Ribuan Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia terancam tidak bisa mendapatkan obat antiretroviral (ARV) fixed dose combination jenis tenofovir, lamivudine, dan efavirenz (TLE), akibat kegagalan pengadaan obat tersebut pada 2018 lalu. Kegagalan terjadi karena dua BUMN peserta tender yaitu PT Kimia Farma dan PT Indofarma Global Medika tidak memperoleh titik temu harga dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Dua kali proses pengadaan dengan penunjukan langsung tidak mendapat titik temu harga antara Kemenkes dan Kimia Farma. Setelah itu, proses lelang terbatas dengan dua peserta yaitu Kimia Farma dan Indofarma Global Medika juga tidak menghasilkan pemenang,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (10/1).
Akibatnya, menurut Aditya, alokasi dana APBN tidak bisa tersalurkan untuk membeli obat tersebut sehingga mulai terjadi kekosongan stok obat ARV jenis TLE ini di banyak tempat. Padahal, mayoritas ODHA di Indonesia menggunakan obat ARV dari jenis tersebut.
Dalam siaran persnya, Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengungkapkan kombinasi tiga jenis obat ini dibuat dalam satu tablet atau fixed dose combination untuk memudahkan pasien mengonsumsinya. Koalisi ini menyebutkan, hingga Agustus 2018 terdapat 43.586 ODHA yang mengonsumsi ARV jenis TLE ini atau sebanyak 42% dari total keseluruhan ODHA yang mengonsumsi ARV.
Obat ARV fixed dose combination jenis TLE diproduksi perusahaan farmasi di India dan dipasarkan di Indonesia oleh PT Kimia Farma. Sejak Juli 2018, PT Indofarma Global Medika juga mempunyai hak menjual obat ini karena produk dari rekanan mereka sudah mendapatkan izin edar dari BPOM.
Menurut Aditya, selama ini kedua BUMN tersebut mendapatkan untung besar dari penjualan obat ini.
“Obat yang di pasaran Internasional bisa didapatkan dengan harga Rp112.000 (US$ 8) dijual dengan harga Rp404.370 oleh Kimia Farma kepada pemerintah. Hal ini menyebabkan pemborosan uang negara sebesar kurang lebih 210 milliar rupiah setiap tahunnya,” ujarnya.
Lebih jauh, Aditya juga menjelaskan, krisis obat ini kemudian ditanggulangi melalui dana bantuan donor Global Fund dengan membeli langsung dari produsen obatnya di India. Obat ini tiba pada Desember 2018 dalam jumlah terbatas sebanyak 220.000 botol dan hanya mencukupi kebutuhan hingga April 2019.
Sehubungan dengan itu, IAC meminta pemerintah melakukan sejumlah langkah di antaranya segera menerbitkan izin Special Access Scheme untuk pengadaan darurat obat ARV periode 2 dengan dana bantuan Global Fund. Selain itu, IAC juga meminta agar pemerintah mendorong Kimia Farma dan Indofarma selaku BUMN agar mau mengikuti lelang terbatas dan menurunkan harga jualnya.
IAC juga meminta agar pemerintah membuat aturan main yang lebih tegas guna memastikan kecukupan stok obat dengan mengesampingkan prirotas cari untung dari BUMN farmasi.
Menanggapi hal ini, Kemenkes mengaku telah mengantisipasi ketersediaan obat ARV ini selama 10 bulan. Seperti dilansir sejumlah media, Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, Engko Sosialine Magdalene menuturkan, ODHA bisa menggunakan jenis lepasan sebagai alternatifnya.
“Setelah kami hitung dengan ketersediaan pada saat bulan Desember sampai dengan 10 bulan ke depan, ketersediaan tidak menjadi masalah. Empat bulan bisa menggunakan fixed dose combination, dan enam bulan bisa menggunakan lepasan,” ujarnya.
Pemerintah selama ini menyediakan obat ARV pagi pasien HIV secara cuma-cuma. Dengan mengonsumsi ARV, jumlah virus HIV di dalam tubuh pasien dapat ditekan sehingga kesehatannya tetap terjaga.*******