Bangunan berukuran sekitar 20 kali 15 meter itu bernama Ballata. Dalam bahasa Makassar, Balla berarti rumah. Ballata bisa diartikan rumah kita atau rumah bagi semua orang.
Rumah Cemara memiliki mitra kerja dalam menjalankan program di sejumlah daerah di Indonesia. Program yang dijalankan pada dasarnya merupakan bagian dari cita-cita Rumah Cemara, Indonesia tanpa stigma. Ini adalah visi ideal agar pengguna narkoba, orang dengan HIV-AIDS, dan kelompok lain yang sering terpinggirkan mendapat kesetaraan hak dalam hidupnya, sama dengan masyarakat lain.
Tulisan ini berniat merekam beberapa bagian terbaik dari program mitra kerja Rumah Cemara. Ada tiga lembaga mitra yang terpilih sebagai bagian dari tulisan ini, yakni Lembaga Persaudaraan Korban NAPZA Makassar (LPKNM) di Makassar, Pontianak Plus di Pontianak, dan Yayasan Gaya Nusantara di Surabaya. Setiap lembaga mitra akan diceritakan secara terpisah melalui hasil liputan pada November dan Desember 2019.
Selamat mengikuti!
Lokasinya berada di pinggir jalan raya Inspeksi Kanal Borong, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ballata berdampingan dengan bangunan lainnya yang berjejer. Sekilas tidak ada yang istimewa dari tempat itu. Tumpukan eceng gondok tampak subur memenuhi badan sungai yang ada di seberang jalan.
Sore itu, sekelompok anak muda terlihat asik ngobrol di halaman samping Ballata. Pada tembok pembatas bangunan terlihat grafiti bertema narkoba. Mereka menyebutnya zona Drugs Education. Semacam tempat santai untuk berbicara tentang banyak hal, khususnya narkoba.
Masuk ke dalam bangunan, di ruangan tengah, berbagai poster terlihat menghiasi dinding. Semuanya punya pesan. Sebagian soal HIV-AIDS, sebagian lagi menyangkut narkoba. Sebuah meja rapat menjadi benda sentral di ruangan itu. Pemandangan yang lazim ditemui di kantor sekretariat sebuah organisasi.
“Di sinilah kami berkumpul sehari-hari. Diskusi maupun sekedar sharing pengalaman,” ujar Farid Satria (42), Direktur Lembaga Persaudaraan Korban NAPZA Makassar (LPKNM).
LPKNM dibentuk sembilan tahun lalu dengan tujuan menjadi wadah bagi para pengguna narkoba untuk berkumpul dan memperjuangkan hak asasinya. Ini jadi kebutuhan karena di Makassar saat itu tidak ada organisasi yang bisa menaungi para pengguna NAPZA secara khusus. Kelompok pengguna NAPZA tersebar di sejumlah komunitas, seperti di kelompok dukungan sebaya, maupun di lembaga swadaya masyarakat.
Keberadaan LPKNM tidak terlepas dari upaya pengguna narkoba di Makassar untuk bersatu mengikis stigma alias cap buruk yang melekat di mata pihak lain, termasuk pemerintah. Farid adalah salah satu tokoh kunci dalam upaya itu.
Ia menuturkan, banyak orang beranggapan pengguna narkoba hanya sampah masyarakat. Bahkan, tidak jarang terdengar ungkapan agar para pengguna narkoba dibiarkan saja, hingga ajal menjemput.
Pria penyandang gelar sarjana hukum ini merasa perlu mendatangi berbagai pihak untuk membawa suara komunitasnya. Ia ingin pengguna narkoba diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya, punya hak dasar sebagai manusia. Satu demi satu kantor pemerintahan yang strategis bagi gerakannya ia kunjungi, di antaranya Biro NAPZA Pemprov Sulawesi Selatan, Dinas Kesehatan, maupun Komisi Penanggulangan AIDS di tingkat provinsi maupun kota.
