Terdeteksinya kandungan narkoba dalam tubuh seseorang biasanya berbuntut proses pidana. Uji air seni untuk mengetahui kandungan narkoba dalam tubuh atau akrab disebut tes urine, kerap dilakukan aparat tanpa indikasi awal pelanggaran UU Narkotika, yakni memiliki, membawa, menjual, atau menawarkan narkoba. Kebiasaan ini dilakukan untuk menjerat konsumen (dalam UU disebut penyalah guna) narkoba yang ancaman hukumannya bisa sampai empat tahun penjara.
Tiga artikel berikut memuat soal uji paksa narkoba (compulsory drug testing) beserta ketentuan mengenai rehabilitasi dalam UU tentang narkoba. Rangkaian artikel ini mengulas kaitan masing-masing isu secara khusus menggunakan berbagai rujukan yang kredibel dari sejumlah organisasi yang selama ini aktif memperjuangkan keadilan dan pemenuhan hak atas informasi serta kesehatan bagi konsumen narkoba di berbagai belahan dunia di tengah proses pemidanaan.
Berbagai organisasi nonpemerintah telah secara aktif memperjuangkan pemenuhan hak kesehatan masyarakat, tak terkecuali melalui kebijakan-kebijakan narkoba di negaranya masing-masing. Sayangnya, hak asasi tersebut malah terabaikan atau tidak diterapkan secara adil. Uji paksa narkoba menjadi salah satu cara bagaimana otoritas negara justru melanggar prinsip-prinsip mengenai pemenuhan hak-hak dasar terutama atas pendidikan dan pekerjaan konsumen narkoba, tak terkecuali di negara maju seperti Amerika Serikat.
Mungkin maksud kebiasaan itu supaya masyarakat takut mengonsumsi narkoba secara ilegal karena hukumannya betul ditegakkan. Yang terjerat pun kapok. Tapi, kenapa kesannya aparat senang betul memenjarakan orang, ya?
Perlakuan seperti itu dialami MY (37) akhir Mei lalu. Warga Lampung itu dihentikan polisi gara-gara berkendara melawan arah. Pelanggaran lalu-lintas kan? Tapi yang terjadi, aparat Satuan Sabhara Polresta Bandar Lampung yang berada di lokasi segera melakukan tes urine. Hasilnya, urine MY positif mengandung narkoba.
Walaupun tidak ditemukan barang bukti narkoba, hasil positif pemeriksaan air seni MY dijadikan materi pemeriksaan lebih lanjut oleh polisi. Penahanan dilakukan untuk mengidentifikasi pemasok narkobanya.
Tes urine tanpa indikasi pelanggaran UU Narkotika pernah dialami enam puluhan demonstran di sekitar Gedung DPRD Jawa Barat, September tahun lalu. Karena diduga jadi provokator, mereka diamankan polisi lalu dites urine. Empat di antaranya ditahan karena tes urinenya menunjukkan hasil positif mengandung ganja dan benzo.
Dari hasil positif tes keempat demonstran tadi, polisi lalu mencari barang bukti narkoba sampai ke rumah mereka.
Sebagaimana dijelaskan Rumah Cemara pascakejadian tersebut, lazimnya tes urine dilakukan untuk membuktikan seseorang yang kedapatan memiliki narkoba adalah konsumen, bukan pengedar. Pembuktian ini lantaran hukuman bagi pengedar lebih berat.
Polisi, yang banyak bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) kerap menguji kandungan narkoba di urine dengan dalih menekan konsumsi dan peredarannya di masyarakat. Mereka melakukan tes urine di tempat-tempat hiburan, indekos, sekolah atau kantor, bahkan di jalanan. Kegiatan itu biasanya dilakukan saat malam pergantian tahun, musim mudik, atau masa penerimaan siswa baru. Kadang mereka melakukannya di tempat dan waktu secara acak.
Alasan Menentang Uji Paksa Narkoba
Di beberapa negara, uji paksa narkoba (mandatory drug testing), terutama terhadap anak sekolah, sudah banyak ditentang. Human Rights Watch berpendapat, kegiatan ini secara serius mengancam keamanan dan hak atas pendidikan para siswa. Pendapat tersebut diungkapkan menanggapi rencana pemerintah Filipina melakukan uji narkoba terhadap seluruh siswa dan pendaftar perguruan tinggi pada Agustus 2017.
Uji paksa narkoba mengancam hak-hak asasi manusia. Mengambil cairan tubuh, baik urine maupun darah tanpa persetujuan anak, melanggar integritas atas tubuh dan merupakan tindakan sewenang-wenang atas privasi serta merendahkan martabat mereka. Tindakan ini berpotensi menghalangi dan merampas hak siswa untuk bersekolah karena alasan-alasan yang mungkin tidak berhubungan dengan konsumsi narkoba.
Mengeluarkan siswa dari sekolah karena hasil uji narkobanya positif merupakan tindakan semena-mena atas hak pendidikan anak-anak.
American Civil Liberties Union (ACLU), kelompok yang memperjuangkan kebebasan konstitusional di AS, secara khusus menjabarkan di situs resminya, alasan-alasan kenapa tes narkoba terhadap siswa gagal. Mereka berpendapat, kebijakan uji narkoba terhadap siswa selain bersifat mengancam juga kontraproduktif.
Sejumlah argumen ACLU menentang uji paksa narkoba terhadap siswa di antaranya, karena pelanggaran privasi dan mempermalukan mereka di hadapan pejabat sekolah atas penyerahan sampel urinenya. Tes urine juga bukan cara yang efektif memerangi konsumsi narkoba di sekolah, karena banyak zat psikoaktif yang hanya terdeteksi saat konsumennya berada dalam pengaruh saat tes dilakukan. Terlebih, kebijakan ini dapat mendorong para siswa mengonsumsi zat-zat psikoaktif lain yang tidak terdeteksi alat uji dan bisa jadi lebih berbahaya.
