close
p02vdpfn
Ilustrasi buku

Stigmatisasi merupakan masalah besar dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Hal kecil yang bisa saya lakukan untuk  mengikis stigma terhadap ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) adalah dengan menulis sendiri kisah saya.


Artikel ini karya Asti Septiana, salah seorang peserta Lokakarya Jurnalisme Warga yang diselenggarakan Rumah Cemara di Denpasar, pada 24-27 Juli 2018.


Tulisan itu bercerita sejak pertama mengetahui saya mengidap HIV, bagaimana tumpah ruah perasaan, lelah resah merawat suami, dan kehidupan selanjutnya. Apa yang orang bilang aib, justru saya ceritakan.

Tentang suami yang mantan konsumen narkoba suntik. Tentang saya yang hanya ibu rumah tangga dan tidak tahu-menahu mengenai narkoba namun terdampak dari konsumsinya. Tentang bagaimana tuberkulosis (TB) yang harus dialami suami hingga dia sembuh, dan tentang bagaimana kami harus menjalani terapi Anti-retro-viral (ARV), yaitu obat bagi pasien HIV untuk menekan perkembangan virus agar tidak merusak tubuh.

Bukan hal mudah bagi kami melewati masa-masa kritis.

Reaksi tubuh terhadap obat sering terjadi. Misalnya, suami sering mual dan gatal-gatal saat terapi obat anti-TB, mimpi ‘aneh’ setelah minum Efavirenz, pusing dan mual karena saya mengonsumsi Duviral dan Neviral. Ketiganya adalah obat untuk terapi ARV. Bagaimana kurus dan lemahnya suami saat masih dalam proses penyembuhan TB. Ini kerap jadi bahan pertanyaan orang sekitar, “kok kurus sekali ya mas Anwar?“.

Semula suami melarang membuka status HIV kami kepada keluarga besar, karena takut mereka menyuruh saya meninggalkannya. Ternyata justru dukungan kuat yang kami terima. Hanya kakak ipar saya yang menunjukkan stigma dan sikap diskriminatif. Dia pernah melarang kami masuk rumahnya. Tapi sikapnya berubah setahun kemudian, yang ditunjukkannya dengan meminta kami memasak rendang di rumahnya saat Idul Adha.

Baca juga:  Kami Dukung Usul Pencabutan Pasal Narkotika dari Kitab UU Hukum Pidana

Setelah suami  menyelesaikan pengobatan TB dan dinyatakan sembuh, timbul harapan baru bagi kami. Walaupun ARV harus kami minum seumur hidup, tapi kami bisa hidup sehat dan menjalani aktivitas seperti orang lain. Dengan menjaga kepatuhan minum ARV, berolahraga rutin, asupan gizi seimbang, menjaga kebersihan dan berdoa, ODHA akan tetap sehat.

Saat badan sehat, ODHA bisa melakukan apapun dengan baik. Dia mulai bisa berpikir positif  tentang diri sendiri. Penerimaan diri yang baik, menimbulkan reaksi yang baik pula dari orang lain. Bagaimana orang lain akan menerima ODHA, bila yang bersangkutan menilai negatif diri sendiri dan tidak mau hidup sehat? Hapus stigma mulai dari diri sendiri, itu yang kami lakukan.

Perlahan saya mulai berkenalan dengan teman baru dari komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), WPS (wanita pekerja seks), dan sesama ODHA. Termasuk bertemu dengan para dokter, mahasiswa, dan berbagai lapisan masyarakat. Lengkap dengan berkecamuknya perasaan dan pikiran saya.

Semua itu sangat berharga karena belum tentu akan saya dapatkan bila  tidak terinfeksi HIV. Bersyukur karena terinfeksi HIV, mungkin aneh bagi orang lain. Tapi ya memang demikian yang saya rasakan. Saya yakin ini bukan hal nista.

Peristiwa-peristiwa itu  saya rangkum dalam buku. Penggalan hidup sejak Maret 2011 hingga Desember 2013 saya tuliskan dalam buku Mashed Potatoes, Menikmati Hidup Tanpa Menyesalinya. Untuk peristiwa selanjutnya dari 2014, bakal saya rampungkan dalam buku berikutnya. Saat ini masih dalam proses penulisan.

Mengikis stigma terhadap ODHA sehingga tidak menimbulkan diskriminasi, memang membutuhkan upaya yang tidak mudah. Perlu kesabaran, kegigihan, semangat, dan selalu mencari informasi akurat.