Pada setiap pertemuan, ia selalu minta waktu memperkenalkan LPKNM. Ia ajak para peserta untuk melihat pengguna narkoba dari sudut pandang yang berbeda. Banyak pertanyaan yang harus dijawabnya dalam setiap pertemuan, terutama menyangkut perilaku pengguna NAPZA yang identik dengan kriminalitas.
Dengan gigih, ia mengatakan bahwa tindakan kriminal tidak selalu berkaitan dengan pengguna narkoba. Faktanya, banyak dari pelaku kriminal yang tidak menggunakan narkoba. Begitu kira-kira.
“Di luar itu, saya harus meyakinkan mereka dengan beberapa hal, di antaranya pengguna NAPZA perlu akses kesehatan layaknya manusia lainnya. Saya paparkan juga bagaimana pelanggaran HAM sering terjadi,” ujarnya. Ia menambahkan, pemberdayaan pengguna narkoba juga menjadi isu penting yang sering dikemukakannya.
Keringat dan kerja keras Farid dan kawan-kawannya lambat laun berbuah hasil. LPKNM makin dikenal, tidak hanya di lingkungan pemerintahan, tetapi juga di perguruan tinggi maupun kelompok masyarakat lain.
Keikusertaannya dalam ajang Homeless World Cup (HWC) 2012 di Meksiko adalah titik puncak bagi Farid dalam membuktikan apa yang diperjuangkannya. Ia terpilih menjadi salah satu pemain timnas Indonesia dalam kejuaraan dunia sepak bola jalanan itu. Ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan Rumah Cemara selaku mitra nasional HWC di Indonesia.
Seperti diketahui, HWC bukanlah kompetisi sepak bola biasa yang semata-mata mengejar prestasi olahraga. HWC adalah ajang bagi kelompok marginal di masyarakat untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Melalui keikutsertaannya dalam HWC, setiap anggota timnas diharapkan memberi pengaruh dan menjadi agen perubahan dalam mengikis stigma dan diskriminasi yang kerap dialami pengidap HIV maupun pengguna narkoba.
Farid mengaku publikasi media tentang dirinya sebagai anggota timnas Indonesia untuk HWC 2012 telah membuka mata banyak kalangan di Makassar. Para pejabat di lingkungan pemerintahan misalnya, mulai melihat dirinya yang pengguna narkoba, sekaligus ODHA, bisa melakukan sesuatu yang tidak mereka sangka. Stigma itu mulai terbongkar.
“Banyak dari mereka yang lumayan heran karena saya bisa menyelesaikan kuliah. Mereka juga melihat saya dan teman-teman di LPKNM bisa melakukan advokasi terkait hak-hak komunitas kami,” ujarnya mengenang. Ia menuturkan, dukungan dari Biro NAPZA Pemprov Sulsel kala itu sangat besar. Bahkan Ballata akhirnya dipinjamkan fasilitas bangunan untuk digunakan sebagai kantor sekretariat.
Jerih Payah Berbuah Pengakuan
Seiring waktu, program di LPKNM terus berkembang. Sesuai dengan sejarah pembentukannya, program pengurangan dampak buruk narkoba suntik (harm reduction) menjadi kegiatan utama lembaga ini. Mereka menjangkau komunitas pengguna narkoba suntik (penasun) ke berbagai sudut kota Makassar. Para penasun didampingi untuk mendapatkan akses layanan kesehatan sehingga dapat menekan risiko penularan HIV di kalangan mereka.
Dalam menjalankan program, LPKNM bekerja sama dengan sejumlah layanan kesehatan milik pemerintah. Puskesmas Jongaya di Kota Makassar merupakan salah satunya. Puskesmas ini adalah satu dari lima puskesmas yang menjalankan program layanan komprehensif berkesinambungan di Makassar. Dengan demikian, puskesmas ini menyediakan layanan HIV-AIDS mulai dari tes HIV hingga pelayanan obat antiretroviral (ARV) bagi ODHA.