Selain sejumlah argumen tadi, biaya yang tinggi juga jadi alasan kenapa uji narkoba untuk para pelajar banyak ditentang.
Awal 2015, anggaran belanja sekolah-sekolah negeri di Carroll County, Georgia (sekitar 40 km sebelah barat Ibu Kota Atlanta) tercatat sebesar 20 ribu dolar. Tapi alih-alih merenovasi ruang kelas, meningkatkan kapasitas tenaga pengajar, atau membeli komputer maupun buku-buku yang dibutuhkan untuk pendidikan, mereka malah membelanjakan anggaran tersebut untuk uji narkoba. Tiap bulan, 80 siswa dites narkoba dengan anggaran 24 dolar per siswa.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), 18 persen sekolah menengah negeri di sana menerapkan kebijakan uji narkoba wajib seperti yang dilakukan Carroll County. Umumnya, uji narkoba hanya dilakukan terhadap atlet, peserta ekstrakurikuler, dan siswa yang berkendara ke sekolah. Tapi kenyataannya berbeda.
Survei nasional terhadap 1.300 sekolah negeri di AS menemukan, 28 persen dari seluruh distrik yang menerapkan kebijakan tadi malah melakukan uji narkobanya terhadap seluruh siswa.
Inefisiensi Uji Narkoba
Program uji narkoba bagi siswa dengan kriteria tertentu oleh sekolah-sekolah negeri pada 2002 memang pernah diuji dan menjadi keputusan Mahkamah Agung AS. Tapi, sejumlah studi bertahun-tahun pascaputusan tersebut menunjukkan rendahnya efektivitas program ini.
Laporan sebuah kajian pada 2013 yang mempelajari data konsumsi narkoba pelajar selama 14 tahun menemukan bahwa uji narkoba di sekolah menunjukkan rendahnya konsumsi ganja, tapi konsumsi obat-obatan lain yang lebih berbahaya justru meningkat.
Studi perbandingan tingkat konsumsi narkoba di sekolah-sekolah yang tidak dan yang menerapkan program uji narkoba menemukan, efek jera jangka pendek terjadi pada siswa yang diuji tapi tidak memiliki efek apapun pada siswa yang tidak diuji. Studi yang dilaporkan pada 2013 ini juga menemukan tidak adanya efek jangka panjang terhadap konsumsi narkoba maupun keinginan untuk mengonsumsinya di masa yang akan datang.
Bahkan sebuah studi yang dilaporkan pada 2014 menyimpulkan, uji narkoba tidak ada kaitannya dengan perubahan (naik-turunnya) konsumsi narkoba.
Uji paksa narkoba tidak efektif menekan konsumsi maupun peredaran narkoba di masyarakat. Karenanya, program ini dianggap tidak efisien kalau tidak ingin disebut menghambur-hamburkan anggaran. Bahkan uji narkoba di sekolah ditengarai sebagai pungutan liar, karena biayanya tidak terdapat dalam anggaran rutin pendidikan nasional maupun daerah.
Dalam sebuah wawancara, Kepala BNN Kota Tangerang, Akhmad F. Hidayanto pernah menampik tudingan tersebut saat lembaga yang dipimpinnya mengusulkan uji narkoba sebagai syarat masuk sekolah pada 2018. Akhmad menepis tuduhan kalau uji narkoba yang biayanya dibebankan kepada orang tua murid itu disebut sebagai pungutan liar.
Alat tes narkoba yang menggunakan sampel urine untuk mendeteksi kandungan enam jenis zat dibanderol antara 60 hingga 120 ribu rupiah di sejumlah toko online. Enam parameter tes itu mendeteksi kandungan morfin (heroin alias putau dan turunan opioid lainnya), ganja, amfetamina, metamfetamina (sabu-sabu, ekstasi), kokaina, dan benzodiazepin (anticemas, antikejang seperti diazepam, alprazolam).
Dalam siaran pers akhir tahun 2019, BNN melaporkan uji narkoba dilakukan terhadap 354.248 orang di seluruh provinsi sepanjang tahun. Yang positif hanya 599 atau 0,16 persen, terdiri dari 40 perempuan dan 559 laki-laki.
Sekarang, mari kita hitung biaya untuk uji narkoba terhadap tiga ratus ribuan orang itu jika satu unit alat tes harganya 90 ribu rupiah (nilai tengah dari 60 dan 120 ribu)!
Hasilnya, biaya yang dikeluarkan untuk uji narkoba menggunakan sampel urine sepanjang 2019 di 34 provinsi adalah Rp31.882.320.000. Ini belum termasuk uji konfirmasi di laboratorium menggunakan sampel jaringan organ tubuh lainnya seperti rambut atau darah.
Sebagian dari kita mungkin tahu kalau urine hanya digunakan untuk pemeriksaan awal atas kandungan narkoba dalam tubuh. Maka biasanya uji jaringan tubuh selain urine, seperti rambut atau darah, dilakukan di laboratorium untuk mengonfirmasi hasil tes postif pada sampel urine.
Uji laboratorium juga dilakukan untuk memastikan bahwa pemilik narkoba yang tertangkap dengan hasil tes urine positif benar-benar merupakan konsumen-bukan-pengedar. Untuk keperluan konfirmasi ini, BNN melayani pemeriksaan sampel rambut dan darah yang berasal dari seluruh penjuru negeri.
Sepanjang 2019, Pusat Laboratorium Narkotika BNN telah menguji 21.670 sampel dengan hasil positif 97,95 persen.