Media tayang akan menyensor tampilan gambar payudara termasuk tayangan ibu-ibu menyusui. Belahan dada di film kartun bahkan disensor. Di sisi lain, gambar dada laki-laki yang kurang lebih sama anatominya menjadi hal yang dianggap biasa.
Apakah ini soal ukuran? Tapi kadang ada laki-laki yang punya ukuran dada lebih besar dari perempuan. Perempuan pun, misalnya atlet yang berotot, ada yang payudaranya kecil. Rasanya tidak masuk akal jika itu yang jadi alasan.
Selain fungsinya untuk menyusui, dada/ payudara perempuan punya bentuk yang kurang lebih sama dengan laki-laki. Pesumo tidak perlu menutupi buah dada mereka dengan bra. Mereka bertelanjang dada dan orang menganggapnya sebagai hal yang biasa saja.
Apa yang terjadi jika seorang perempuan bertelanjang dada karena kepanasan? Banyak orang yang akan mencibir atau bahkan horny. Padahal, seringkali pekerja laki-laki bertelanjang dada saat kepanasan. Tidak jarang, mereka berbuah dada lebih besar daripada perempuan.
Payudara, milik perempuan tentunya, harus selalu ditutupi. Padahal, payudara perempuan adalah organ yang luar biasa akrab dengan kita semua. Hampir semua orang sudah akrab dengan payudara milik perempuan semenjak lahir. Ya, yang menghidupi mereka saat bayi adalah payudara ibunya. Ia perempuan, bukan? Artinya, payudara perempuan merupakan suatu hal yang paling dulu kita kenal. Fungsi biologisnya sudah jelas, namun didiskriminasi.
Memperlihatkan payudara di muka umum merupakan hal yang nyeleneh bagi kaum perempuan, tetapi tidak bagi kaum laki-laki. Isu soal menyusui di depan umum juga pernah menjadi permasalahan di berbagai belahan dunia. Banyak perempuan jadi gunjingan karena melakukannya – padahal yang ia lakukan hanyalah memberi makan bayinya yang bisa lapar kapan saja.
Lalu produk penutup payudara ibu-ibu menyusui mulai bermunculan, karena mereka merasa tidak aman dan nyaman oleh pandangan masyarakat.
Ukuran buah dada bersifat relatif, namun umumnya ukuran milik perempuan lebih besar dan membesar setelah mengalami pubertas di masa remaja (usia 10-12 tahun). Pada usia 12, perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan biasanya sangat nyata dari bentuk dan ukuran tubuhnya.
Anak lelaki kelak umumnya memiliki janggut dan suaranya nge-bas. Struktur tulangnya menjadi kekar dan ototnya kuat dan besar. Anak perempuan akan punya pinggul lebar, payudaranya membesar, dan suaranya bertala tinggi. Perbedaan-perbedaan yang muncul akibat pubertas ini memang nyata, namun apa yang dialami oleh perempuan sering kali menjadi objek yang “dipornokan” atau objek yang diatur oleh kekuasaan.
Tubuh Manusia adalah Milik Kebudayaan
Tubuh biologis kita yang sudah jadi apa adanya, yang bisa sakit, terluka, dan mati, dan sebagainya ini masih saja harus diganggu-gugat oleh pendapat orang dan aturan-aturan kebudayaan. Maka, banyak pula istilah bagi tubuh, seperti “tubuh sosial” dan “politik tubuh”.
Antropolog Carol Delaney (2004) dalam bukunya Investigating Culture menyebutkan bahwa, there’s no such thing as “the body”. Akibatnya, tubuh perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan makna yang diasosiasikan dengan kondisi ketubuhannya.
Mengapa ada asosiasi semacam itu?
Masyarakat Barat (tadinya) berpikir bahwa tubuh merupakan suatu entitas alamiah. Sebagai bagian dari alam hewani, tubuh perempuan di sini diasosiasikan dengan alam. Ini berkaitan dengan masalah reproduksi sebagai fenomena alamiah, dan perempuan sangat lekat dengan asosiasi akan reproduksi. Faktanya, tubuh manusia bukan merupakan asosiasi alam, melainkan dipengaruhi oleh kebudayaan.