Puskesmas Jongaya juga menjalankan program harm reduction melalui penyediaan layanan alat suntik steril (LASS) dan program terapi rumatan metadon (PTRM). Program ini merupakan bagian dari respon pemerintah secara nasional, mengingat infeksi HIV di kalangan penasun pada tahun 2000-an tergolong tinggi, termasuk di Makassar. Saat itu, penggunaan alat suntik bergantian jadi pemicu tingginya kasus HIV di Indonesia.
Melalui program LASS, penasun dapat memperoleh alat suntik steril untuk konsumsi heroin atau putau. Pada program metadon, penasun diterapi agar mengganti putau yang semula disuntikkan dengan metadon yang diminum. Metadon adalah opioid sintetis berupa sirup. Dengan demikian, risiko penularan HIV dapat ditekan. Kedua program ini dilakukan sepenuhnya melalui pengawasan medis, tidak liar.
Sebagai layanan publik, Puskesmas Jongaya berupaya menyediakan layanan HIV sebaik mungkin. Harapannya, tentu saja dapat berperan menekan kasus penularan HIV di Makassar. Keterbatasan mereka dalam menjangkau komunitas, terutama penasun untuk mau mengakses layanan sedikit banyak teratasi dengan adanya LPKNM.
Seperti diakui Jusrang, S.Kep, petugas Puskesmas Jongaya, peran LPKNM sangat baik dalam membantu layanan mencapai target kerjanya. “Farid dan teman-temannya yang tahu keberadaan komunitas pengguna narkoba. Mereka juga tahu bagaimana cara mengajak komunitas itu untuk mau datang ke sini,” ujarnya.
Meski tidak spesifik, Jusrang mencontohkan, dari 11 pasien metadon aktif di tempatnya, bisa dipastikan sebagian adalah kontribusi dari LPKNM. Demikian juga dengan mereka yang mengakses layanan HIV.
“Luar biasa yang dilakukan LPKNM ini. Bahkan saya tahu, mereka tidak jarang keluar duit sendiri agar bisa membawa komunitas datang ke puskesmas ini. Rasanya pengorbanan macam itu mustahil dilakukan pihak lain,” kata Jusrang mengungkapkan apresiasinya.
Apa yang diamati Jusrang, dibenarkan oleh Azis Lasabbi, Pengelola Program di KPA Kota Makassar. Baginya, membahas program HIV-AIDS terkait narkoba di Makassar, berarti bicara tentang LPKNM.
“Yang paling signifikan adalah turunnya kasus baru HIV di kalangan penasun di Makassar. Saya berani bilang, Ballata alias LPKNM tentu berperan karena mereka menjalankan program harm reduction di sini,” ujarnya.
Penerapan program harm reduction di Indonesia yang secara nasional dilakukan sejak 2006 memang terbukti efektif. Menteri Kesehatan, Nila F. Moeleok, pada High Level Meeting of the General Assembly on HIV-AIDS di Markas Besar PBB, New York pada 9 Juni 2016 pernah menyatakan harm reduction mampu menurunkan prevalensi HIV pada kelompok penasun di Indonesia, dari 42% pada 2011 menjadi 29% pada 2015.
Azis menambahkan, LPKNM telah berkontribusi besar dalam pengendalian HIV di Makassar, terutama dalam tiga atau empat tahun terakhir. Baginya, intervensi program yang dilakukan LPKNM secara umum telah mengubah perilaku penasun sehingga lebih terjaga kesehatannya.
“Partisipasi tes HIV di kalangan penasun juga cukup bagus. Selain itu, kualitas pendampingan mereka lebih baik karena jumlah penasunnya sekarang memang sudah berkurang. Jadi bisa lebih intensif,” ungkapnya.
