close
FeaturedKebijakan

Tangkap Satu Ton Sabu Selundupan dan Selebritas yang Mengonsumsinya, Kok Bangga?

IST-KAPAL
Kapal Sunrise Glory yang tertangkap Rabu, 7 Februari 2018 di perbatasan RI-Singapura (Foto: Liputan6.com)

Saya terhenyak, geleng-geleng kepala waktu menyalakan televisi kemarin sore (20/2). Selepas rapat di kantor, saya ingin tahu perkembangan rencana pulangnya pimpinan Front Pembela Islam, Rizieq Shihab dari Arab Saudi besok (21/2). Betapa saya kecewa mendapati tiga stasiun televisi berita nasional menyiarkan breaking news, tentu saja secara langsung. Lama lagi!

Saya kira ada peristiwa apa sampai ketiganya kompak menyiarkan breaking news. Ternyata…

Ya, kemarin sore, Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar jumpa pers penangkapan kapal ikan berbendera Singapura yang mengangkut 1,37 ton sabu (metamfetamin kristal) di perairan Laut Anambas, Kepulauan Riau, Selasa dini hari. Penangkapan ini kerja sama antara BNN, TNI AL, dan Bea Cukai.

Tim gabungan itu sebelumnya mendapat laporan dari kepolisian Australia bahwa sebuah kapal bernama Shun De Man 66 mengangkut sabu seberat 3 ton. TNI AL pun menyatakan bahwa kapal tersebut telah beberapa kali keluar masuk wilayah Indonesia. Diberitakan, saat ini BNN  masih melakukan pengembangan kasus untuk mencari selisih 2 ton sabu, sesuai informasi dari kepolisian negara tetangga tadi.

Dua minggu sebelumnya (7/2), kapal TNI AL, KRI Sigurot-864, juga menangkap kapal nelayan berbendera Singapura di perbatasan Batam dan Singapura. Kapal bernama Sunrise Glory itu membawa 1 ton sabu yang dikemas dalam 41 karung beras.

Dua kisah penangkapan ribuan kilogram narkoba di awal tahun ini berkelindan dengan penangkapan selebritas Indonesia atas kepemilikan narkoba. Sabu selalu jadi barang buktinya walaupun jumlahnya jauh di bawah 1 ton. Selama Februari 2018, setidaknya 3 penangkapan selebritas atas kasus narkoba menjadi berita di seantero negeri.

Di layar kaca, konsumsi narkoba oleh selebritas ‘dibedah’ dengan mengundang sejumlah narasumber, berebut panggung dengan peristiwa-peristiwa heboh lainnya seperti pengesahan UU MD3, persidangan Setya Novanto, kecelakaan pembangunan infrastruktur, erupsi Gunung Sinabung, atau rencana pulangnya Habib Rizieq yang saya nantikan tadi.

Bagi saya, selebritas atau mungkin seniman tak ubahnya dengan politisi, pegawai negeri dan swasta, pengusaha, atau mahasiswa. Sebagian (kalau boleh dibilang) kecil saja, antara  2,10% hingga 2,25% yang mengonsumsi narkoba.

Baca juga:  Memperbincangkan Hari Anti-Narkotika Internasional

Perhitungan itu adalah perkiraan jumlah konsumen narkoba di Indonesia pada 2014 jika dibandingkan jumlah penduduk RI pada tahun yang sama (BNN & Puslitkes UI, 2014). Memang ada beberapa pernyataan aparat bahwa jumlah konsumen narkoba di Indonesia saat ini sudah mencapai 7 juta orang. Saya pun penasaran dengan jumlah tersebut. Dari mana angkanya?

Kembali ke selebritas. Saya berani menyatakan ada lebih banyak selebritas di Indonesia yang tidak mengonsumsi narkoba, sebagaimana dengan lebih banyak pegawai negeri dan swasta, mahasiswa, politisi, atau bahkan remaja di negeri ini yang tidak melakukannya!

Terus terang, saya tidak menganggap penangkapan penyelundupan narkoba dalam jumlah besar yang dilakukan aparat sebagai sebuah prestasi. Apalagi penangkapan selebritas yang mengonsumsinya.

Begini, pada 2014, BNN memperkirakan, 158,5 ton ganja, 9,2 ton heroin, 14,3 ton ekstasi, dan 219,8 ton sabu beredar di Indonesia. Namun sepanjang tahun itu yang berhasil disita, ganja 8 ton (5,31%), heroin 7,8 kg (0,08%), ekstasi 32,2 kg (0,25%), dan sabu 447,5 kg (0,20%).

Artinya, di tahun yang sama, 150,1 ton ganja (94,69%), 9,2 ton heroin (99,92%), 14,3 ton ekstasi (99,75%), dan 219,3 ton sabu (99,80%) atau hampir semuanya sukses beredar di pasar Indonesia.

Di awal tahun 1990-an, ada rumus umum di Jakarta yang menyatakan, kalau tertangkap 1 kg (ganja waktu itu), berarti ada 4 kg yang beredar. Memang rumus tadi terkesan serampangan, tetapi logis. Buktinya, 2 dari 3 ton sabu yang dilaporkan diangkut oleh kapal Shun De Man 66 masih belum diketahui rimbanya.

