Dalam Islam, dosa dan pidana adalah dua hal berbeda. Perkara ini disampaikan Abdul Muiz Ghazali, pengajar di Institut Agama Islam Negeri Cirebon. Ia mencontohkan seorang Muslim yang meninggalkan salat. Penganut agama Islam berdosa tapi tidak bisa dipidana karena perilaku itu. Pidana mensyaratkan adanya korban dari sebuah perbuatan.
Muiz adalah narasumber ketiga yang diminta memberikan pendapat dalam media briefing Aliansi Nasional Reformasi KUHP Minggu, 29 Juli 2018.
Sambil berkelakar, Muiz beretorika, “Ini KUHP apa panduan akhlakul karimah?”
Menurutnya, pemerintah harus tahu posisi, mana wilayah moral dan mana wilayah pidana. Untuk urusan moral, biarlah berada di ranah sosial. Itu menjadi urusan orangtua, guru, dan pemuka masyarakat. “Jangan semua diserahkan ke sistem hukum pidana,” sergahnya.
“Kalau ini sampai disahkan,” ujar Muiz geregetan, “Berarti yang mengesahkan adalah orang gila. Apa lagi istilahnya kalau bukan gila.”
Lebih lanjut Muiz menjelaskan saat ini saja, banyak anak yang berasal dari pernikahan resmi menjadi gelandangan. Negara tidak mengurus anak-anak itu. Mereka ada di terminal, pasar, stasiun, dan tempat-tempat lainnya. Menurutnya, nanti kalau anak hasil perkosaan lahir karena aborsi diancam hukuman penjara, siapa yang mau mengurus anak-anak itu?
Selain Muiz, acara yang diselenggarakan di sebuah kedai kopi di bilangan Cikini, Jakarta ini menghadirkan Mitra Kadarsih (praktisi kesehatan), Maidina Rahmawati (Peneliti ICJR), dan Immanuel Sembiring (PKNI) sebagai narasumber.
Maidina Rahmawati memaparkan hasil studi ICJR mengenai RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Maidina menyatakan, rencana pengesahan RKUHP pada 17 Agustus 2018 diundur setelah Presiden Jokowi bertemu dengan pimpinan KPK.
Dalam rapat tertutup itu, isu korupsi diusulkan untuk dikeluarkan dari RKUHP.
Sayangnya, yang dimasukkan ke RKUHP bukan hanya korupsi. Yang paling kontroversial adalah pemidanaan alat kontrasepsi, zina, juga aborsi. Sedangkan pasal megenai narkoba dalam RKUHP lebih merupakan salin-tempel pasal-pasal di UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Itu semua adalah pasal ‘karet’ yang seharusnya direvisi terlebih dulu karena menimbulan kerancuan antara konsumen dan pengedar dalam penerapannya.
Maidina juga menjelaskan, pasal yang memidanakan promosi alat kontrasepsi di RKUHP diadopsi dari Pasal 534 KUHP. Namun ketentuan pasal itu telah didekriminalisasi melalui Surat Jaksa Agung pada 1978 untuk kepentingan Program Keluarga Berencana. Terlebih, kajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (1995) menyatakan, kondom merupakan alat yang paling aman dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis untuk mencegah HIV.
Pembicara kedua, Mitra Kadarsih memaparkan kontradiksi antara Nawa Cita, visi dan misi kepemimpinan Jokowi-JK 2014-2019, dengan pemidanaan tindakan perlindungan kesehatan khususnya bagi perempuan.
Pembicara terakhir, Immanuel Sembiring, menuturkan kalau pasal-pasal tentang narkoba di RKUHP sebaiknya dihapuskan saja. Hal senada disampaikan oleh seluruh narasumber saat diminta memberikan rekomendasi. Bahkan Abdul Muiz Ghazali menambahkan, para penyusun RKUHP harus ikut kursus Gender dan Seksualitas dalam Perspektif Islam terlebih dulu sebelum merumuskan sebuah kebijakan.
Acara ini diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari Rumah Cemara, PKBI, Kitasama, PKNI, ICJR, dan AFP sehubungan dengan pembahasan RKUHP yang sedang berlangsung di DPR RI serta perhatian Presiden Jokowi terhadap isu korupsi. Aliansi ini meyakini penerapan RKUHP tersebut akan merusak keberlangsungan program-program pemerintah yang sedang berjalan, di antaranya keluarga berencana, penanggulangan AIDS, penurunan angka kematian ibu dan anak, dan rehabilitasi ketergantungan narkoba.
Pasal-pasal yang dianggap bermasalah yaitu,
Pasal 443 RKUHP tentang kriminalisasi pendidikan dan promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi;
Pasal 502 RKUHP tentang kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan termasuk dengan indikasi medis dan korban perkosaan;
Pasal 700-715 RKUHP tentang potensi kriminalisasi konsumen narkoba.
Selanjutnya, aliansi ini akan mencoba berdialog dengan Presiden Jokowi didahului pengiriman surat untuk memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu yang belum terjamah dalam RKUHP, yakni soal kesehatan dan perlindungan kelompok rentan.