close
sketch1617370613629
Ilustrasi: @abulatbunga

Masyarakat sudah banyak yang paham kalau kebijakan pelarangan dan pemberantasan narkoba justru memperkaya sindikat kejahatan yang berbisnis komoditas ini, meningkatkan peluang jual-beli pasal serta suap kepada aparat, bahkan sejumlah penegak hukum sudah secara vulgar memeras tersangka pelanggar UU narkotika.

Siapa sih yang berani berbisnis komoditas terlarang, yang ancaman hukumannya penjara 4-12 tahun dan denda Rp800 juta-Rp8 miliar bahkan hukuman mati, kalau bukan komplotan penjahat yang punya beking pejabat?

Sudah tak terhitung jumlah media massa yang pernah memberitakan keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba, dari mulai proses penyidikan, persidangan, sampai pemasyarakatan. Masa sih di dalam sel penjara, bisnis narkoba masih bisa dilakukan terpidana?

Hukuman mati pun sudah diatur sejak diberlakukannya UU RI No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Di UU Narkotika yang sekarang (No. 35 Tahun 2009), hukuman mati diterapkan dalam hal produksi, impor, ekspor, menyalurkan, bahkan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, dan jadi perantara dalam jual-beli, barter (menukar), menyerahkan, atau menerima narkotika golongan satu (antara lain sabu-sabu, ganja, sinte, opium, koka) berbentuk tanaman dengan berat lebih dari satu kilogram atau lebih dari lima batang pohon. Kalau bentuknya bukan tanaman, beratnya melebihi lima gram (Pasal 113 Ayat 2 dan Pasal 114 Ayat 2).

Karena sinte merupakan narkotika golongan satu yang ancaman hukumannya lebay tadi , maka yang berani berbisnis narkoba ini ya komplotan penjahat tadi. Mana ada orang yang menawarkan sabu-sabu, misalnya seberat enam gram, untuk dijual punya uang Rp800 juta (denda minimal sebagai tambahan, bukan pengganti, hukuman penjara)?

Baca juga:  Opium dan Umat Manusia

Kalau dia punya uang sebanyak Rp800 juta, untuk apa dia menawarkan narkoba itu untuk dijual? Di Indonesia, nilai enam gram sabu-sabu setara Rp17,76 juta.

Lantas sekarang ini, bisnis bibit sinte marak. Ada sejumlah analisis untuk menjelaskan fenomena ini. Salah satunya, komplotan perdagangan sinte makin dekat dengan elite negeri ini, sehingga mereka makin mudah mendatangkan atau memproduksi bahan baku utama narkoba ini.

Tapi itu kan pendapat pakar. Bagaimana dengan pendapat seorang konsumen sinte cum mahasiswa semester akhir atas fenomena ini?

Ketimbang para pakar yang belum tentu pernah beli sinte dan merasakan efeknya yang tidak ada standarnya, pendapat Kevin Mathovani (narasumber kita untuk topik sinte) mungkin bisa lebih mendekati kenyataan dalam menjelaskan fenomena kian maraknya penjualan bibit sinte di Indonesia saat ini.

Apa pendapat dia soal motif pebisnis sinte menjual bibitnya ketimbang mengecer tembakau psikoaktif yang dijual dengan macam-macam jenama alias merek dagang ini? Yuk, simak perbincangannya bersama Patri Handoyo dari Rumah Cemara!

Audiografer: Budi Itong
Videografer: Prima Prakasa
Prima

The author Prima

Orang rumahan, tidak suka keramaian, dan pendiam. Bergabung di Rumah Cemara pada 2016 sebagai tenaga paruh waktu untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan teknologi informasi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.