Kota Pontianak siang itu cukup terik. Hawa terasa panas dengan embusan angin lembab khas daerah tropis. Kota ini memang persis dilintasi garis khatulistiwa. Berada di tepi barat pulau Kalimantan, Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis, kota ini berbatasan dengan Kabupaten Mempawah di utara dan Kabupaten Kubu Raya di selatan.
Rumah Cemara memiliki mitra kerja dalam menjalankan program di sejumlah daerah di Indonesia. Program yang dijalankan pada dasarnya merupakan bagian dari cita-cita Rumah Cemara, Indonesia tanpa stigma. Ini adalah visi ideal agar pengguna narkoba, orang dengan HIV-AIDS, dan kelompok lain yang sering terpinggirkan mendapat kesetaraan hak dalam hidupnya, sama dengan masyarakat lain.
Tulisan ini berniat merekam beberapa bagian terbaik dari program mitra kerja Rumah Cemara. Ada tiga lembaga mitra yang terpilih sebagai bagian dari tulisan ini, yakni Lembaga Persaudaraan Korban NAPZA Makassar (LPKNM) di Makassar, Pontianak Plus di Pontianak, dan Yayasan Gaya Nusantara di Surabaya. Setiap lembaga mitra akan diceritakan secara terpisah melalui hasil liputan pada November dan Desember 2019.
Selamat mengikuti!
Sebagai pusat perekonomian dan perdagangan di Kalimantan Barat, Pontianak terus berkembang. Sebanyak 667 ribu lebih penduduk menghuni kota seluas 107 km persegi ini, menyebar di enam kecamatan. Jumlah penduduk ini jauh lebih banyak dibandingkan 13 kabupaten/ kota lainnya di daerah yang sering dijuluki provinsi seribu sungai ini.
Laju perkembangan sebuah kota tentu melahirkan sejumlah persoalan yang lebih kompleks, termasuk dalam hal kesehatan warganya. HIV-AIDS salah satunya. Saat ini, Pontianak adalah kota dengan temuan kasus HIV-AIDS tertinggi di Kalimantan Barat.
Data Dinas Kesehatan Kota Pontianak menunjukkan, dalam kurun waktu empat tahun saja (2015 hingga 2018) secara kumulatif jumlah temuan kasus HIV mencapai 531 kasus. Kebanyakan berasal dari penularan secara seksual, terutama pada kalangan heteroseksual.
“Masalah HIV-AIDS saat ini cukup menjadi perhatian pemerintah Kota Pontianak,” ucap Lusi Nuryanti, Pengelola Program di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Pontianak. “Ini terlihat dari anggaran dalam APBD Kota yang meningkat dibanding tahun sebelumnya,” lanjutnya.
Lusi membuka percakapan siang itu menyambut kunjungan tim Rumah Cemara di kantornya yang berada di kompleks Dinas Kesehatan Kota Pontianak, pertengahan November 2019. Selain perwakilan Dinkes Kota Pontianak, beberapa staf KPA Kota Pontianak pun hadir dalam diskusi saat kunjungan kami siang itu.
Menurut Lusi, anggaran dari APBD untuk KPA Kota Pontianak tahun lalu hanya berkisar 400 juta rupiah, namun tahun ini meningkat menjadi hampir 600 juta rupiah. “Ini bisa jadi cermin dari kepedulian pemerintah kota terhadap permasalahan HIV-AIDS di sini,” tuturnya.
Sesuai perannya, KPA Kota Pontianak menjadi koordinator untuk berbagai program seputar penanggulangan HIV-AIDS. Saat ini ada lima staf bekerja di sana. Sebelumnya, jumlah staf yang bekerja jauh lebih banyak mencapai 16 orang. Namun perubahan dilakukan setahun terakhir untuk mengikuti struktur di tingkat provinsi yang jauh lebih ramping.
Salah satu bagian penting dalam upaya mengendalikan epidemi HIV-AIDS adalah tersedianya layanan kesehatan bagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Perkembangan positif terjadi di Pontianak dengan adanya rencana perluasan layanan pengobatan antiretroviral (ARV) bagi ODHA.