Peran petugas lapangan LPKNM dalam mengajak komunitas penasun mengakses layanan kesehatan seperti tes HIV, sedikit banyak terlihat dari hasil penelitian Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2019, di mana Makassar menjadi salah satu lokasi penelitian. Dalam penelitan Kementerian Kesehatan itu, dari 104 penasun yang menjadi responden dan mengikuti tes HIV, sebanyak 63,5 persen karena merasa sakit dan 22,1 persen karena disarankan oleh petugas lapangan. Kedua hal ini jauh lebih banyak dibandingkan faktor alasan lain seperti disarankan petugas (medis) atau keluarga.
Beradaptasi dengan Kecanggihan Teknologi tanpa Melupakan yang Lama
Dalam dua tahun terakhir, LPKNM bekerja sama dengan beberapa lembaga, baik asing maupun lokal. Tercatat dua lembaga internasional menjadi pendukung utama program mereka yakni Mainline Foundation dari Belanda dan Elton John AIDS Foundation dari Inggris. Selain itu, Rumah Cemara menjadi mitra lokal mereka dalam menjalankan program.
Adanya dukungan lembaga donor membuat LPKNM cukup leluasa menjalankan programnya, termasuk dalam hal manajerial. Saat ini, 19 staf bekerja di lembaga yang bekerja untuk program harm reduction ini. Mereka memiliki tugas dan posisi masing-masing, mulai dari mengurus administrasi dan keuangan lembaga sampai mengelola program. Secara teknis staf program bertanggung jawab mengelola layanan seperti konseling dan panti rehabilitasi hingga yang sifatnya turun ke lapangan seperti penjangkauan komunitas dan sosialisasi tentang HIV-AIDS atau NAPZA di masyarakat.
Farid Satria mengungkapkan, hingga akhir 2017 saja LPKNM sudah berhasil menjangkau dan memberdayakan 211 klien pengguna NAPZA. “Pemberdayaan yang kami lakukan terukur, misalnya dengan melihat peningkatan kapasitas klien, dengan melihat hasil rehabilitasi, aftercare, dan semacamnya,” ujarnya.
Lebih jauh ia menuturkan, fasilitas rehabilitasi pengguna NAPZA di LPKNM pernah mendapat dukungan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) melalui program pemulihan adiksi berbasis masyarakat pada 2009 lalu. Selama dua tahun program berjalan, sebanyak 168 orang tercatat menjadi klien di sana.
Dukungan lain juga diperoleh melalui kerja sama dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan dalam dua tahun terakhir. Sebanyak 14 klien rawat inap dan 30 klien rawat jalan mengikuti program rehabilitasi di LPKNM.
Intervensi program pada komunitas pengguna NAPZA yang spesifik tentunya akan semakin berdampak positif manakala lingkungan yang lebih luas, yakni masyarakat umum, memberi dukungan. Bagaimana pun, dukungan dan kepedulian bisa lahir dari pemahaman yang baik tentang HIV-AIDS maupun NAPZA.
Sadar akan pentingnya menjangkau masyarakat yang lebih luas, LPKNM juga melakukan berbagai kegiatan penyuluhan. Dari catatan yang ada, sedikitnya 990-an orang pernah mendapat informasi tentang HIV-AIDS maupun NAPZA.
“Saya dan teman-teman sering diundang bicara di majelis ta’lim, ibu-ibu PKK, atau dalam kegiatan-kegiatan masyarakat di tingkat kecamatan,” ungkap Farid. Ia menambahkan, dalam berbagai acara seperti itu, LPKNM berupaya memberikan penjelasan tentang HIV-AIDS atau NAPZA yang objektif. Tujuannya, agar pemahaman masyarakat meningkat dan pada gilirannya stigma pada ODHA atau pengguna NAPZA dapat ditekan.
Aktivitas LPKNM yang tinggi dengan dukungan sejumlah lembaga mendapat apresiasi dari banyak pihak. KPA Kota Makassar menilai, dukungan itu menunjukkan para pegiat di LPKNM yang kebanyakan pengguna narkoba mampu mendapatkan kepercayaan dari lembaga lain.