Masih menurut Delaney, tubuh bukan dan tidak dapat dipahami sebagai hal yang hanya alamiah semata, sebagai entitas yang mandiri, karenanya tidak ada suatu hal pun yang disebut sebagai tubuh “alami” tanpa tersentuh oleh kebudayaan. Tubuh direka dan dibentuk oleh kebudayaan – tidak hanya soal apa yang kita makan, bagaimana kita tidur atau berjalan, tapi juga bagaimana kita “mengalami” tubuh kita (dengan hormat, kejijikan, percaya diri, atau kesakitan, dan oleh citra serta ikon budaya) – yang termasuk kontrol sosial dan disiplin.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia mengalami berbagai pengalaman tubuh semenjak dilahirkan. Bagaimana cara kita diberi makan, bagaimana cara kita ditimang saat bayi, bagaimana kita berolahraga, bagaimana kita disunat, ditindik, ditato, dan sebagainya. Berbagai hal ini kita peroleh melalui ikut campurnya kebudayaan terhadap tubuh alami kita.
Aturan-aturan kebudayan ini menentukan bentuk fisik kita, misalnya pembebatan kaki pada sebagian perempuan Tionghoa. Pembebatan kaki ini dimaksudkan untuk membatasi gerak perempuan agar selalu tetap berada di wilayah domestik. Setiap perempuan (terutama yang berstatus sosial tinggi), sejak kanak-kanak, kakinya dibebat kencang oleh semacam kain perban yang membuat ukuran kaki mereka senantiasa kecil.
Proses tersebut bahkan bisa membuat struktur tulang kaki perempuan-perempuan itu berantakan, bahkan patah. Masyarakat Tionghoa pada masa itu mempunyai konsep kecantikan yang luar biasa terhadap perempuan yang berkaki kecil. Masih banyak lagi contoh intervensi kebudayaan terhadap tubuh manusia. Bukan hanya terjadi pada perempuan, namun juga pada laki-laki di belahan dunia manapun.
Payudara dalam Konstruksi Budaya
Seperti anggota tubuh lainnya, payudara pun tidak luput dari intervensi kebudayaan. Perlu kita batasi, hal ini terjadi dalam masyarakat yang “sudah berpakaian”. Pakaian merupakan hasil cipta kebudayaan, bukan?
Seperti sudah saya uraikan sebelumnya, ada perbedaan impresi terhadap dada perempuan telanjang dengan dada laki-laki telanjang. Saat ini (di luar ketentuan agama tertentu), dunia seakan mengharuskan dada perempuan sedapat mungkin ditutupi, sekalipun ia merasa kepanasan luar biasa. Laki-laki bisa dengan cueknya berkegiatan dengan dada telanjang, seperti berenang, jalan-jalan santai, atau sekadar nongkrong.
Bagi kaum perempuan, bertelanjang dada bisa meresahkan masyarakat. Akhirnya, kaum perempuan sendiri merasa resah jika dadanya terlihat. Jangankan telanjang dada, hanya memakai kutang atau bra saja perempuan sudah merasa malu dan risih. Saat ia mengenakan pakaian pun, sebagian bahkan merasa malu jika tidak menggunakan bra, karena khawatir sembulan putingnya terlihat.
Ini cukup mengherankan.
Bukankah seperti saya ungkapkan sebelumnya, payudara perempuan merupakan organ tubuh yang paling akrab bagi semua orang, baik perempuan maupun laki-laki? Kenyataan juga menunjukkan, sejak bayi, hampir semua manusia sama-sama menyusu pada payudara ibunya yang seorang perempuan.
Sekarang ini sering kali terjadi, jika payudara terlihat menyembul di media atau di tempat umum, impresi banyak orang tidak senatural kelakuan saat menyusu pada payudara ibu mereka.
