(Artikel Sebelumnya) Apa yang kita bayangkan soal pornografi adalah soal seksualitas. Dalam hal yang berkaitan dengan seks tersebut, seringkali menyangkut payudara dan payujaka di dalamnya. Sebelumnya, perlu kita batasi apa yang kita pahami tentang pornografi.
Dalam Reader’s Companion to Women’s History pada 1980-an, yang dimaksud dengan pornografi secara umum adalah bahan-bahan yang kandungan seksualnya eksplisit. Definisi ilegal dari pornografi menurut mereka adalah, kecabulan (obscenity) yang menarik bagi minat rendahan, menyinggung perasaan, dan tidak mempunyai nilai artistik, politik, maupun ilmiah yang serius.
Pornografi dianggap sebagai suatu kekerasan terhadap perempuan dan sikap merendahkan martabat perempuan (Debra H. Yatim. “Mengurai Fenomena: Perempuan dan Pornografi” dalam Jurnal Perempuan No. 28).
Hal ini tentunya menunjukkan keberpihakan definisi pornografi terhadap kemaslahatan perempuan. Masih dari sumber yang sama, Diana E.H. Russel mendefinisikan pornografi sebagai materi yang menggabungkan seks dan atau eksposur alat kelamin dengan cara menyalahgunakan dan merendahkannya dalam sikap seolah mendukung, mengizinkan, maupun mendorong perilaku demikian.
Secara harfiah, pornografi berasal bahasa Yunani kuno, yaitu porne yang berarti budak seks perempuan, dan graphos yang berarti tulisan. Itulah sebabnya jika kita bicara soal pornografi maka lekat kaitannya dengan perempuan. Banyak orang merasa bahwa pornografi lebih banyak menindas kaum perempuan yang seringkali menjadi objek pornografi.
Bagi saya, pornografi lebih condong kepada pengertian eksposur terhadap kegiatan seks yang seharusnya bersifat pribadi. Namun, apa yang kita pahami sebagai pornografi ini simpang siur dengan dalih seni atau estetika.
Saya pikir, dengan berbekal pengetahuan tertentu, seseorang dapat menentukan mana yang porno dan mana yang seni. Hal itu tidak dapat disamaratakan dalam sebuah pakem. Ya memang dalam kenyataan, pornografi yang sering kita lihat banyak memperlihatkan tokoh perempuan.
Pemandangan yang paling lembut soal perempuan dan pornografi adalah payudara, sebelum merambah ke daerah alat kelamin, alat reproduksi biologis yang sesungguhnya.
Tulisan “Tubuhku Milikku (Perdebatan Tubuh Perempuan dalam Pornografi)” dari Gadis Arivia dalam Jurnal Perempuan No. 28 menyebutkan bahwa, tubuh perempuan yang didefinisikan secara maternal lengkap dengan atribut-atributnya sebagai makhluk keibuan, perawat, dan lemah lembut menampilkan suatu sosok perempuan yang diterima oleh masyarakat patriarki.
Namun, lanjutnya, sosok perempuan yang bertolak belakang dari itu, yang menampilkan seksualitas, sensualitas, bahkan agresivitas seksual (soft pornography), mendapatkan kecaman dari kelompok moralis sekaligus dijadikan objek budaya dan ekonomi oleh masyarakat patriarki. Disebutkan juga dalam permasalahan politik ketubuhan, bahwa dari ujung rambut hingga ibu jari kaki, semua raut muka perempuan, seluruh bagian tubuhnya, adalah sasaran bagi modifikasi dan bongkar pasang.
Ya, apa yang perempuan miliki dalam bentuk payudara itu menampilkan atribut-atribut maternalnya. Namun di sisi lain, payudara merupakan objek seksual yang erat kaitannya dengan pornografi yang membuat kaum laki-laki ereksi. Hal ini membuat banyak perempuan merasa serba salah. Apa yang bisa mereka lakukan? Seolah-olah keadaan perempuan merupakan sebuah kesalahan.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam “Diskriminasi Seks dan Teks Klasik Islam” (diambil dari Al-Maksumi, artikel “Konstruksi Seksualitas dalam Wacana Pesantren” yang dimuat Jurnal Srinthh!l No.10) menyebutkan bahwa, konsepsi seksualitas dalam Islam (teks-teks Islam klasik) dibangun atas tiga pilar yang bersifat diskriminatif.
Pertama, seksualitas adalah sesuatu yang memalukan, makanya harus dirahasiakan dan tidak diekspos di tengah-tengah publik. Kedua, perempuan tak lain dalah figur “penggoda” (baca: fitnah) terhadap kesalehan masyarakat, sehingga seksualitasnya harus dikontrol, diawasi, dibatasi, dan diarahkan. Ketiga, seksualitas dalam Islam memanjakan laki-laki, sehingga laki-laki diberi banyak kesempatan untuk mencapai puncak kenikmatannya.
Tanpa mengaitkannya dengan agama, saya hanya ingin menunjukkan bahwa keberadaan perempuan yang alami, sering menjadi fitnah, maka perempuan dibebani dengan berbagai aturan yang berkaitan dengan seksualitasnya. Jilbab sebagai suatu usaha untuk mengurangi fitnah-fitnah itu memang baik, namun diperuntukkan bagi siapa? Siapa yang bernafsu duluan?
Tanpa banyak teori, predisposisi di otak sebagian besar laki-lakilah yang menyalahkan kondisi fisik perempuan.
Dalam konstruksi pikiran masyarakat, perempuan yang berpose telanjang dada di media saja sudah merupakan hal yang bisa meningkatkan dorongan seksual. Beda dengan dada laki-laki yang bisa kita nikmati sehari-hari tanpa perlu berpikir ngeres. Artinya, terdapat ketidaksetaraan seksual, gara-gara masalah buah dada. Akibatnya, muncullah terminologi “seksisme”!
