Meksiko, Minggu, 11 November 2018
Tim Indonesia kembali mengikuti Kejuaraan Dunia sepak bola jalanan
Homeless World Cup (HWC) yang tahun ini digelar di Meksiko mulai 13 hingga 18 November 2018 mendatang.
Turnamen sepak bola bagi tunawisma dan orang-orang terpinggirkan ini diikuti sedikitnya 500 pemain dari 63 tim yang mewakili 47 negara. Rumah Cemara, sebagai penyelenggara nasional di Indonesia yang ditunjuk HWC Foundation sudah delapan kali mengirimkan tim, tanpa terputus sejak tahun 2011 lalu.
Dari delapan kali keikutsertaan, baru kali ini tim Indonesia bakal turun dengan seorang pemain perempuan.
Manajer tim, Yana Suryana mengatakan, keberadaan Eva Dewi Rahmadiani, 34 tahun yang positif HIV melengkapi keberagaman di dalam timnya. “Semua isu terwakili. Ada pemain dari isu miskin kota, pengguna narkoba, mantan warga binaan (narapidana), dan positif HIV. Keterwakilan ini jadi penting karena isu yang hendak kami bawa adalah soal keberagaman,” ujar Yana di Meksiko, Minggu (11/11).
Apalagi, ungkap Yana, kondisi di Indonesia jelang pemilihan presiden tahun 2019 seolah-olah menyederhanakan perbedaan sebagai sebuah pilihan semata dalam konteks politik praktis. “Yang hendak kami sampaikan adalah ada anak-anak bangsa yang punya latar belakang berbeda dan mau melakukan sesuatu buat negaranya,” terang Yana.
Tantangan untuk mewujudkan itu adalah meyakinkan publik bahwa kompetisi macam HWC bukan sekedar mencatatkan prestasi di mata internasional. “Memang penting berprestasi tapi bagi kami yang lebih penting bukan mengangkat piala, jadi juara satu, tapi ada perubahan dalam individu setiap pemain. Perubahan menjadi sosok yang lebih baik dan untuk berubah itu melibatkan orang banyak,” tegas Yana.
Sebagai ilustrasi, kata Yana, para pemain harus bisa menghargai berbagai perbedaan yang ada di lingkungan sekitarnya. Namun untuk bisa melakukannya, mereka harus bisa menghargai perbedaan mulai dari dalam timnya.
Yandi Abdul Rajab, 24 tahun, salah seorang pemain tim nasional memaparkan, dirinya mendapatkan pelajaran hidup dari pemusatan pelatihan di Bandung sebelum diberangkatkan ke Meksiko. “Saya itu malu sama Kang Eman yang punya semangat tinggi dan bisa memotivasi banyak orang. Saya jadi terdorong untuk bisa lebih baik,” kata Yandi merujuk pada Eman Sulaeman, pemain tim nasional HWC 2016 yang terlahir tanpa kaki utuh.
Pemain yang lolos dari seleksi di Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga belajar banyak dari rekan satu timnya, Rizal Eka Saputra yang sempat merasakan dingin dan kelamnya penjara sejak usia 16 tahun. “Kemauannya untuk berubah itu besar sekali. Hal-hal seperti ini tidak pernah saya dapatkan di kampus,” ujar Yandi yang masih berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Rizal Eka Saputra, 26 tahun bertekad untuk merintis Rumah Harapan sepulang dari perhelatan HWC 2018 di Mexico City. Pengalamannya sebagai seorang narapidana membuat dia tahu benar pahitnya kehidupan saat tidak ada orang yang mau mendengar suara hati apalagi menghargainya sebagai sesama manusia.
“Saya mau ada tempat yang bisa menerima semua orang tanpa melihat perbedaan dan kondisi latar belakangnya,” ujar Rizal.
Soal teknik bermain bola, Rizal mengaku kemampuan dirinya tidak sebanding dengan teman-teman satu timnya. “Tapi saya punya semangat buat tim ini,” ungkapnya.
Tim nasional untuk HWC 2018 di Meksiko terdiri dari delapan pemain yang didampingi seorang manajer dan pelatih. Para pemain ini hasil seleksi yang berlangsung pada 24-26 April 2018 di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Seleksi itu diikuti 70 peserta dari sejumlah provinsi, yaitu Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Mereka berasal dari organisasi dan lembaga swadaya masyarakat mitra Rumah Cemara dalam program pengembangan olahraga untuk perubahan sosial.
Para pemain yang terpilih itu, masing-masing, Rizal Ferdian Somawijaya, 24 tahun, Eva Dewi Rahmadiani, 34 tahun, Dego Z. Arifin, 25 tahun
Adam Riyaldi, 21 tahun, Miftaul Maarif, 19 tahun, M. Fajar Priatna, 25 tahun, Rizal Eka Saputra, 26 tahun, dan Yandi Abdul Rajab, 24 tahun.
Pelatih tim nasional untuk HWC 2018, Aulia Rahman memaparkan ada tantangan tersendiri saat membentuk tim dengan keberadaan perempuan di dalamnya.
“Yang menarik para pemain lain tidak menurunkan standarnya karena ada Eva. Memang ada tantangan karena perbedaan stamina dan fisik. Tapi dari sisi Eva juga ada motivasi kuat tidak mau kalah dengan yang lain,” ungkap Aulia.
Menyoal target prestasinya, Aulia memaparkan, sejak awal manajemen Rumah Cemara tidak memberikan beban terkait itu. “Kita sepakat yang mau kita bawa itu adalah isu soal perubahan sosial dan bagaimana para pemain ini bisa membuat program untuk perubahan dalam hidupnya pasca HWC ini,” tutur Aulia sembari menambahkan dirinya secara pribadi berharap timnya bisa menang dalam setiap pertandingan yang dilaluinya.