Baca juga:  Masalah-Masalah Kesehatan Konsumen Narkoba

Saya paham, ketika menginginkan masyarakat  agar “biasa saja”  terhadap HIV dan tidak menganggap HIV itu monster, adalah seperti mimpi. Saya memilih gaya penulisan novel roman dalam membagikan kisah hidup ini dengan bahasa lebih familiar. Ibarat memilih makanan ringan untuk dihidangkan. Harapannya, masyarakat yang belum terpapar informasi HIV jadi dapat lebih jelas memahaminya.

Kenapa penting memahami HIV-AIDS? Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI memperkirakan hingga Mei 2017 lalu, setidaknya ada 600 ribu orang positif HIV di Indonesia. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan penduduk Kota Yogyakarta, yang menurut Badan Pusat Statistik hanya sekitar 417 ribu jiwa pada 2016.

Dari jumlah tersebut yang terdeteksi baru sekitar 200.000 orang, sedangkan yang sudah menjalani pengobatan ARV baru 70 ribu jiwa. Dengan obat ARV, virus HIV dalam darah dapat ditekan perkembangannya, sehingga bisa mengurangi angka kematian ODHA.

Dari semua hal yang saya alami, tampaknya perlu terobosan baru untuk menjangkau dan mengobati ODHA. Harapannya tak muncul infeksi baru. Masyarakat perlu berperan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan tes HIV.

Untuk itu, pandangan terhadap tes HIV perlu diluruskan agar orang tidak enggan melakukannya. Alangkah mirisnya bila stigma dimulai di dalam ruang konseling, justru dari pihak yang memahami HIV. Ketika konselor akan meminta saya tes HIV, dia mengatakan, “Mungkin dulu Mas Heru Anwar pernah ‘berpetualang’…”.

Benar, kami memang sering berpetualang, tapi ya benar-benar berpetualang. Misalnya naik motor berdua ke Bali. Apakah itu sebuah kesalahan? Mengapa konselor seperti mengaitkannya dengan sesuatu yang negatif? Yang dia maksud tentunya berpetualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lain. Entah sudah berapa pertanyaan bernada miring yang dilontarkan kepada pasien saat diminta untuk tes HIV.

Baca juga:  Minyak Ganja dan Hak Konstitusional Pasien Cerebral Palsy

Ada juga yang bertanya, “Apakah pernah berhubungan seks dengan selain pasangan sah Anda?” Padahal, HIV sering ada di dalam pernikahan sah.

Saat naskah sudah selesai saya ketik, ibarat ingin melahirkan anak, betapa bingungnya saya harus ‘melahirkan’ di mana. Beberapa penerbit sudah saya hubungi. Hingga saya bertemu Ribut Wahyudi, pemilik salah satu penerbit di Yogyakarta. Di Penerbitan Indoliterasi, “anak” saya lahir pada 4 Mei 2017. Sengaja saya beri nama atau judul Mashed Potatoes, Menikmati Hidup Tanpa Menyesalinya.

Filosofi dari judul tersebut, ibarat sebuah kentang yang sudah hancur, tetap bisa menjadi menu makanan yang enak dan berkesan “wah”. Bagi sebagian besar ODHA yang merasa hidupnya hancur, tetap bisa menikmati hidup. Tergantung bagaimana cara kita memandangnya dan mengelola pikiran. Kita ingin masakan yang bagaimana, tergantung cara kita mengolah bahan-bahan yang sudah kita miliki.

Saat ini buku saya masih “berjalan” perlahan menemui orang-orang yang mampu membaca ODHA dengan hati. Respon setiap pembaca berbeda-beda. Semua menarik. Semua saya jadikan catatatan. Saya dengar cerita dari seorang perawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta yang suaminya juga ODHA. Perawat itu kasihan melihat pasien yang terpuruk setelah mengetahui dirinya mengidap HIV. Lantas diberikannya buku saya.

Berjalanlah terus Mashed Potatoes. Hapus lelahmu. Pembacamu akan mencarimu. Sedikit sandungan ketika ada yang menganggapmu hanya semacam leaflet, yaitu setelah membaca lalu membuangmu. Abaikan saja! Mereka yang berbuat demikian adalah orang-orang yang belum bisa memahami bagaimana sulitnya proses melahirkan buku. Teruslah berjalan perlahan, menebar semangat positif  dan wujudkan mimpi kita semua #IndonesiatanpaStigma.

Asti Anwar

The author Asti Anwar

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.