Saat peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional tahun lalu (dan pada hari itu juga kepolisian mengungkap 1 ton sabu di Anyer, Banten) Kepala BNN, Budi Waseso pun mengakui, sindikat narkoba memiliki teknologi canggih untuk bisa mengelabui dan meloloskan diri dari petugas.

Baca juga:  Terkena Razia Lalu-Lintas? Ketahuilah Hal Berikut Ini

Titik perbatasan Indonesia tidak hanya di Singapura dan Batam. Dalam dua minggu terakhir ini, lebih dari 2 ton narkoba diungkap aparat di perairan Batam, tapi bagaimana dengan ribuan titik perairan wilayah Indonesia lainnya?

Pemindahan (displacement) adalah reaksi yang mungkin terjadi dalam kejahatan terhadap sebuah intervensi pencegahan. Ketika merujuk pada efek penegakan hukum terhadap perdagangan gelap narkoba, dalam bahasa keseharian dikenal sebagai ‘efek balon’ (Windle & Farrell, 2012).

Istilah itu telah dikenal luas di kalangan analis, peneliti, juga pembuat kebijakan. Dalam metafora tersebut, lebih lanjut Windle dan Farrell menjelaskan, besarnya balon diumpamakan sebagai besarnya perdagangan gelap narkoba. Volume udara di dalam balon merupakan volume produksi gelap narkoba dan tekanan terhadap balon adalah dari penegakan hukum.

Ketika satu bagian diremas, balon itu membesar ke segala arah dengan ukuran dan volume yang sama. Tidak ada pengurangan bersih (net reduction) jumlah udara.

Jadi, sebagaimana diutarakan Debusmann pada 2009 yang dikutip Windle dan Farrell, mengapa miliaran dolar dan ribuan aparat antinarkotika di seluruh dunia gagal ‘mencekik’ perdagangan global kokain, heroin, dan ganja? Limpahkan kesalahan itu pada kebijakan-kebijakan salah arah, yang sebagian besar diusung oleh Amerika Serikat, dan yang para ahli sebut sebagai efek balon.

Di Indonesia, kebijakan antinarkotika telah diundang-undangkan sejak 1976. Selama 40 tahun lebih negeri ini menerapkan kebijakan pemberantasan komoditas itu. Hasilnya apa kalau bukan makin sesaknya penjara, kian meluasnya pasar gelap, dan kisah-kisah tak kenal gentar bandar terhadap hukuman mati atau selebritas yang tertangkap dengan barang bukti narkoba untuk 1-3 hari konsumsi saja? Bukankah itu yang terus menghiasi laman dan layar media pemberitaan kita?

Tanpa perubahan cara pandang dan kebijakan seperti yang diterapkan selama setengah abad ke belakang, saya meramalkan kisah-kisah penangkapan bandar dan selebritas akan terus berulang. Anggaran pemberantasan narkoba terus meningkat tapi bandar narkoba dan selebritas yang juga manusia, tetap nekat.

Baca juga:  Kebijakan Narkoba: Antara Kesehatan, Sains, Hukum, dan Politik

Bulan ini 2 ton narkoba disita aparat, 3 selebritas terancam hukuman penjara karena memiliki narkoba. Media mengulas bahwa negara ini sudah “darurat narkoba”. Ah, maaf, itu kan istilah yang sudah dicetuskan tiga tahun lalu untuk menggambarkan betapa luasnya peredaran narkoba. Keadaannya pun sama dengan saat ini juga sepuluh tahun lalu, dan jargon itu menjadi argumentasi untuk eksekusi hukuman mati.

Tahun lalu, BNN menyita ribuan ton sabu sebagai barang bukti, 7 selebritas terjerat pidana narkoba. Ulasan-ulasannya juga sama.

Tiga tahun lalu, eksekusi terpidana mati kasus narkoba digadang-gadang akan menimbulkan efek (tentunya bukan jera karena pelakunya sudah mati) terhadap peredaran narkoba di Indonesia. Maksudnya para bandar jadi takut berbisnis narkoba karena ancaman hukum. Genderang “perang melawan narkoba” dari masa 40 tahun silam pun kembali ditabuh.

Polanya sama. Ada peristiwa penegakan hukum yang melibatkan kepemilikan narkoba termasuk dari kalangan selebritas lalu diulas di banyak media. Ada pernyataan pejabat bahkan hingga penambahan hukuman. Beberapa waktu kemudian peristiwa yang sama terulang dengan pemeran yang kadang sama atau – dalam kasus tertentu – dilakonkan keturunannya.

Sialnya, kantor-kantor berita terus saja meliput betapa heroiknya aparat penegak hukum dalam menemukan narkoba berapapun jumlahnya. Kemudian mereka mengulas peristiwa-peristiwa itu untuk menampilkan istilah-istilah nan represif yang sudah lelah kita dengar dalam setengah abad terakhir seperti, “perang”, “berantas”, “hukum mati”, dan sebagainya.

Buat orang-orang yang sudah mengetahui pola ini, siap-siap saja kecewa kalau panggung-panggung pemberitaan dikuasai ulasan-ulasan mengenai perlunya tindakan yang lebih dahsyat untuk membasmi narkoba dari tanah air, merebut panggung yang mungkin menampilkan kabar yang kita nanti-nantikan seperti kepastian pulangnya Rizieq Shihab ke tanah air.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.