close
FeaturedTajuk

Catatan Rumah Cemara untuk 2020 (Bagian 1)

teaser
Ilustrasi: Radio Free Europe Radio Liberty

Setiap tahun tentu memiliki peristiwa penting yang layak untuk dicatat. Tapi, khusus 2020 lalu, ada peristiwa yang luar biasa terjadi. Ya, apalagi kalau bukan wabah penyakit yang disebabkan infeksi virus korona baru, dikenal sebagai covid-19. Betapa tidak, dampaknya dirasakan seplanet ini, berkepanjangan, dan entah kapan ujungnya.

Di luar wabah korona, tentu ada sejumlah peristiwa yang juga menyita perhatian publik. Mulai dari dicabutnya ganja dari daftar narkoba berbahaya oleh PBB, kelangkaan ARV yang terjadi lagi, hingga komitmen Indonesia yang patut dipertanyakan dalam mencapai target mengakhiri epidemi HIV-AIDS pada 2030.

Mumpung masih awal tahun, tentu ingatan kita masih segar akan peristiwa tahun lalu untuk dipelajari bersama. Kami merangkumnya dalam sebuah tulisan. Selamat membaca!

Catatan Pertama: Wabah Penyakit itu Bernama Covid-19

Kota Wuhan, Provinsi Hubei di China pada Desember 2019 dihebohkan dengan temuan sebuah virus korona jenis baru. Kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di China mendapat pemberitahuan tentang adanya sejenis pneumonia (infeksi paru-paru akut hingga menyebabkan gagal napas) yang saat itu tidak diketahui penyebabnya.

Pemerintah China melaporkan, seorang warga Provinsi Hubei berusia 55 tahun kemungkinan adalah pasien pertama penyakit yang kemudian populer dengan nama covid-19 itu. Ia diperkirakan terjangkit pada 17 November 2019.

Waktu berjalan, penyebaran penyakit ini meluas. Melintasi batas kota dan negara. WHO resmi mengumumkan covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Artinya, penyebaran penyakit ini terjadi secara cepat dengan skala global. Dengan status tersebut, WHO memberi peringatan pada pemerintah semua negara untuk meningkatkan kesiapsiagaan penanganannya. 

Ilustrasi: Shadi/ Opinion

Pada awal April 2020 saja, kasus covid-19 sudah tembus 1 juta di berbagai negara. Indonesia menyatakan kasus covid-19 pertama kali terjadi pada 2 Maret 2020, yang kemudian dikenal dengan kasus 01 dan 02 yang dialami warga Depok, Jawa Barat.

Kini tiap hari kita disuguhi berita tentang covid-19. Terbiasa pula kita dengan sederet fenomena dan istilah turunannya seperti Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), rapid test, swab test, karantina mandiri, orang tanpa gejala (OTG), protokol kesehatan, penggunaan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, hingga penuhnya pemakaman karena kematian akibat covid-19.

Dampak covid-19 memang luar biasa. Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziah pada akhir November lalu menyatakan 29,12 juta penduduk usia kerja di Indonesia terdampak wabah ini. Ada yang di-PHK, ada pula yang dikurangi jam kerjanya. Secara umum, ia mengutip data BPS, wabah ini telah menambah jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 9,7 juta orang.  

Puluhan pemimpin dunia menyatakan negaranya masuk jurang resesi ekonomi, tidak terkecuali negara adidaya seperti Amerika Serikat, Australia, Spanyol, Inggris, Jerman, Selandia Baru, Jepang, hingga negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura.

Baca juga:  Tramadol

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri dalam sidang kabinet awal November 2020 memperkirakan pertumbuhan ekonomi minus sekitar 3 persen pada kuartal III 2020. Artinya, Indonesia resmi masuk jurang resesi setelah pada kuartal sebelumnya, pertumbuhannya minus 5,32 persen.

Di pengujung 2020, harapan muncul dengan wacana produksi dan pemberian vaksin. Pemerintah RI pun sigap merancang program vaksinasi nasional. Sejumlah produsen vaksin telah merilis data efektivitas vaksin covid-19 yang mereka kembangkan. Beberapa negara bahkan sudah melakukan vaksinasi dan penggunaan darurat.