“Saya salut mereka bisa mengubah image penasun. Malahan bisa dapat anggaran dari donor internasional. Padahal, saat ini lembaga lain kesulitan dapat anggaran dari luar,” kata Azis Lasabbi.
Bagaimana keterlibatan LPKNM dalam memperjuangkan kebijakan pemerintah yang lebih baik bagi komunitasnya? Pengelola Progam di KPA Kota Makassar itu kembali mengapresiasi keseriusan Farid dan teman-temannya.
“Sepengetahuan kami di KPA, LPKNM saat ini sedang mengupayakan lahirnya peraturan walikota untuk program harm reduction,” ujarnya. Menurutnya, selain program harm reduction, keberlanjutan program HIV-AIDS yang lebih umum juga sedang diperjuangkan bersama komunitas lain agar dapat dukungan dan anggaran dari Pemkot Makassar.
Komunitas pengguna NAPZA di Makassar, bagaimanapun, telah merasakan manfaat dari berbagai program LPKNM. Sejumlah catatan penting mengemuka dalam sebuah focus group discussion di markas mereka awal November 2019 lalu.
Sebanyak delapan peserta mengapresiasi program yang dilakukan LPKNM. Mereka umumnya terdiri dari pengguna NAPZA dan ODHA di Makassar. Bagi mereka, para petugas pendamping dari Ballata atau PKNM telah banyak membantu, terutama dalam mengakses layanan kesehatan.
Ini dialami Ade dan Eman misalnya. Keduanya kini menjadi pasien metadon di salah satu puskesmas. Melalui ketekunan para petugas pendamping Ballata keduanya makin sadar pentingnya terapi agar tetap sehat dan produktif. Kesadaran juga muncul saat informasi tentang risiko penularan penyakit bisa meningkat jika menggunakan alat suntik narkoba bergantian.
Hal senada diungkapkan peserta lainnya, Chymank. Sebagai penasun, ia mengaku sangat terbantu karena sekarang lebih mudah memperoleh alat suntik steril. Tidak perlu lagi bergantian dengan temannya sesama penasun.
Para petugas penjangkau di Ballatta tampaknya berhasil membangun satu hal penting kepada komunitas dampingannya, yakni trust. Latar belakang mereka yang umumnya mantan pengguna narkoba memudahkan mereka diterima oleh komunitas yang menjadi dampingannya. Dengan modal ini pula berbagai informasi, terutama menyangkut kesehatan pengguna narkoba, bisa efekif tersampaikan.
Seiring kemajuan teknologi, cara berkomunikasi dengan kelompok dampingan pun berkembang. Kecanggihan telepon pintar dimanfaatkan untuk menunjang pekerjaan. Pada Mei 2018 LPKNM menjadi salah satu lembaga yang terpilih untuk bermitra dengan Rumah Cemara dalam menjalankan program “Community-Mobile-Led Harm Reduction Management System” dukungan EJAF. Program ini pada dasarnya merupakan kegiatan manajemen kasus melalui pemanfaatan aplikasi bergerak, KLIK yang dapat diunduh di Google Playstore dan Appstore. Dengan aplikasi ini, konsumen narkoba suntik serta pasangannya dapat terhubung dengan penyedia layanan seperti puskesmas.
Meski belum sepenuhnya sempurna, KLIK telah memberikan manfaat bagi penggunanya. Seperti diakui Mohammad Hasbi (33), seorang penasun dampingan LPKNM, yang merasa sangat terbantu dalam memenuhi kebutuhannya.
Ia tinggal di Kabupaten Gowa dan harus menempuh perjalanan paling cepat setengah jam ke kota Makassar untuk mengakses alat suntik steril dari puskesmas. Di tempat ia tinggal belum tersedia layanan yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Selain alat suntik, Hasbi juga dapat teratur menerima obat ARV untuk menekan perkembangan virus HIV dalam tubuhnya. Dengan memanfaatkan aplikasi KLIK, ia dapat memenuhi kebutuhannya karena petugas lapangan LPKNM sigap menindaklanjutinya. Bahkan, saat ia tidak lagi memiliki ponsel karena telah dijual, ia mencari cara agar tetap dapat mengakses aplikasi KLIK.
