirnya dikuasai organisasi kejahatan di pasar gelap.

Metamfetamina yang diperoleh di pasar gelap tidak mensyaratkan izin produksi, peredaran, atau penjualan. Siapapun bisa memasok sabu. Pemasok menjadi lebih banyak dan ketersediaan sabu praktis makin meluas.

BNN melaporkan peningkatan penemuan pabrik sabu dari 12 kasus pada 2006 menjadi 25 kasus pada 2010. Ini adalah laboratorium-laboratorium penghasil narkoba skala kecil. Tujuannya, supaya sulit ditemukan dan mudah dipindah. Beberapa kali pabrik sabu dan pil ekstasi portabel ditemukan dalam sel penjara di Indonesia.

Hal ketiga yang membuat sabu populer adalah bahan baku dan ongkos produksi yang murah sehingga berpotensi mendatangkan laba besar dan diminati banyak bandar.

Baca juga:  Sinte: Ganja Sintetis padahal Zat-Zat Kimia yang Disintesiskan

Sebagai narkoba sintetis, sabu tidak memerlukan ladang tanaman penghasil bahan baku. Ini berbeda dengan kokaina yang dihasilkan dari ekstrak daun koka atau heroin dari getah bunga opium. Bahan baku sabu adalah zat-zat yang dapat ditemukan pada bahan baku kosmetik, wewangian, obat flu dan batuk, hingga bahan bangunan seperti pseudoefedrin, aseton, thinner, dan asam sulfat.

Ongkos produksi sabu bisa sangat murah tergantung mutu bahan bakunya. Biaya lainnya adalah suap kepada pihak-pihak yang potensial menjadi penghambat dan “upeti” bagi yang potensial menjadi pelindung.

Sebagai komoditas pasar gelap, narkoba tidak memiliki standar harga. Oleh karena itu, seluruh biaya produksi, suap, dan upeti tadi dapat ditutupi dengan harga jual yang bisa ditentukan sesuai keinginan para pemasok.

Narkoba yang dapat diproduksi di manapun tanpa tergantung musim, ketinggian, atau kelembaban tertentu sangat diminati investor. Pelaku bisnisnya tidak perlu menghadapi risiko pembasmian ladang tanaman bahan baku dan penangkapan penyelundupnya karena produksi bisa ditempatkan sangat dekat dengan lokasi pemasaran. Contohnya adalah pabrik sabu dan ekstasi di lantai atas sebuah diskotek di Jakarta Barat yang ditemukan Desember lalu.

Secara umum, stimulan menjadi komoditas yang diminati pelaku bisnis karena kecocokannya dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat pekerja di Indonesia. Kita bisa menemukan bagaimana berbagai minuman penambah energi, termasuk kopi, menjadi industri dengan merek dan kemasan yang kian beragam. Bahan-bahan sintetis pun diandalkan untuk memperpanjang masa layak konsumsi serta menekan biaya bahan baku.

Dengan potensi laba fantastis, bisnis sabu diminati banyak kalangan, termasuk oleh aparat negara. Tahun ini saja bisnis sabu juga melibatkan kepala lembaga pemasyarakatan di Lampung, pejabat kepolisian di Kalimantan Barat, dan anggota DPRD di Sumatera Utara.

Akibat khasiat dan kebijakan antinarkoba yang membuat pasokannya justru tidak terkendali, sabu akhirnya tidak hanya populer di kalangan yang butuh stamina lebih macam Fariz RM. Sabu juga nge-top di kalangan yang berminat menggeluti bisnisnya hingga melibatkan pejabat negara dan penegak hukum. Ironis.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.