Semua bermula pada 2016. Penolakan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) muncul bergelombang dan meluas. Mereka yang menyuarakan anti-LGBT termasuk para elite negara. Alasannya macam-macam, tapi bisa disatukan dalam argumen kepanikan berbasis moral.
Artikel ini merupakan peraih Anugerah Indonesia tanpa Stigma 2018 Kategori Tulisan Jurnalis
Reporter: M. Faisal; Editor: Fahri Salam
Media Tayang: Tirto.id, 11 Juli 2018
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, misalnya, menyebut kelompok LGBT tidak seharusnya diizinkan berkegiatan di kampus yang menurutnya pilar “penjaga moral.” Pernyataan Nasir merespons keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies di Universitas Indonesia yang kerja-kerjanya menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.
Tapi, Nasir buru-buru mengklarifikasi. Ia berpendapat yang perlu dilarang dari kelompok LGBT di kampus adalah “tindakannya, bukan pemikiran maupun kegiatan diskusi.” Ia juga menambahkan, “menjadi lesbian atau gay itu merupakan hak masing-masing individu,” asalkan “tidak mengganggu” lingkungan akademik.”
Setelah Nasir, giliran Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek bikin komentar. Pada Februari 2016, Nila menyatakan LGBT termasuk kategori “masalah kejiwaan” dan “tidak dapat dibenarkan” sebab “membuat angka penyakit di masyarakat tumbuh tinggi.” Pernyataan Nila dipertegas Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin yang meminta pemerintah segera mengeluarkan hukum melawan LGBT serta mengidentifikasikannya sebagai “tindak kejahatan.”
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa juga ikut meramaikan penolakan LGBT. Ia menuding lewat cerita bahwa, di Lombok, Nusa Tenggara Timur, LGBT menyasar anak-anak remaja dari kalangan ekonomi kelas menengah ke bawah.
“Misalnya yang saya lihat di Lombok baru-baru ini, ada yang menyasar anak-anak kurang mampu, dengan hadiah-hadiah. Dua minggu sesudah menerima hadiah-hadiah itu, anak-anak laki-lakinya sudah berubah, jadi pakai lipstik,” ujarnya, dilansir BBC Indonesia.
Khofifah tak menjelaskan bagaimana detail kejadiannya, latar belakangnya, serta apakah betul ia mengamati peristiwa itu selama dua minggu sehingga ia bisa menyimpulkan demikian. Yang terekam dari kalimat Khofifah hanyalah pesan bahwa “LGBT melakukan perekrutan” layaknya organisasi-organisasi tertentu.
Namun, tak ada yang lebih bombastis dibandingkan pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menilai kelompok LGBT adalah bagian dari perang proksi (proxy war) untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer. Bahkan, Ryamizard meminta perlu ada pengawasan terhadap kelompok LGBT karena bisa saja punya motivasi “memerdekakan diri dari Indonesia.”
“[LGBT] bahaya, dong. Kita tak bisa melihat [lawan], tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya,” kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu kepada Kompas.com.
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pengakuan terhadap kelompok LGBT tidak akan pernah legal di Indonesia. Menurutnya, isu LGBT tidak perlu dibawa ke ranah hukum.
“Saya tidak tahu proses di DPR seperti apa, tetapi saya kira tidak ada yang berani mengegolkan itu secara formal di Indonesia,” katanya. “Bahwa kenyataannya ada, iya, selama tidak berkampanye ke luar. Itu memang suatu keadaan sosial masyarakat yang memang ada, tetapi tidak untuk secara formal. Itu urusannya masing-masing pribadi.”
Memperburuk Akses Kesehatan
Dari semula sebatas pernyataan, pandangan anti-LGBT berbuah legitimasi dalam aksi-aksi langsung di lapangan. Para pelakunya adalah aparat hukum, terutama kepolisian, dan beberapa ormas yang mengatasnamakan agama. Motifnya: menolak kehadiran LGBT di Indonesia. Bedanya, ada tindak kekerasan yang bahkan mengancam nyawa.
Alhasil, dalam tempo dua tahun terakhir, muncul gelombang pemberitaan mengenai penggerebekan lokasi tongkrongan LGBT dengan dalih “ada pesta seks” sampai penutupan paksa pondok pesantren untuk transgender di Yogyakarta.
Imbasnya, kelompok LGBT di Indonesia sulit mengakses kesehatan terutama pada layanan HIV.
Hal itu termuat dalam laporan terbaru Human Rights Watch berjudul “Takut Tampil di Hadapan Publik dan Kini Kehilangan Privasi: Dampak Hak Asasi Manusia dan Kesehatan Masyarakat dari Kepanikan Moral Anti-LGBT”. Laporan setebal 70 halaman ini menyoroti penggerebekan LGBT menggembosi upaya penanggulangan HIV.