“Insya Allah ke depan (tahun 2020-pen), akan dibuka lagi lima layanan ARV di puskesmas. Jadi, akan ada enam puskesmas nanti yang bisa memberi layanan ARV di Pontianak,” ungkap Ridwansyah, SKM, Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Pontianak.
Menurutnya, penambahan jumlah fasilitas layanan kesehatan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah mengendalikan HIV-AIDS. Selain itu, beberapa program juga sedang disiapkan untuk menangani pengobatan bagi pasien pengidap hepatitis C.
Semangat Positif dari Komunitas
Ada satu nama yang sering disebut sejumlah pihak saat membahas HIV-AIDS di Pontianak. Nama itu Teddy Subarta. Pria berusia 47 tahun itu sejak awal 2000-an telah berkecimpung dalam program pengendalian epidemi ini, terutama di kota kelahirannya, Pontianak.
Teddy bersama komunitas pegiat HIV-AIDS lainnya aktif menyuarakan pentingnya semua kalangan untuk lebih peduli pada persoalan HIV-AIDS di Pontianak. Ia tergabung dalam Yayasan Pontianak Plus, sebuah lembaga yang bekerja untuk pendampingan ODHA. Sebelumnya, ia bekerja di KPA Provinsi Kalimantan Barat.
Terbentuknya Pontianak Plus tidak terlepas dari lahirnya kelompok dukungan sebaya (KDS) di Pontianak pada 2003 silam. “Awalnya ada dorongan dari Yayasan Spiritia, agar di sini dibentuk KDS. Gunanya untuk memberikan dukungan dan berbagi informasi kepada sesama orang dengan HIV-AIDS, terutama yang baru mengetahui statusnya. Sebagai peer support gitu lah,” ungkapnya mengenang.
Saat itu, informasi tentang HIV-AIDS terbilang sangat minim di Pontianak. ODHA seringkali tidak tahu harus ke mana untuk mencari informasi.
Waktu berjalan, KDS ini terus berkembang. Dukungan sejauh itu baru dari Yayasan Spirita saja, termasuk untuk menyewa sebuah tempat sekretariat. Teddy dan teman-temannya terpikir melangkah lebih jauh untuk mengembangkan programnya.
“Aspek legalitas sebuah organisasi kami selesaikan. Terbentuklah Yayasan Pontianak Plus, meskipun dukungannya baru dari Spirita saja,” ujarnya. Saat ini, yayasan itu memiliki nama resmi Lembaga Kemanusiaan Pontianak Plus.
Ia melanjutkan, dukungan dari sejumlah lembaga kemudian berdatangan. Pada 2010 misalnya, The Global Fund mulai memberikan dukungannya. Lalu pada 2013, lembaga internasional seperti Hivos dan HCPI turut membantu program yang dilakukan Pontianak Plus. Demikian juga dukungan dari Colombo Plan mereka terima.
Dukungan pemerintah, melalui Kementerian Sosial mereka peroleh untuk program rehabilitasi narkoba. Panti rehabilitasinya berada di Graha Rahayu. Pada awal 2010-an itu memang terjadi lonjakan kasus HIV akibat pemakaian alat suntik secara bergiliran di kalangan pengguna narkoba. Pontianak Plus turut mengembangkan program harm reduction merespons perkembangan epidemi HIV-AIDS di sana. Selain menjalankan penjangkauan dan pendampingan untuk ODHA dan pasangannya, program kerja pun ditujukan bagi pengguna narkoba.
Teddy bekerja secara resmi di Pontianak Plus sebenarnya baru pada 2018, saat Rumah Cemara menjalin kerja sama dengan mereka untuk menjalankan program dukungan Elton John AIDS Foundation (EJAF), sebuah organisasi nonpemerintah Inggris. Ia menjadi penanggung jawab dalam program tersebut.