Indonesia tidak kalah, sebanyak 1,2 juta dosis vaksin yang dipesan dari Sinovac sudah tiba sejak 6 Desember lalu. Bertahap, sebanyak 1,8 juta dosis lagi tiba pada akhir Desember 2020. Artinya, saat ini sudah tersedia 3 juta dosis vaksin di Indonesia untuk mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kabar terakhir, BPOM telah menyetujui penggunaan darurat vaksin bernama CoronaVac buatan Sinovac Biotech, China. Persetujuan diberikan berdasarkan analisis uji klinis fase ketiga di Bandung yang mencapai efikasi 65,3 persen.

Ilustrasi: Indian Express Online

WHO menjelaskan, efikasi vaksin adalah kemanjuran vaksin yang dihitung dalam presentase. Angka efikasi vaksin ini menunjukkan kemungkinan penurunan terjadinya penyakit dalam kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak. Artinya, vaksin ini mampu menurunkan angka kejadian covid-19 hingga 65,3 persen.

Meski tingkat efikasinya di bawah Turki (91,25 perrsen) dan Brazil (78 persen) yang juga menggunakan vaksin ini, tingkat efikasi sebesar 65,3 persen itu dinyatakan memenuhi persyaratan dari panduan WHO. Standar efikasi vaksin yang ditetapkan WHO minimal 50 persen.

Seperti ramai diberitakan, Jokowi akan menjadi orang pertama di Indonesia yang disuntik vaksin ini besok (13 Januari 2021). 

Sebelumnya Kemkes RI membuat kebijakan, vaksinasi tahap pertama diprioritaskan bagi tenaga kesehatan dan jajarannya yang berhadapan langsung dengan pasien. Pemerintah juga telah menyetujui penggunaan tujuh produk vaksin covid-19, yaitu Moderna, Bio Farma, Oxford/ AstraZeneca, Sinovac, Sinopharm, dan Pfizer/ BioNTech, dan terakhir adalah Vaksin Novavax.

Menkes Budi Gunadi Sadikin sudah menyatakan, pemerintah menargetkan penyuntikan vaksin kepada 181 juta penduduk. Pemerintah konon membutuhkan 15 bulan untuk merampungkan proses vaksinasi, mulai bulan ini hingga Maret 2022. Bukan tugas mudah memang. Tentu saja ini semua dilakukan secara bertahap, mengingat Indonesia adalah negara dengan bentangan pulau yang tersebar luas.

Kita akan melihat, apakah vaksinasi akan efektif menghentikan laju covid-19. Di luar soal efektivitasnya, satu hal yang pasti, selama masa vaksinasi ini (baca: 15 bulan) terdapat hal yang sejatinya penting untuk diperhatikan. Kesadaran masyarakat dan kebijakan pemerintah yang tepat mutlak diperlukan.

Baca juga:  Rancangan KUHP Memidanakan Segala Bentuk Aborsi?

Di berbagai tempat masih mudah kita temukan kerumunan orang dan sebagian di antaranya tidak menggunakan masker. Protokol kesehatan yang gencar dikampanyekan acapkali jadi angin lalu. Keseriusan pemerintah juga seringkali meragukan. Betapa tidak, di kala berbagai negara menyuarakan bahaya dengan munculnya varian baru virus korona, kita seakan euforia dengan vaksinasi.

Ini ditunjukkan dengan wacana di bidang pendidikan di mana sekolah tatap muka akan kembali digelar di sejumlah tempat. Namun kebijakannya diserahkan sepenuhnya pada pemerintah daerah. Sebagian sudah menyatakan tidak akan membuka sekolah tatap muka, namun sebagian akan membuka di beberapa tempat yang dinilai memungkinkan.

Pemerintah juga terkesan plin-plan. Di satu sisi mengimbau masyarakat tidak bepergian saat liburan panjang akhir tahun, namun di sisi yang lain membiarkan orang bepergian dan berwisata. Memang benar, ada sejumlah prasayarat yang harus dipenuhi wisatawan seperti lembar hasil tes antigen cepat yang menyatakan negatif covid-19.  Namun, tidakkah penularan covid-19 tetap bisa terjadi beberapa menit saat seseorang telah memegang surat tersebut?