Di beberapa kelompok masyarakat, terutama yang masih tradisional, sampai saat ini masih ada payudara maupun payujaka yang bebas menghirup udara segar. Dalam masyarakat yang belum berpakaian ini, telanjang dada merupakan cara hidup sehari-hari. Misalnya pada beberapa suku di Papua atau sebagian suku penduduk asli Amerika Selatan.
Di tempat saya tinggal, kawasan Cicendo di Kota Bandung, pada 1950-an menurut ibu saya, masih banyak nenek-nenek atau ibu-ibu yang bertelanjang dada. Masyarakat tidak memandangnya sebagai sesuatu yang aneh. Ketika melakukan riset di daerah Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat pada 2015, saya masih melihat seorang nenek yang bertelanjang dada dengan santainya.
Sebuah tulisan Michél Picard (2006) bertajuk Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, menyebutkan bahwa Bali merupakan “pulau dada telanjang”. Saat itu dada telanjang perempuan Bali merupakan daya tarik pariwisata yang jadi kunci sukses. Foto-foto mengenai Bali menggambarkan dada perempuan-perempuan Bali yang telanjang.
Menurut masyarakat Barat yang sudah berpakaian, telanjang dada memiliki sisi eksotis tertentu. Bagi masyarakat Bali, bertelanjang dada adalah hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya pada suatu waktu, Presiden Sukarno menutupi dada mereka.
Tidak berhenti pada persoalan payudara yang harus ditutupi, penutup payudara sendiri mempunyai aturan yang tambah rumit. Di balik pakaian-pakaian perempuan yang menutupi payudara itu, masih terdapat satu lapisan yang dinamakan BH, bra, atau kutang. BH adalah singkatan dari breast holder alias penyangga dada. Dengan menggunakan beha, payudara akan berada dalam suatu posisi yang ajek.
Ukuran payudara yang lebih besar dari ukuran kebanyakan payujaka harus ditahan oleh beha ini untuk mengurangi goncangan payudara. Selain itu, beha membuat bentuk payudara tetap terangkat atau tidak turun.
Dalam konstruksi budaya soal payudara, sepasang payudara yang “bagus” adalah payudara yang montok dan terangkat. Banyak laki-laki yang lebih tertarik dengan bentuk payudara yang “bagus” seperti ini, bukan yang menggelantung seperti payudara masyarakat yang belum berpakaian.
Banyak perempuan yang mengonstruksi tubuhnya demi usaha menarik lawan jenisnya, vicé versa laki-laki pun melakukan hal demikian. Ini berkaitan dengan dorongan seksualitas manusia yang sebetulnya alamiah, namun lagi-lagi diintervensi oleh kebudayaan. Misalnya, dalam hal kriteria, pilihan-pilihan, orientasi seksual, dan sebagainya.
Horton (1984) menyebut, dorongan seksual adalah kecenderungan biologis untuk mencari tanggapan seksual dan tanggapan yang berbau seksual dari seseorang lain atau lebih, biasanya dari jenis yang berlawanan. Rasanya, soal payudara yang dibicarakan di sini banyak sekali berkaitan dengan kegiatan seksual manusia yang alamiah.
Dalam banyak hal, perempuan dituntut untuk terus berada dalam konstruksi dan aturan yang diinginkan laki-laki. Pembentukan tubuh perempuan, termasuk payudara, dikonstruksi oleh laki-laki untuk memenuhi kebutuhannya. Konstruksi yang ekstrem seperti ini terjadi dalam berbagai kultur, misalnya pada kultur orang Madura.
Abdul Latif Bustami (2006) dalam artikel berjudul “Seksualitas Oreng Madure: Gelas Bergoyang dan Sendok pun Bergetar” menulis, pada kalangan laki-laki (lake’) ekspektasi seksualitas perempuan diungkapkan dengan, ‘ka sampang ka roma sake’ toan dokter capengan pote. Je’ pang gampang daddi reng bine’ mon ta’ e pola ta’ paju lake’ (walaupun secara fisik perempuan, pada dasarnya menjadi perempuan sangat sulit, karena harus pandai merawat diri. Kalau tidak mampu memberikan kepuasan seksual maka akhirnya akan sulit mencari jodoh).