Salah satu program yang didukung EJAF adalah kegiatan manajemen kasus melalui pemanfaatan teknologi aplikasi bergerak bernama KLIK. Aplikasi ini dapat diunduh di Google Playstore dan Appstore. Dengan aplikasi ini, orang yang ingin mendapat pelayanan kesehatan dan informasi dapat terhubung dengan penyedia layanan seperti puskesmas.
Keberadaan dan semangat yang dimiliki Teddy dan teman-temannya di Pontianak Plus seakan memberi gairah baru pada KPA Kota Pontianak. Dalam program harm reduction misalnya. Sejak 2015, program yang ditujukan untuk menekan kasus penularan HIV di kalangan pengguna narkoba suntik ini bisa dikatakan vakum di Pontianak. Tidak ada lagi dukungan lembaga donor. Namun, melalui dukungan Rumah Cemara, Pontianak Plus saat ini kembali menggerakkan sejumlah kegiatan, termasuk dalam mengadvokasi pemerintahan.
Seperti diakui Lusi, upaya advokasi yang dilakukan Pontianak Plus memancing gairah berbagai pihak untuk kembali bekerja sama. “Seperti dalam upaya advokasi anggaran, teman-teman di stakeholder, khususnya KPA Kota Pontianak kembali bersemangat melakukan advokasi bersama,” ujarnya.
Menurutnya, advokasi yang ditujukan agar Pemkot Pontianak menyediakan anggaran untuk kebutuhan ODHA dan pengguna narkoba berlangsung lancar. Pemkot telah mengeluarkan SK Walikota yang isinya menyetujui adanya PBI (penerima bantuan iuran) bagi ODHA dalam mengakses BPJS Kesehatan. Anggaran KPA Kota Pontianak pun meningkat yang semula sekitar 400 juta rupiah setahun, sekarang menjadi sekitar 600 juta rupiah.
”Ini tentunya hasil dari advokasi bersama antara Pontianak Plus bersama KPA Kota Pontianak,” ucapnya bangga.
Kebijakan untuk meringankan beban berobat bagi ODHA ini telah berlangsung sejak 2018. Sejumlah ODHA beserta keluarganya dalam satu KK (kartu keluarga) telah menerima bantuan iuran PBI BPJS kesehatan melalui APBD Kota Pontianak. Selain BPJS Kesehatan gratis, Pemkot Pontianak melalui dinas sosial juga memberikan dukungan berupa modal bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi ODHA yang memiliki usaha. Sebanyak 11 orang telah merasakan manfaatnya.
Capaian lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah lahirnya Kesepakatan Bersama tentang Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Pada Pengguna NAPZA. Kesepakatan itu dibuat oleh Lembaga Kemanusiaan Pontianak Plus, Pemprov Kalbar, Pemkot Pontianak, dan Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Kalbar pada 25 September 2019.
Dalam kesepakatan yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi HIV pada pengguna NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) ini, tercantum sejumlah kesepakatan mulai dari pembentukan pokja pengurangan dampak buruk konsumsi NAPZA, penyediaan layanan biomedical, behavioral, dan structural yang berbasis aplikasi, hingga sosialisasi dan soal pembiayaannya.
Melalui kesepakatan yang turut ditandatangani langsung oleh Gubernur Kalbar dan Walikota Pontianak ini, diharapkan kerja sama program pengurangan dampak buruk konsumsi NAPZA memiliki dasar pelaksanaannya.
Komunikasi tampaknya menjadi faktor penting yang membuat Teddy dan komunitas pegiat HIV-AIDS di Pontianak dapat mendorong sejumlah pihak mau bahu-membahu mengatasi epidemi ini. Hubungan baik yang terjalin menjadi penentu.
Fasilitas yang Sudah Tersedia Belum Banyak Terpakai
Kebijakan yang mulai berpihak pada komunitas orang dengan HIV-AIDS atau yang terdampak HIV menjadi angin segar. Kebijakan yang mengakomodasi kepentingan komunitas tentu perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Dalam hal program PBI BPJS Kesehatan, KPA Kota Pontianak telah memfasilitasi ODHA agar mudah mengakses layanan kesehatan secara cuma-cuma.