Seksisme itu ibaratnya memberikan pembedaan atas perempuan dan laki-laki, namun hubungannya cenderung vertikal. Dalam setiap masyarakat, perempuan menjadi pihak yang tertindas dalam relasi gender. Seperti diungkapkan Chaterine Itzin (1992), dengan sistem yang seksis ini, kekuasaan laki-laki (atau supremasi laki-laki) terlembagakan. Maka kelompok laki-laki mempunyai akses terhadap ekonomi, sosial, seksual, politik, sementara perempuan tidak.
Menurutnya, sistem ketidaksetaraan dan diskriminasi atas jenis kelamin ini dikonstruksi oleh sosial demi keuntungan bagi kelompok tertentu dan untuk merugikan kelompok lain. Ideologi dan praktik ketimpangan seksual bersifat meresap (pervasive) di semua kebudayaan. Baik perempuan maupun laki-laki dikondisikan oleh kebudayaan, dan membutuhkan banyak sikap, kepercayaan, juga perilaku terhadap kondisi yang mereka rasa perlu.
Dalam sistem seksisme, perempuan dan laki-laki dikondisikan dalam posisi dominasi (laki-laki) dan subordinasi (perempuan).
Berhubung konstruksi ini milik masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki akhirnya bersepakat bahwa payudara itu merupakan objek maternal yang alami sekaligus “terpornokan”. Ketika payudara menjadi objek seksual laki-laki, perempuan sebagai pemirsa maupun pelakunya pun merasakan hal yang sama.
Akhirnya yang dianggap sebagai perempuan yang “baik” adalah yang menutupi payudaranya, sedangkan perempuan yang “tidak baik” mau menampilkan payudaranya.
Tubuh perempuan sebegitu diaturnya oleh masyarakat dan menciptakan kondisi yang timpang dengan tubuh laki-laki, padahal dengan kondisi yang sama, fungsi yang sama (kecuali masalah maternal), wujud yang sama, seharusnya terdapat kewajiban dan hak yang sama terhadap tubuh.
Bagi banyak orang, bicara soal gender, ada perempuan ada laki-laki, membuat kita gerah karena memang tidak pernah mati dan lebih sering membicarakan perempuan. Perempuan-perempuan ini mengalami krisis, karena mereka (merasa atau memang) dikuasai oleh dominasi laki-laki. Hidup mati mereka diatur oleh kekuasaan, yang berhak bicara soal seksualitas mereka adalah laki-laki.
Betul juga kata Michél Foucault, kekuasaanlah yang bisa berkoar tentang seks, dan laki-lakilah pemegang kekuasaan dalam hal ini. Sesuatu yang sama menjadi beda, sesuatu yang beda menjadi sama, suatu subjek menjadi objek, suatu objek menjadi subjek, sesuatu Godot menjadi sesuatu hal, sesuatu hal menjadi sesuatu Godot, dan sebagainya.
Seksualitas bukan asal lahir dan diperbincangkan tanpa makna. Seksualitas selalu lahir dari ledakan dan pelipatgandaan wacana dominan. Foucault menganggap bahwa seksualitas harusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah. Seksualitas adalah nama atau konsep yang terbentuk secara historis (“Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama” karya Moch. Yasir Alimi dalam Jurnal Srinth!l No.10).
Artinya, bagaimana perempuan dan atau laki-laki menjadi objek dan/ atau subjek seksual juga bukan suatu kebetulan, melainkan terjadi karena pelipatgandaan wacana yang tidak lain melalui media.
Akhirnya, hal kecil soal bagian tubuh manusia, payudara dan payujaka, rupanya bisa menjadi perdebatan yang rumit, namun penting. Masih banyak lagi bagian tubuh perempuan dan laki-laki yang serupa dan bisa diperdebatkan. Tapi tubuh perempuan dan keadaan perempuan sendiri memang rentan menjadi sasaran untuk menjadi wacana dalam masyarakat. Sampai kapan ini akan terjadi?
Daftar Referensi
Coulson, J. , et.al (ed.), 1991. The New Oxford Encyclopedic Dictionary. UK: Oxford University Press;
Darwin, Muhadjir M., 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Penerbit Media Wacana;
Delaney, Carol, 2004. Investigating Culture: An Experiental Introduction to Anthropology. UK: Blackwell Publishing;
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, 1984. Sociology. USA: McGraw-Hill;
Itzin, Catherine, 1992. Pornography: Women, Violence, and Civil Liberties. UK: Oxford University Press;
Picard, Michél, 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia;
Al-Maksumi, Muhammad Abdullah Asror. “Konstruksi Seksualitas dalam Wacana Pesantren”. Jurnal Srinthh!l No.10, 2006;
Arivia, Gadis. “Tubuhku Milikku (Perdebatan Tubuh Perempuan dalam Pornografi)”. Jurnal Perempuan No.28;
Bustam, Abdul Latif. “Seksuslitas Oreng Madure (Gelas Bergoyang dan Sendok pun Bergetar)”. Jurnal Srinthh!l No.10, 2006;
Yatim, Debra H. “Mengurai Fenomena (Perempuan dan) Pornografi”. Jurnal Perempuan No. 28;
Seri “Tubuh dan Kesehatan”. Khazanah Pengetahuan Bagi Anak-Anak. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1990;
Seri “Tubuh Manusia”. Widya Wiayata Pertama Anak-Anak. Jakarta: PT Tira Pustaka, 1990.
1 Comment