Bali memiliki perempuan-perempuan yang kuat. Tak hanya fisik, namun juga batin. Batin kuat yang ditempa oleh keadaan. Pahit, asam, dan manis yang dialami. Salah satunya oleh sahabat saya. Namanya Ni Wayan Ketut (31), seorang ibu rumah tangga yang mengetahui status HIV-nya pada 2001.
Artikel ini merupakan karya Mohamad Hanan, salah seorang peserta Lokakarya Jurnalisme Warga yang diselenggarakan Rumah Cemara di Denpasar pada 24-27 Juli dan Bandung 14-16 November 2018.
Ni Wayan mendampingi dengan sabar suaminya yang sakit TBC parah saat opname di RSUP Sanglah Denpasar, hingga akhir hayatnya. Saat itu Ni Wayan tahu dirinya juga mengidap HIV. Tidak ada penyesalan dalam dirinya karena tertular HIV dari suaminya.
Ni Wayan adalah perempuan yang tidak mudah menyerah, terutama pada nasibnya. Hatinya yang sempat menangis saat suaminya wafat, telah tenang kembali. Namun bukan berarti tanpa cobaan. Masyarakat dan keluarga besar sempat memberi stigma dan perlakuan diskriminatif padanya. Ni Wayan dijauhi. Tidak ada yang berani bersentuhan. Bahkan oleh keluarga besarnya, peralatan makan di rumah pun disediakan terpisah.
Pandangan jijik padanya juga harus dia terima. Karena sakit hati yang mendera, akhirnya dia jatuh sakit. Ni Wayan tidak kuat menahan depresi dan rasa malu mendengar gunjingan tetangga tentang penyakit yang diidapnya. Dia dirawat di tempat yang sama dengan suaminya selama tiga bulan.
Seorang sepupu Ni Wayan yang bekerja sebagai perawat paham tentang HIV dan AIDS, baik cara penularannya maupun pencegahannya. Melalui dialah, keluarga besar dan tetangga paham bahwa HIV yang diidap Ni Wayan tidak mudah menulari mereka. Justru mereka harus turut mendukung menjaga kesehatan Ni Wayan yang sistem kekebalan tubuhnya lebih rendah dari orang lain sehingga lebih mudah sakit.
Setelah informasi yang benar tentang HIV dan AIDS dipahami keluarga besar dan para tetangga, Ni Wayan akhirnya diterima di tengah keluarga dan masyarakat. Tidak ada lagi pandangan jijik terhadapnya. Apalagi Ni Wayan hanya tertular dari suaminya yang menyuntik narkoba saat masih hidup. Mereka paham, Ni Wayan tertular HIV bukan karena perilakunya sendiri.
Penerimaan keluarga besar dan masyarakat membantu penerimaan diri Ni Wayan
Kembali dia menata kehidupannya. Secara teratur melakukan cek kesehatan walaupun harus menempuh perjalanan tiga jam dengan menggunakan sepeda motor dari Singaraja ke Denpasar. Dia juga aktif di kelompok dukungan sesama orang dengan HIV-AIDS (ODHA), Kosala Bali Singaraja. Ia bahkan tak segan berbagi cerita serta berbagi semangat dan dukungan dengan pasien yang baru tahu mengidap HIV.
Ni Wayan merengkuh komunitas ODHA dengan senyum dari hati. Sebuah kekuatan yang berdampak positif pada kesehatan dirinya.
Senyum Ni Wayan tidak hanya istimewa bagi teman-teman komunitas ODHA, tapi juga untuk seorang pria yang sudah lama ingin menikahinya. Pria yang tidak mengidap HIV itu menikahinya pada 2010. Kini, anak mereka sudah berusia 7 tahun dan Ni Wayan sedang hamil lagi. Usia kandungannya 5 bulan.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang telah diikuti Ni Wayan, membuatnya tidak menularkan HIV ke anaknya. Ya, Ni Wayan dan suaminya adalah pasangan sero-diskordan alias pasangan yang hanya salah satunya positif HIV.
Ni Wayan telah membuktikan bahwa ODHA juga berhak atas kehidupan bahagia. Berhak untuk menikah dan berhak memiliki anak yang sehat. ODHA tetap bisa menjalani hidup yang bermanfaat bagi sesama.
Saat ini dia bisa tersenyum pada dunia dan bisa berbagi cerita tentang hidupnya. Bukan untuk membuka aib, tapi untuk memberikan pelajaran berharga, bahwa dengan terapi anti-retroviral (ARV) yang teratur, dia bisa hidup sehat.