Dewasa ini masalah NAPZA ilegal di Indonesia dinilai telah sangat mengkhawatirkan. Korban telah meluas dan menyerang hampir seluruh lapisan masyarakat. Bahaya narkoba dianggap sistemik, mengancam generasi muda bangsa. Sejumlah literatur menyatakan, selain bisa merusak mental dan jiwa pecandunya, narkoba bisa menyebabkan seseorang melakukan tindak kejahatan.
Pecandu bukanlah manusia yang sama sekali tidak berguna. Mereka dapat pulih walaupun hidupnya pernah tidak terkendali akibat ketagihan narkoba. Salah satu metode pemulihannya adalah rehabilitasi medis dan sosial serta penguatan pasca rehabilitasi untuk mencegah kekambuhan.
Siapa sangka aktor ganteng pemeran Tony Stark atau Iron Man di film-film garapan Marvel seperti Captain America: Civil War (2016) atau Marvel’s Avengers: Age of Ultron (2015), Robert Downey Jr. sering keluar masuk penjara atas kepemilikan kokain dan heroin. Ia juga bolak-balik mengikuti program rehabilitasi kecanduan narkoba hingga 2003.
Istri Presiden AS ke-38, Elizabeth Ann “Betty” Ford (1918-2011) pernah ketagihan alkohol dan pil pereda nyeri. Pada 1978, keluarganya memaksa Betty menghadapi alkoholisme dan ketagihannya pada pil pereda nyeri. Pasca pemulihannya, Betty mendirikan Betty Ford Center pada 1982 untuk perawatan ketergantungan zat kimia dan merawat anak-anak para alkoholik. Hingga akhir hayatnya, Betty dikenal sebagai aktivis gerakan perempuan walaupun sejak 1977, suaminya, Gerald Ford sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Pasal 54 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pada 2014, diperkirakan terdapat 972.625 penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun yang mengonsumsi narkoba lebih dari 49 kali per tahun atau pecandu, baik suntik maupun nonsuntik (BNN & PPK UI, 2015).
Laporan resmi Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan sepanjang 2015, bersama lembaga rehabilitasi instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang mendapatkan dukungan dari BNN telah melaksanakan program rehabilitasi kepada 38.427 pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik di seluruh wilayah Indonesia (Press Release Akhir Tahun BNN, 2015).
Proporsi jumlah pecandu yang melaksanakan program rehabilitasi sepanjang 2015 dengan perkiraan jumlah pecandu se-Indonesia adalah 3,95%. Padahal pada Januari 2015, BNN mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi 100.000 Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotik.
Pecandu yang sukarela melaporkan diri ataupun yang tertangkap karena pelanggaran UU Narkotika memerlukan assessment (penilaian) untuk mendapatkan rehabilitasi. Adanya Tim Asesmen Terpadu (TAT) menjadi kesepakatan bersama antara Ketua MA, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN pada 2014 untuk menegakkan Pasal 54 serta Pasal 127 Ayat (2) dan (3) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu merupakan bentuk hukuman teringan yang diatur UU Narkotika kita. Maka tidak pula mengherankan jika melibatkan orang tertentu, bentuk hukuman ini (rehabilitasi medis dan sosial) sangat mudah didapat.
Ibarat puncak gunung es, penegakan hukum pecandu yang terjerat UU Narkotika jauh lebih banyak jumlahnya dari yang terdeteksi atau diberitakan. Melalui TAT, nilai mereka sama seperti para pesohor atau orang tertentu yang diberitakan menjalani rehabilitasi medis dan sosial ketika terjerat dan menghadapi sistem hukum pidana narkotik di Indonesia. Hukum kembali terlihat tajam ke bawah dan tetap tumpul ke atas.
Selain penegakan hukum, upaya pemerintah di bidang rehabilitasi untuk memulihkan kecanduan narkoba harus diperkuat baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memulihkan 900-an ribu pecandu di Indonesia, tentu targetnya harus jauh lebih banyak dari 100.000 sebagaimana yang dicanangkan pada Januari 2015.
Pembinaan di semua tahapan rehabilitasi sebagai persiapan kembali ke keluarga dan masyarakat menjadi hal yang juga sangat penting untuk diperhatikan dan ditindaklanjuti secara intensif. Penanganan yang tidak tepat bagi pecandu justru akan membuat mereka terus kembali pada kecanduan bukannya pulih, sehingga upaya dan anggaran yang dialokasikan negara sia-sia.
Sekali lagi, kerja keras dan kerja sama dari semua pihak sangat diperlukan. Jika tidak, upaya penanggulangan persoalan narkoba melalui bidang rehabilitasi di negeri tercinta ini hanya menjadi isapan jempol belaka.