Sekali lagi, tidak berlebihan jika 2021 ini disebut sebagai tahun penentuan. Apakah kita akan makin berantakan atau kita berhasil mengatasi virus korona dengan sebaik-baiknya perjuangan.

Catatan Kedua:  Ganja Untuk Pengobatan Diresmikan PBB

2020 juga ditandai dengan peristiwa bersejarah dalam isu narkotika. Komisi Obat-Obatan Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menghapus ganja dari golongan narkoba berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis. Keputusan itu diambil 2 Desember lalu melalui voting sangat ketat atas rekomendasi WHO perihal manfaat terapeutik ganja.

Keputusan itu dinilai bersejarah karena usulan untuk menghapus ganja dari golongan narkotika berbahaya serta tidak memiliki manfaat pengobatan sebenarnya berlangsung hampir selama 60 tahun terakhir.

Dalam pemungutan suara oleh 53 negara anggota Komisi Obat-Obatan Narkotika PBB, 27 suara mendukung izin penggunaan ganja untuk tujuan medis, yang keberatan 25 suara, dan 1 suara abstain.

Dengan keputusan ini, PBB telah menghapus ganja dari klasifikasi Golongan IV dalam Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika. Klasifikasi itu menggolongkan ganja dan getahnya bersama heroin dan opioid lainnya yang rentan disalahgunakan, tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan, serta risiko kematian akibat overdosis yang tinggi.

Sebelum keputusan 2 Desember lalu itu, ganja termasuk dalam barang yang paling ketat dikontrol jika dibandingkan dengan Narkotika Golongan I-III. Bahkan, ganja selama ini dilarang untuk kepentingan medis di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Sekarang ganja tidak lagi disamakan dengan heroin atau opioid yang berpotensi menyebabkan kematian. Artinya, melalui keputusan ini ganja secara resmi keluar dari daftar narkoba berbahaya dan adiktif. Kabar baiknya bagi kita adalah peluang untuk mempelajari potensi ganja sebagai obat untuk terapi berbagai penyakit telah terbuka.

Rumah Cemara bersama sejumlah orgranisasi yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan telah mendesak Pemerintah Indonesia untuk merespons perkembangan global tersebut. Pemerintah harusnya mulai mempertimbangkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. Koalisi meminta pemerintah mulai menindaklanjuti perkembangan isu di dunia global ini dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis.

Baca juga:  Bisnis "Alumni" Rumah Cemara

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan bersama tiga orang ibu yang anaknya mengidap cerebral palsy mengajukan permohonan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis (19/11).

Para pemohon menilai, larangan pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).

Salah satu anak pemohon sempat menjalani terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja atau cannabidiol (CBD) di Australia. Kondisinya sempat membaik setelah mengikuti terapi ini.

Sayangnya terapi ini tidak dapat dilanjutkan karena UU melarang pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di Indonesia. Kategori bahwa narkotika golongan satu dilarang dimanfaatkan untuk layanan kesehatan menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan. Akibatnya, kualitas hidup dan kesehatan pasien cerebral palsy tidak dapat diperbaiki atau ditingkatkan hingga taraf maksimal yang dapat dijangkau.

Kabar duka datang belakangan, Musa Ibnu Hassan Pedersen, anak dari Dwi Pertiwi, salah satu pemohon uji materi UU Narkotika di MK, meninggal pada 26 Desember 2020 lalu. Musa selama 16 tahun mengidap cerebral palsy. Padahal, jalan panjang belum berakhir untuk memperjuangkan pengobatannya melalui ganja medis.

Hingga hari ini, belum kita dengar langkah konkret yang diambil pemerintah dalam menyikapi isu ini. Sekali lagi, kita memerlukan pemerintah yang serius melindungi kesehatan warganya. Tidak semestinya ada seorangpun yang ikhtiarnya terhalangi dalam mendapatkan pengobatan. Atas nama undang-undang sekalipun.

Konstitusi kita bahkan menjamin itu semua. Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 dengan gamblang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Dengan demikian, kita perlu memastikan agar negara segera menunaikan kewajibannya menyehatkan rakyat, bukan melindungi sindikat peredaran gelap ganja yang berlindung melalui kebijakan narkotika yang sangat represif.

Nantikan sambungannya!

Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.