“Sekarang sudah enak. Teman-teman ODHA tinggal datang saja ke KPA. Cukup menyerahkan fotokopi KTP dan kartu keluarga. Nggak perlu ada survei, yang penting kami tahu ada yang positif HIV. Langsung bisa kami sampaikan ke Yanmedik di Dinkes. Jadi dilihat dari prosesnya sudah sangat enak,” ungkap Lusi.
Namun sayangnya, hambatan muncul justru dari sisi komunitas sendiri. Dari penuturan Lusi, yang mendaftarkan diri untuk mengakses PBI sejauh ini baru 20 orang saja. Padahal menurutnya, KPA Kota Pontianak telah berhasil melobi DPRD agar kuota untuk peserta PBI BPJS Kesehatan ditambah menjadi 100 orang.
“Tapi justru kok mereka sepertinya nggak minat ya? Yang masuk cuma 20-an orang. Sayang sekali. Kayaknya, masih ada kekhawatiran deh, terutama di kalangan pengguna narkoba saat diminta KK dan KTP,” ucapnya setengah mengeluh. Ia juga menduga, kecilnya minat ODHA mengakses PBI ini karena menilai layanan melalui BPJS ini jelek.
Topik soal minat komunitas mendaftarkan diri menjadi peserta PBI BPJS Kesehatan juga terungkap dalam sebuah diskusi di community-based care yang dikelola Pontianak Plus. Di tempat yang biasa digunakan oleh komunitas untuk melakukan pertemuan kelompok ini, berlangsung sebuah focus group discussion, Rabu (13/11/2019). Pesertanya berasal dari perwakilan populasi kunci di Pontianak.
Sebagian peserta mengakui, meskipun prosedur untuk mendaftarkan diri menjadi peserta PBI telah sangat mudah, namun masih ada rasa malas mengurus administrasinya. Selain itu, beberapa peserta mengaku terkendala dengan pengurusan surat keterangan miskin dari pemerintah setempat.
Keberlanjutan Program Jadi Tantangan
Diskusi dengan komunitas saat itu juga membahas beberapa isu penting seputar konsumsi narkoba terkini di Pontianak. Konsumsi sabu dengan cara disuntikkan sedang menjadi tren di sana. Banyak alasan yang diungkapkan, mulai dari keyakinan bahwa dengan cara disuntik menjadi lebih hemat, hingga adanya keinginan mendapat sensasi. Ya, sensasi untuk membangkitkan romantika saat masih menyuntik heroin di masa lalu.
Risiko penularan penyakit akibat bergantian memakai alat suntik terkadang tidak diindahkan. Beruntung, di Pontianak telah lama berdiri lembaga yang menjangkau mereka seperti West Borneo Action yang memang menjalankan program untuk harm reduction. Selain itu, tentu saja ada Yayasan Pontianak Plus.
“Pontianak Plus itu sangat bermanfaat. Saya jadi tahu ada program metadon atau program LASS (layanan alat suntik steril-pen) buat kita. Kalau nggak ada mereka, saya nggak akan tahu kalau tukar-tukaran jarum (suntik) itu bahaya,” ujar DR (34), seorang pengguna narkoba yang hadir dalam diskusi siang itu. Ia dapat informasi keberadaan Pontianak Plus dari teman-temannya, sesama konsumen narkoba.
Hal serupa disampaikan RK (29), istri DR yang juga konsumen narkoba. Menurutnya, para petugas di Pontianak Plus sangat membantu. “Bahkan dulu itu saya sama sekali nggak tahu apa-apa soal kesehatan. Yang penting pake. Dulu itu saya harus ke tempat bandarnya dulu, barulah dapat jarum suntik. Itu juga kita harus beli, satunya lima ribu rupiah,” terangnya.
Masalahnya, menurut pasangan suami istri beranak dua itu, suntikan dari tempat bandar tidak selamanya tersedia. Akibatnya, terkadang mereka sering menggunakan suntikan bekas bergantian dengan teman-temannya. Mereka kemudian sadar akan bahaya berbagi suntikan dari penyuluhan Pontianak Plus yang belakangan sering diikuti. DR dan RK beruntung, keduanya didiagnosis tidak terinfeksi HIV saat melakukan tes.