Pengintaian polisi terhadap akun media sosial untuk menemukan lokasi tongkrongan kelompok LGBT, terkadang para petugas menjejerkan mereka setengah bugil di depan media, menghina di depan umum, dan menunjukkan kondom sebagai bukti perilaku ilegal—berbasis legitimasi moral dan mengabaikan keadilan, menurut Human Rights Watch, telah secara efektif menghalau kerja-kerja penyuluhan kesehatan masyarakat menyasar kelompok-kelompok yang rentan.
“Kegagalan pemerintah Indonesia dalam menangani kepanikan moral anti-LGBT membawa konsekuensi amat buruk terhadap kesehatan masyarakat,” ujar Kyle Knight, peneliti hak-hak LGBT dari Human Rights Watch. “Pemerintah Indonesia semestinya menyadari bahwa tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok LGBT benar-benar melemahkan upaya negara melawan HIV.”
Hasilnya: rata-rata HIV pada kalangan laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) meningkat lima kali lipat, dari 5 persen pada 2007 menjadi 25 persen pada 2017. Perhitungannya, rata-rata HIV pada kalangan LSL terus meningkat sepanjang tahun. Dari semula 506 pada 2010 lalu melonjak menjadi 13.063 selama enam tahun berikutnya, sebelum turun menjadi 11.630 orang pada 2017.
Meski sebagian besar penularan HIV di Indonesia terjadi lewat hubungan heteroseksual, sepertiga dari keseluruhan jumlah penularan baru terjadi pada LSL, demikian Human Rights Watch.
Pertanyaannya: mengapa bisa demikian?
Sandeep Nanwani, penyuluh HIV dari LSM Kebaya Yogyakarta dan alumni Harvard Medical School Department of Global Health & Social Medicine, mengungkapkan bahwa persekusi terhadap kelompok LGBT di tempat mereka biasa nongkrong telah melahirkan ketakutan mendalam bagi kelompok ini.
Usai marak aksi penggerebekan, kelompok LGBT takut datang ke tongkrongan tersebut. Padahal, di lokasi-lokasi inilah—spa, salon, sauna, kelab malam, dan ruang-ruang privat lain atau biasa disebut hot spots—mereka kerap mendapatkan fasilitas penyuluhan HIV dari para penyuluh seperti pendidikan seks dan pembagian kondom. Selain itu, mereka lebih merasa “aman dan nyaman” membicarakan masalah seksual tanpa harus dihakimi.
“Persekusi itu semacam jadi bahan bakar untuk semakin memperparah kondisi kelompok LGBT di Indonesia dalam mendapatkan hak-haknya atas fasilitas kesehatan. Hot spots menjadi lenyap semua. Tak ada lagi mereka dari kelompok LGBT yang datang ke sana. Ini yang membuat kegiatan penyuluhan jadi sulit. Sehingga tidak kaget apabila angka akses obat-obatan mereka begitu rendah. Sekitar 12 persen saja. Jauh di bawah Thailand yang mencapai 60 persen,” katanya kepada Tirto pekan lalu.
Salah satu contoh penggerebekan hot spots terjadi pada tahun lalu manakala polisi menangkap 141 orang di Atlantis Gym & Sauna, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka dianggap sedang mengadakan “pesta gay.” Mereka dijerat pasal karet dalam Undang-Undang Pornografi. Barang bukti yang dipakai polisi adalah kondom untuk mengekspos dan mempermalukan mereka di media.
Penggerebekan macam ini praktis menyulitkan dan bahkan menutup peluang kelompok LGBT memperoleh fasilitas penyuluhan HIV. Mereka takut bakal ditangkap polisi. Mereka takut membawa kondom karena berpotensi dijadikan barang bukti saat penangkapan. Praktis, kegiatan rutin macam pendidikan dan tes HIV hingga distribusi kondom terhenti. Terburuk: kegiatan penyuluhan HIV di hot spots tersebut terhenti.
Dalam laporan Human Rights Watch, hal itu “memperbesar peluang penyebaran virus lebih jauh” karena LSL berada di luar jangkauan penyuluhan.
Menjauhkan Populasi Kunci Terdampak HIV
Laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) termasuk satu dari sekian populasi kunci terdampak HIV. Lainnya adalah wanita pekerja seks langsung, wanita pekerja seks tidak langsung, waria, dan pengguna napza suntik. Laporan Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa salah satu cara mengendalikan penyebaran HIV adalah mengendalikan pengobatan pada populasi kunci terdampak HIV. Mereka adalah elemen penting bagi program penanggulangan AIDS nasional, yang dibuat untuk menetapkan prioritas dan respons efektif terhadap epidemi HIV.
Logikanya, jika mengatasi populasi kunci saja gagal, bagaimana menangani masalah HIV secara keseluruhan?
Tak sekadar memaksa kelompok LGBT tertekan, aksi-aksi persekusi juga bikin takut para penyuluh HIV. Kerja penyuluh seperti membagi kondom di lokasi tongkrongan kelompok LGBT dihambat aparat kepolisian dan dituduh mendukung kehadiran LGBT, bahkan tuduhan salah kaprah lain seperti “mendukung seks bebas”. Padahal, sekali lagi, kondom adalah salah satu alat edukasi mengenai penanggulangan HIV.