Dalam artikel yang dimuat di Jurnal Shrint!l Edisi 10 itu, Bustami juga menyatakan seorang wanita harus pintar merawat badan (araksa, epola) dengan minum jamu, menggunakan koteka, sren-asren agar suami pasangannya perna (betah di rumah), esto paraten (sayang), roman dipadiyan, mon toman libaliyen (pelayanan seksual yang memuasakan sehingga minta terus). Kalau tidak memberikan pelayanan maka jangan heran kalau suami atau pasanganmu mencari perempuan yang lain.
Muhadjir Darwin (2005) mengatakan, di masyarakat keraton, perempuan dimaknai tidak lebih sebagai “kelagenan” (pemuas nafsu birahi) laki-laki bangsawan dan ia harus bisa “ngudi saliro” (merawat badan) untuk memuaskan hedonisme laki-laki bangsawan.
Ya, itulah campur tangan kultur laki-laki soal tubuh perempuan sesuai keinginannya. Maka, payudara juga perlu dijaga – kencang, montok, apalagi besar.
Masih soal beha atau breast holder, ukuran payudara dan payujaka itu relatif. Sering kali ukuran payudara lebih besar, namun ada kalanya payujaka seorang laki-laki tumbuh besar. Ini biasanya karena masalah kegemukan.
Hal yang menarik, mengapa payujaka tidak pelu memakai beha? Konstruksi otak kita sendiri (masyarakat yang sudah berpakaian), tentunya akan terbahak-bahak jika melihat laki-laki berbalut beha atau menganggapnya transvestite alias suka berpakaian seperti lawan jenisnya.
Beberapa kelompok feminis mengaggap beha itu merupakan bentuk pengekangan atas diri mereka, sampai muncul sebuah aksi pembakaran beha. Persoalannya, untuk siapa kaum perempuan memakai beha? Entahlah!
Saya pribadi merasa tidak nyaman mengenakan beha, tapi sekaligus tidak nyaman juga jika tidak mengenakannya. Takut dikomentari orang, dianggap perempuan yang “seperti ini-itu”. Akibatnya, sering ada gejolak dalam pikiran saya. Soal rasio dan hati. Soal ketakutan saya terhadap masyarakat karena masyarakat seakan adalah Tuhan yang wujud, tepatnya sekelompok orang yang berlagak seperti Tuhan. (Artikel Lanjutan)
Daftar Pustaka
Coulson, J. , et.al (ed.), 1991. The New Oxford Encyclopedic Dictionary. UK: Oxford University Press;
Darwin, Muhadjir M., 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Media Wacana;
Delaney, Carol, 2004. Investigating Culture: An Experiental Introduction to Anthropology. UK: Blackwell Publishing;
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, 1984. Sociology. USA: McGraw-Hill;
Itzin, Catherine, 1992. Pornography: Women, Violence, and Civil Liberties. UK: Oxford University Press;
Picard, Michél, 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia;
Al-Maksumi, Muhammad Abdullah Asror. “Konstruksi Seksualitas dalam Wacana Pesantren”. Jurnal Srinthh!l No.10, 2006;
Arivia, Gadis. “Tubuhku Milikku (Perdebatan Tubuh Perempuan dalam Pornografi)”. Jurnal Perempuan No.28;
Bustam, Abdul Latif. “Seksuslitas Oreng Madure (Gelas Bergoyang dan Sendok pun Bergetar)”. Jurnal Srinthh!l No.10, 2006;
Yatim, Debra H. “Mengurai Fenomena (Perempuan dan) Pornografi”. Jurnal Perempuan No. 28;
Seri “Tubuh dan Kesehatan”. Khazanah Pengetahuan Bagi Anak-Anak. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1990;
Seri “Tubuh Manusia”. Widya Wiayata Pertama Anak-Anak. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1990.
1 Comment