“Saya pinjam hape adik saya. Yang penting biar tetap bisa akses aplikasinya,” ujarnya tertawa. Ia menambahkan, dirinya telah terbuka pada keluarga mengenai kondisi tubuhnya. Ia merasa beruntung karena keluarganya memang mendukung agar dia tetap sehat.
Lain Hasbi, lain lagi Irwan. Pria usia 42 tahun ini menilai berbagai kegiatan yang dilakukan Farid dan rekan-rekannya telah membuat orang di kampungnya mulai terbuka pikirannya dalam menyikapi persoalan narkoba. Mereka tidak lagi seenaknya menghakimi pengguna narkoba.
Baginya, ini semua bermula dari sebuah papan informasi. Ya, semacam mading alias majalah dinding yang ditempelkan di sebuah bangunan. Mading sederhana berukuran sekitar 100 x 80 cm itu sengaja dibuat oleh LPKNM. Isinya beragam, mulai dari informasi dasar tentang bahaya penggunaan narkoba secara ilegal bagi kesehatan hingga soal HIV dan AIDS.
Semua materi yang kebanyakan berbentuk brosur dan leaflet itu ditempelkan hingga menyerupai kumpulan poster. Materi diperoleh dari berbagai sumber. Sebagian membuat sendiri dan sebagian berasal dari mitra kerja. Rumah Cemara salah satunya.
Lokasi mading itu berada di kawasan Bonto Duri, kecamatan Tamalate, sebuah permukiman padat penduduk di Makassar. Siapa sangka, metode penyampaian info dengan papan informasi yang bagi banyak kalangan sekarang dianggap kuno itu ternyata masih efektif.
“Mading itu bikin orang-orang di sekitar kampung saya enggak terlalu negatif lagi melihat para pengguna narkoba. Mereka tahu sekarang, anak-anak itu korban. Yang untung itu bandar,” ujar lelaki dengan empat anak itu.
Menurut Irwan, warga di sekitar tempat tinggalnya juga sekarang lebih tahu tentang kesehatan. “Dulunya cuek saja kalau lihat pengguna narkoba yang sakit. Sekarang lebih perhatian dan sering ngasih saran agar dibawa ke puskesmas,” katanya.
Lebih jauh Irwan bercerita dirinya dulu adalah pengguna sekaligus pengedar narkoba. Dia tidak peduli dengan soal kandungan zat yang dijualnya. Yang penting barangnya laku. Hingga kemudian dia mulai kenal dengan petugas penjangkau dari Ballata yang sering mondar-mandir di sekitar kampungnya. Mereka memang sering bikin penyuluhan di sana.
“Awalnya sih masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Tapi lama-lama, saya jadi sering baca mading itu. Saya mulai serap isinya. Ada banyak benarnya itu isi mading,” ucapnya mengenang peristiwa satu dua tahun lalu itu.
Dengan berterus terang, ia menyatakan sudah tidak pernah lagi jualan narkoba. Ia kuatir barang yang ia jual kandungan zatnya tidak jelas dan membahayakan kesehatan.
“Malahan saya sekarang nggak mau pake hape. Soalnya sering tergoda kalau ada pesanan yang seringnya lewat hape,” ujarnya tertawa. Meski begitu, ia mengakui sekali dua kali masih pakai narkoba sekedar melepas penat dan rekreasi.
Baginya, Ballata telah mengubah satu hal dalam hidupnya yakni narkoba bukan satu-satunya cara mendapat kesenangan. Ia kini mendapat kesenangan baru saat mengajak anak-anak muda di sekitarnya, yang juga mantan konsumennya, untuk mau bergabung menjadi dampingan Ballata. *******