“Ujung tombak penanggulangan HIV di kelompok LGBT ada dua: populasi kunci dan penyuluh. Di Indonesia, keduanya mendapati tekanan yang hebat. Persekusi, diskriminasi, dan serangan kekerasan lain telah membuat kerja-kerja pencegahan HIV jadi terhambat. Penyuluh takut melakukan operasionalnya, kelompok LGBT bersembunyi, hot spots bubar. Ini mendorong semakin sulit ditemukannya LSL. Sekali ditemukan, mereka sudah dalam kondisi yang parah,” tegas Sandeep Nanwani.
Selepas hot spots ditutup, kesempatan kelompok LGBT memperoleh layanan penyuluhan HIV terdapat di pusat kesehatan masyarakat maupun rumah sakit. Namun, di dua lokasi itu, kelompok LGBT kerap mengalami stigma dan diskriminasi atas orientasi seksualnya.
Alih-alih bisa menggantikan peran hot spots sebagai penyedia layanan kesehatan, puskesmas maupun rumah sakit menambah tekanan terhadap mereka lewat serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dan menghakimi hingga perlakuan tak adil. Ujung-ujungnya, kondisi itu membuat kelompok LGBT ciut nyali dan memilih berdiam diri tanpa mendapatkan akses kesehatan yang maksimal.
Pemerintah, diwakili Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, dokter Wiendra Waworuntu, saat dihubungi Tirtomenolak disalahkan atas sengkarut masalah yang merugikan kelompok LGBT. Ia malah mengkritik kelompok LGBT karena “menciptakan ketakutannya sendiri.”
“Ketakutan itu tidak beralasan. Jika mereka takut, mereka tidak akan mendapatkan akses kesehatan dan itu akan merugikan diri mereka sendiri. Ditambah, stigma dan diskriminasi tidak akan hilang karena mereka yang membuat stigma itu. Dari segi pemerintah, sudah cukup upaya yang dilakukan untuk menyediakan akses penanggulangan HIV,” ujar Wiendra pada awal Juli lalu.
Pandangan Wiendra dibantah oleh Lini Zurlia dari ASEAN SOGIE Caucus, lembaga nirlaba yang berpusat di Manila dan berfokus pada isu-isu LGBTIQ. “Jika secara psikologis tidak mendukung, maka bisa menciptakan ketakutan. Misalkan, di tengah acara penyuluhan terjadi penggerebekan. Atau pada kasus sauna ketika kondom dijadikan alat bukti penangkapan. Dari situ kondom jadi tidak bisa di-provide. Kondom, sebagai alat pencegahan HIV, tidak ada lagi. Ketakutan-ketakutan itu ada alasannya.”
“Jika sekelas pejabat Kemenkes bilang kayak gitu, ini membuktikan bahwa mereka hanya melakukan kebijakan pemerintah tanpa paham bagaimana assessment di level grassroot,” tambah Lina.
Menghambat Penanggulangan HIV
Melalui Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006, pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, yang tugasnya meningkatkan upaya pencegahan HIV/AIDS secara intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi. Namun, masa kerja KPAN berlangsung selama satu dekade. Pada 2016, lembaga ini dibubarkan Presiden Joko Widodo lewat Perpres No. 124/2016. Sebagai gantinya, tugas KPAN diambil oleh dua kementerian.
Perpres baru itu mengatur bahwa tugas penetapan kebijakan, rencana strategis nasional, dan langkah-langkah strategis lain, meliputi penyebarluasan informasi, kerja sama regional nasional, serta pengendalian, pemantauan, dan evaluasi—yang sebelumnya dilaksanakan oleh KPAN—menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Sementara untuk perkara koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian antar-lembaga, menjadi tugas kementerian penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan (Kemenko-PMK).
Wiendra Waworuntu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, berkata pihaknya telah menempuh beberapa langkah guna menanggulangi penyebaran HIV. Misalnya, memberikan informasi tentang hak-hak di bidang kesehatan untuk mengetahui kondisi kesehatan pribadi, mengakses layanan yang diperlukan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan pribadi maupun masyarakat; menyediakan akses dan tes secara gratis; memfasilitasi agar setiap LGBT memperoleh fasilitas terjangkau dan memahami haknya untuk tetap sehat, produktif, dan mandiri; hingga mendorong pemahaman bagi petugas kesehatan untuk berlaku tidak diskriminatif terhadap pasien.
Namun, apakah langkah-langkah itu efektif berjalan?
Merujuk laporan Kementerian Kesehatan (PDF), jawabannya belum tentu. Jumlah kasus HIV dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) cenderung meningkat; dari 30.935 (2015), 41.250 (2016), sampai menyentuh 48.300 (2017).