Keduanya serempak mengatakan, jauh di dasar hatinya ingin cepat berhenti menggunakan narkoba. Saat ini mereka mengaku menggunakan narkoba, khususnya sabu rata-rata tiga hari sekali. Ini sudah jauh berkurang ketimbang sebelum dikaruniai anak, yang menurutnya bisa setiap hari.
“Pingin banget berhenti. Apalagi lihat teman-teman yang sudah clean gitu, iri rasanya. Kok dia bisa sukses…kok saya susah,” ujar DR yang juga bekerja sambilan sebagai tukang parkir itu.
Bukan hanya bagi DR dan RK, susahnya melepaskan diri dari kecanduan zat juga dirasakan teman-temannya. Terlepas dari soal itu, masalah kesehatan menjadi perhatian utama mereka saat ini. Meski masih berkutat dengan konsumsi narkoba, dan tidak sedikit yang telah terinfeksi HIV, mereka tetap memiliki keinginan untuk sehat. Mereka memerlukan panduan untuk mempertahankan kesehatan tubuhnya.
Aplikasi KLIK yang diperkenalkan Pontianak Plus menjadi terobosan baru. Melalui penerapan teknologi kekinian, komunitas populasi kunci di Pontianak yang umumnya juga pengguna smart phone merasakan manfaatnya. Banyak informasi yang dapat mereka akses, mulai dari informasi fasilitas layanan kesehatan seperti pengobatan, hingga konsultasi hukum. Kemudahan dan privasi yang cukup terjaga tampaknya menjadi daya tarik bagi mereka untuk mengakses aplikasi yang didukung EJAF melalui Rumah Cemara ini.
Namun sayangnya, mereka merasa respons dari admin atau pengelola KLIK masih terbilang lambat, terutama saat menjawab pertanyaan.
“Jawabannya sering lama, bisa berhari-hari kalau ditanya tentang satu informasi,” ujar Kiki, salah seorang pengguna KLIK. Ia berharap, pengelola KLIK dapat lebih responsif menjawab kebutuhan informasi komunitas yang menjadi pengguna aplikasi itu.
Tingginya minat komunitas dalam mengakses informasi kesehatan diakui Teddy Subarta. Ia menilai, keberadaan sebuah lembaga yang bisa memenuhi kebutuhan informasi bagi komunitas menjadi hal penting. Namun di sisi lain, ia sedang berpikir keras tentang satu hal, yakni keberlanjutan sebuah lembaga beserta program kerjanya.
“Saya dan teman-teman sedang galau juga memikirkan sustainabilty program HIV atau harm reduction di sini,” terangnya. Bagaimanapun, ia menyadari, dukungan lembaga donor tentu memiliki batas waktu. Tidak selamanya ada.
“Sekarang masih ada EJAF, Rumah Cemara, dan yang lainnya. Tapi kan mereka nggak akan selamanya ngasih dukungan,” lanjutnya. Ia ingin melakukan sesuatu agar program yang telah berjalan baik di kota tempat ia tinggal bisa terus berlanjut.
Baginya, program akan berkelanjutan jika ada dukungan dari Pemkot Pontianak. Ya, dukungan pengganggaran melalui APBD. “Makanya, saya ingin belajar dari beberapa lembaga atau organisasi kemasyarakatan seperti MUI, atau Pemuda Pancasila misalnya. Mereka kan bisa dapat anggaran rutin dari APBD,” ucap pria yang sempat kuliah di Bandung itu bersemangat.
Mimpi Teddy adalah harapan bagi mereka yang terdampak HIV-AIDS di Pontianak. Cita-cita yang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya. Selain, tentu saja, memerlukan kerja sama dari berbagai pihak yang serius untuk menekan laju epidemi HIV-AIDS di kota yang terkenal dengan keelokan sungai bernama Kapuas itu. *******