close
FeaturedKomunitas

Buka Hasil Pemeriksaan Kematian Hendri Alfred Bakari ke Publik!

unnamed
Ilustrasi: Kavev Adel

Sejumlah komunitas pengguna NAPZA kembali menuntut agar hasil pemeriksaan atas kematian Hendri Alfred Bakari dibuka ke publik. Mereka mendesak agar Propam Polda Kepulauan Riau dan Komisi Kepolisan Nasional (Kompolnas) merilis hasil penyelidikannya ke publik agar dapat dikaji lebih jauh.

Mereka juga menuntut agar Komnas HAM dan Ombudsman RI turun tangan ke dalam penyelesaian kasus ini dengan melakukan investigasi yang lebih mandiri. Selain itu, pemerintah dan DPR RI diminta melakukan percepatan revisi UU Narkotika dan KUHAP yang dinilai menjadi gerbang berulangnya masalah-masalah seperti itu.

Ketiga tuntutan itu disampaikan menyusul pernyataan Kompolnas terkait kasus ini yang menyatakan tidak menemukan kaitan antara kematian Hendri dengan adanya indikasi kekerasan. Pernyataan itu disampaikan perwakilan Kompolnas, Irjen Pol (Purn) Benny Jozua Mamoto bersama Albertus Wahyuridhamto dan Poengky Indarti, dalam sebuah konferensi pers di Batam (14/9). Benny menyampaikan bahwa kematian Hendri diakibatkan konsumsi narkotika dalam jangka panjang. Ia juga malah lebih banyak menjelaskan keterlibatan Hendri dengan jaringan peredaran gelap narkotika.

Sementara itu, pada hari yang sama, Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Harry Goldenhart, menyampaikan pada media bahwa pihaknya telah menetapkan satu terperiksa, yakni Brigadir JR, dalam kasus dugaan penyiksaan terhadap almarhum Hendri Alfred Bakari.

Seperti ramai diberitakan sebelumnya, Hendri Alfred Bakari (38), warga Belakangpadang, Batam, Kepulauan Riau, awalnya ditangkap aparat kepolisian terkait kasus narkoba pada Kamis (6/8/2020) pukul 15.00 WIB. Berselang dua hari, keluarganya mendapati kabar Hendri meninggal dunia saat masih dalam tahanan polisi.  

Baca juga:  Malam Renungan AIDS Nusantara dan Pentingnya Dukungan Sebaya

Pihak keluarga juga menilai penangkapan Hendri dinilai janggal karena saat polisi melakukan penggeledahan tanpa ada surat perintah dan tanpa didampingi RT/RW dan warga setempat. Dari keterangan keluarga, Hendri meninggal pada Sabtu (8/8/2020) pukul 07.13 WIB. Namun, keluarga baru diberitahu informasi tersebut pada pukul 14.00 WIB. Keluarga melihat jasad Hendri dengan kepala dibungkus plastik wrap. Desakan untuk mengusut kematian Hendri terus mengalir. Beberapa lembaga sosial dan LSM terkait HAM di Indonesia menyoroti kasus ini.

Dalam rilis pers yang diterima Rumah Cemara, kelompok Komunitas Pengguna NAPZA, yang terdiri dari Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), Forum Akar Rumput Indonesia (FARI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Persaudaraan Korban Napza Kepri (PKN Kepri), Persaudaraan Korban Napza Bogor (PKN Bogor), Lembaga Persaudaraan Korban Napza Makassar (L-PKNM),  Yayasan Embun Pelangi – Batam, MMC – Jakarta, Cimahi Community, Womxn Voice, Drug Policy Reform – Banten, Kopenza – Salatiga, Perbansakti – Kalimanatan Timur, Metamorfosis – Malang, Armeth Jogjakarta, Persaudaraan Korban Napza Jambi (PKN Jambi), Persaudaraan Korban Napza Medan (PKN Medan), Persaudaraan Koban Napza Indonesia (PKNI), Lapan Borneo, Yayasan Lingkaran  Indonesia Peduli (YLIP), Yayasan Kapur Sirih (YKS) – Batam, dan Persaudaraan Korban Napza Lampung (PKN Lampung)  menyampaikan beberapa hal terkait perkembangan ini.

Pertama, penyelidikan terhadap kematian Hendri sepertinya tidak independen. Polda Kepri bersandar pada Propamnya dan Kompolnas terlihat tidak melakukan investigasi mandiri melainkan hanya menggaungkan keterangan Polresta Barelang. Diperlukan elemen lain untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.

Baca juga:  AIDS dan Kisah Para Penyanyi Dunia

Kedua, kasus Hendri Bakari ini terlalu kompleks jika berujung pada satu orang terperiksa saja. Setidak, ada petugas yang melakukan dugaan penyiksaan dan ada satu pimpinan yang melakukan pembiaran. Dari kaca mata awam saja, yang didera tubuh Hendri malam itu begitu banyak jika hanya dilakukan satu orang.

Ketiga, penting sekali untuk memastikan bahwa terperiksa tidak hanya diproses melalui jalur etik kepolisian, melainkan juga ke jalur hukum pidana. Patut dicamkan ada nyawa hilang dalam peristiwa ini. Hal ini dimungkinkan dengan Pasal 355 ayat (2) atau pasal penganiayaan lainnya, serta Pasal 421 dan Pasal 422 KUHP.

Keempat, ketika Polda Kepri menyatakan adanya seorang terperiksa, tapi di sisi lain Kompolnas menihilkan korelasi adanya kekerasan atau penyiksaan, sungguh meremehkan nalar publik. Jika tidak ada kekerasan atau penyiksaan, untuk apa terperiksa ini diproses? Bagaimana Kompolnas dan Polda Kepri menjelaskan tubuh Hendri yang lebam serta kepalanya yang dibungkus plastik? Jangan sampai akhirnya kasus ini berhenti sampai di sini.

Kelima, kekecewaan mendalam disampaikan pada Kompolnas karena mempersalahkan konsumsi narkotika dalam jangka panjang dalam kasus ini. Padahal, indikasi adanya kekerasan dan penyiksaan cukup besar. Tindakan ini adalah tindakan yang menumbuhkan stigma pada pemakai narkotika, rawan menjadi alat justifikasi praktik penyiksaan pada kasus narkotika, dan lari dari tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Jika Kompolnas sebagai alat negara yang mengawasi kerja-kerja Kepolisian secara objektif, gagal melaksanakan mandat ini, maka Indonesia akan terjebak makin dalam sebagai police state.

Keenam, Polda Kepri dan Kompolnas terus menerus menggambarkan Hendri adalah bagian dari mafia peredaran gelap narkotika, seakan menjadi pembenaran atas tindakan keras terhadapnya. Padahal, justru Hendri seharusnya diperlakukan dengan standar terbaik agar penegak hukum bisa mendapatkan keterangan lebih banyak demi membuka jaringan yang lebih besar. Dari kasus ini, justru niat untuk membongkar jaringan itu tidak ada. Yang terlihat malah keinginan untuk menutupi kasus ini secepatnya.

Baca juga:  Pemilu dan ODHA: Harapan dari Tanah Papua

#KeadilanUntukHendri

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.