close
Mencegah-Kerusuhan-di-Penjara
Kebakaran Lapas Banceuy Bandung, 23 April 2016 (Foto: PojokSulsel.com)

Baca: Mencegah Kerusuhan di Penjara (Bagian 1)

Sejumlah kerusuhan penjara terkait narkoba berujung pada pemecatan sipir, bahkan kepala penjara. Ini menegaskan bahwa bisnis yang digeluti penghuninya itu setidaknya diketahui oleh otoritas penjara. Pertanyaannya, tahukah pemerintah (dalam hal ini presiden beserta jajaran menterinya) akan hal ini? Jika ya, apa yang dilakukan untuk mengatasinya dan sejak kapan?

Alih-alih melenyapkannya dari muka bumi, “perang melawan narkoba” justru membuat komoditas ini diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi. Penghentian produksi heroin oleh Bayer pada 1913 menimbulkan ledakan pasien ketergantungan obat tersebut di kota-kota sepanjang pantai timur Amerika Serikat (AS). Geng-geng penjahat mulai memonopoli perdagangan heroin saat pemberlakuan UU tambahan yang melarang pasokannya di negara itu pada 1924, bahkan sampai saat ini.

Contoh lain dari kontraproduktifnya kebijakan pelarangan zat psikoaktif adalah, kasus-kasus kematian akibat konsumsi minuman keras (miras) oplosan yang secara ironis terjadi di daerah-daerah di mana ‘peraturan antimiras’ diterapkan. Perdagangan miras oplosan tumbuh subur di tempat kebijakan tersebut diterapkan. Praktik suap pun merebak demi melindungi bisnis ilegal ini.

Suap dari pelaku bisnis narkoba kepada aparat bukanlah barang baru.

Dalam kerangka ekonomi pasar gelap, pemerintah tidak dapat mengawasi kandungan bahan baku narkoba yang diedarkan. Para pemasok dapat semena-mena menentukan bahan baku yang digunakan. Pemilihan bahan baku  akan menentukan besarnya keuntungan. Semakin tidak bermutu bahan baku, semakin besar keuntungan.

Baca juga:  Indonesia Incar Tiga Besar di Homeless World Cup 2017

Selain itu, pemerintah tidak menentukan harga jual narkoba, para pemasoklah yang melakukan.

Pemerintah tentu mengetahui bahwa narkoba beredar di penjara, sejumlah narapidana masih mengendalikan bisnis narkobanya, atau bisnis ini turut dibekingi oknum penegak hukum. Lalu tindakan pemerintah, khususnya rezim yang sekarang, adalah mendemonstrasikan hukuman berat yang telah diatur dalam UU Narkotika. Hukuman mati dipropagandakan, bahkan presiden sempat mewacanakan tembak di tempat bagi pengedar narkoba saat berpidato tahun lalu.

Sebenarnya hukuman mati bagi pengedar narkoba di Indonesia telah tercantum dalam UU Narkotika 1976. Pemberatan hukuman maksimal juga diterapkan untuk kepemilikan narkoba, yakni dari 6 tahun penjara pada 1976 menjadi 10 tahun pada 1997, lalu ditambah menjadi 12 tahun pada 2009.

Presiden Jokowi dan jajaran kabinetnya berulang kali menyampaikan, narkoba membunuh 50 orang tiap harinya, maka pengedarnya pantas untuk dihukum mati. Meskipun hingga kini saya belum menemukan literatur yang menjadi rujukan pernyataan tersebut, namun kira-kira itulah alasan Jokowi menolak grasi 64 terpidana mati kasus narkoba di awal-awal dirinya menjabat sebagai Presiden RI, akhir 2014.

Alasan Richard Nixon mencanangkan ”war on drugs” 46 tahun lalu kurang lebih sama. Ia menobatkan narkoba sebagai musuh masyarakat Amerika nomor satu atas kekhawatiran kalau tentara-tentara yang ketagihan heroin sepulang dari Vietnam akan membawa pengaruh buruk bagi anak-anak muda di kampung halaman mereka. Pendekatan ini secara politis populer dan berhasil membuat Kongres AS menyetujui anggaran ‘perang’ tersebut pasca kekalahan mereka di Vietnam.

Baca juga:  Pemerintah Harus Buka Dasar Ilmiah Menolak Rekomendasi WHO tentang Ganja Medis

Pemberlakuan kebijakan pelarangan dan pidana narkoba sebenarnya lebih dilatarbelakangi alasan politis ini. Sikap antinarkoba adalah cara murah bagi para politisi dalam ‘merawat’ konstituen mereka. Saat ini, sebenarnya sudah banyak yang menyadari dan mengkritik rezim pelarangan narkoba yang telah lebih dari setengah abad menancapkan pengaruhnya (1961-2017) secara global. Sebagai contoh, pada 2001, Portugal mendekriminalisasi kepemilikan pribadi narkoba apapun (ganja, heroin, dll.), yaitu untuk konsumsi selama tidak lebih dari sepuluh hari.

Swiss membuka program peresepan heroin pada 1994. Program ini telah diadopsi Jerman, Denmark, dan Belgia. Uji coba program ini sedang dilakukan Belanda, Inggris, Spanyol, dan Kanada.

Evaluasi program di Swiss menyatakan, kriminalitas di kalangan pasien turun 60%, penjualan heroin oleh pasien turun 82%, kematian akibat konsumsi heroin nihil karena bahan bakunya terjamin, penularan HIV dan hepatitis pada pasien berkurang, heroin kurang diminati anak muda karena citra medisnya, konsumennya disebut pasien atau peserta perawatan, heroin tak lagi diperkenalkan di jalanan karena sudah banyak yang memperolehnya di klinik, dan biaya pengobatan ditanggung jaminan kesehatan nasional.

Mengelola pasokan narkoba, seperti yang dilakukan Swiss untuk heroin, dipraktikkan agar komoditas ini tidak dimonopoli sindikat kejahatan. Walau tidak sepopuler “perang melawan narkoba”, pengelolaan narkoba akan membuat harganya transparan dan berdampak pada penurunan harga jualnya. Freddy Budiman, bandar narkoba yang dipidana mati pada 2016, mengaku bisa menjual pil ekstasi Rp300 ribu per butir yang dibelinya Rp5 ribu (6.000% laba).

Baca juga:  Penuhi Hak Tersangka, Minimalkan Stigma Penggerebekan Komunitas Gay “Hot Space”

Pihak-pihak yang selama ini diuntungkan dari pelarangan narkoba tentu akan berusaha mempertahankan status quo. Mereka adalah bandar narkoba, aparat korup yang melindungi bisnis narkoba ilegal, dan politisi-politisi yang mengangkat popularitasnya melalui slogan antinarkoba.

Ketika seluruh aspek ekonomi narkoba dikelola negara, maka bisnis narkoba tidak lagi menguntungkan. Siapa yang mau membeli sebutir pil seharga Rp300 ribu bila negara menentukan harga eceran tertingginya tak jauh dari biaya produksinya? Jumlah penghuni penjara akibat pidana narkoba pun akan jauh berkurang.

Maka, jika sungguh ingin mencegah kerusuhan penjara di masa mendatang, pemerintah bersama DPR harus mengelola pasokan dan permintaan narkoba dalam negeri kendati pilihan kebijakan tersebut membuat mereka tidak terpilih pada pemilu berikutnya, mungkin.

Namun, apa yang dialami Swiss seharusnya bisa menjadi rujukan pembuatan kebijakan narkoba di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Pasalnya, kebijakan inilah yang justru melindungi dan menyejahterakan rakyat, bukan bandar, aparat korup, maupun para oportunis.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.