Baru-baru ini teman saya bertanya saat bertemu di sebuah tempat sarapan di bilangan Jalan Saparua, Bandung, “Prestasi Timnas HWC (Homeless World Cup) sekarang menurun ya?” Tidak hanya dilontarkan teman saya tadi, media sosial Rumah Cemara yang saya kelola juga kebanjiran pertanyaan sejenis.
“More than a game”. Itulah slogan yang diusung penyelenggara HWC tahun ini. Dari slogan tersebut saja sudah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar tentang pertandingan. Banyak hal yang bisa saya ambil pelajaran dari ajang ini seperti nilai kebersamaan, persahabatan, toleransi, menambah pengalaman, dan banyak lagi.
Indonesia menempati peringkat ke-20 di ajang yang berlangsung di Cardiff, Inggris, 27 Juli hingga 4 Agustus kemarin.
Tahun ini, Rumah Cemara mengubah sistem seleksi timnas. Fokus kriterianya adalah konsumen narkoba dan orang dengan HIV. Rumah Cemara menghilangkan kriteria kelompok miskin kota yang kerap menjadi celah bagi atlet sepak bola untuk bisa berlaga di ajang internasional pada pemilihan timnas HWC sebelum-sebelumnya. Kelompok marginal yang memang menjadi target utama pemilihan pun kesulitan untuk lolos.
Beberapa pemain timnas tahun ini sudah beberapa kali mengikuti seleksi di tahun-tahun sebelumnya. Baru tahun inilah, setelah perubahan kriteria tadi, mereka mendapat kesempatan mewakili Indonesia di ajang tersebut.
Peserta HWC 2019 ditempatkan di kompleks asrama kampus Cardiff University. Mereka menempati beberapa gedung yang berisikan 5-6 negara per bangunan. Rutinitas seperti joging, berjemur sambil berkumpul, makan, dan latihan tim dilakukan di satu area. Dengan demikian, kami sering berinteraksi dengan peserta dari negara-negara lain.
Walaupun berasal dari berbagai latar budaya, adat-istiadat, agama, dan bahasa, kami merasa memiliki kesamaan. Kami sama-sama suka bermain bola dan berasal dari kelompok terpinggirkan di negara masing-masing. Di tempat itu, kami semua merasa dekat. Kami kerap bercanda dan kadang menari bersama.
Di gelaran HWC, orang Indonesia memang sudah terkenal ramah. Kami tidak pernah malu untuk menyapa terlebih dulu biarpun Bahasa Inggris kami terbata-bata. Itu kami lakukan baik di dalam maupun di luar lapangan.
Tampak dalam beberapa pertandingan bagaimana pemain Timnas Indonesia selalu memeluk akrab lawan tiap selesai berlaga. Sampai-sampai Kapten Timnas HWC 2019, Yudhistira Adireksa alias Cacing mendapatkan penghargaan berupa peluit dari wasit yang memimpin pertandingan. Cacing diganjar peluit karena penampilan fair play-nya di laga perdana Timnas Indonesia.
Selain hal-hal tersebut, perubahan juga terjadi pada pribadi-pribadi anggota tim. Contohnya pada Hendra Firdiansyah. Tunawisma yang juga konsumen beragam jenis narkoba ini sudah tiga tahun minggat dari rumah dan putus komunikasi dengan keluarganya. Atas keikutsertaannya di HWC, Hendra sudah kembali berkomunikasi dan mengunjungi keluarganya.
Isye Susilawati, satu-satunya perempuan dalam tim, mengalami banyak hal positif. Hubungan dengan anak sulungnya menjadi semakin baik. Sang anak pun dengan bangga bercerita pada dosennya mengenai ibunya yang mengidap HIV dan bisa berlaga di pertandingan sepak bola internasional.
Isye merasakan stigma dan diskriminasi tidak terjadi pada anaknya di kampus. Ia berharap kisahnya bisa menginspirasi perempuan-perempuan lain, terutama yang juga mengidap HIV.
Nurdin Supriyadi, yang merajah logo HWC 2019 di kakinya atas keikutsertaannya di ajang itu, kini merasa lebih dihargai oleh teman-temannya. Ia termotivasi untuk bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Hal senada juga diungkapkan oleh sebagian besar anggota tim. Rata-rata kini mereka mendapat dukungan positif dari lingkungan sekitarnya.
Seiring dengan bertambahnya pengalaman, kepercayaan diri mereka semakin meningkat. Memang ini yang Rumah Cemara harapkan, yakni kualitas hidup setiap individu yang mengikuti HWC meningkat. Diharapkan, mereka dapat menularkan perubahan tersebut ke lingkungannya.
Memang, ini bukan sekadar pertandingan!