Nimrod adalah pria asal Serui yang merantau ke Jayapura, Papua untuk kuliah. Ia memiliki keluarga yang taat beribadah. Orang tuanya pendeta.
Artikel ini merupakan opini karya Armandho CB Rumpaidus, salah seorang peserta Lokakarya Jurnalisme Warga yang diselenggarakan Rumah Cemara di Jayapura, 17-20 Juli 2018.
Ia senang berorganisasi. Saat di bangku SMA ia menjadi ketua OSIS. Dalam hal prestasi belajar, ia juga tergolong mahasiswa yang cerdas. Nimrod menguasai bahasa Inggris dengan baik, selain bahasa Indonesia dan bahasa Ambai (bahasa daerah warga Yapen, Papua-red). Namun sayang, ia sering mendapat sikap yang kurang baik dari lingkungannya.
Ketika antre di kamar mandi asrama misalnya, banyak teman yang tidak mau bersama dengannya. Dalam ruang kuliah pun, ada yang enggan duduk berdampingan. Bahkan Nimrod sering ditolak masuk dalam sebuah kelompok saat mengerjakan tugas.
Ternyata mereka tidak mau berdekatan karena tahu Nimrod mengidap HIV. Ia pertama kali mengetahui terinfeksi HIV saat mengikuti tes HIV di Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura.
Saya menduga, masih banyak lagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang memiliki nasib serupa Nimrod, diperlakukan berbeda! Masyarakat masih sering mendiskriminasi dan memberi stigma atau cap buruk pada ODHA. Hal ini bisa terlihat mulai dari keluarga, tetangga, masyarakat di kampung, sekolah, hingga di rumah ibadah. Demikian juga di kalangan pembuat kebijakan (pemerintah).
Dalam sebuah keluarga, misalnya. Saat ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV, justru dia dikucilkan. Padahal, keluarga seharusnya menjadi tempat saling melindungi dan menjaga. Lebih parahnya lagi jika terjadi di rumah ibadah. Bukankah semua warga negara memiliki hak untuk beribadah kepada Tuhannya? Akan tetapi saya melhat, lagi-lagi terjadi diskriminasi di antara sesama jemaat di dalam rumah ibadah. Ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi!
Kenapa saya bilang begitu? Karena tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang suci di hadapan Sang Pencipta.
Bagi saya, diskriminasi pada ODHA disebabkan tiga hal. Pertama, kurangnya informasi. Padahal kita tahu, informasi sangat penting dalam membentuk pemahaman masyarakat. Kurangnya informasi tentang HIV-AIDS mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan stigma terhadap ODHA.
Kedua, berita bohong (hoaks) yang menimbulkan ketakutan berlebihan. Sudah sering kita mendapatkan informasi dari media sosial atau cerita dari teman tentang buah-buahan yang disuntik dengan darah yang tercemar HIV. Apabila kita mengonsumsi buah itu, katanya kita akan tertular HIV-AIDS. Selain itu, ada juga informasi yang menyebutkan kita bisa tertular HIV jika kita bermain, makan, dan beraktivitas bersama dengan pengidap HIV. Kedua contoh ini adalah informasi keliru, namun sering beredar di kalangan masyarakat.
Ketiga, HIV-AIDS masih jarang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. HIV-AIDS masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak dibicarakan, terutama di tengah keluarga. Jika ada seorang kenalan kita yang melakukan pemeriksaan HIV-AIDS, ia sering menjadi bahan pembicaraan atau gosip.
Terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Bukan hanya di kota-kota besar, namun juga di pelosok Papua. Perilaku diskriminatif dikhawatirkan membuat ODHA merasa down, bahkan bisa saja bunuh diri dan mati sia-sia. Siapa penyebabnya? Secara tidak langsung kita adalah penyebab kematian mereka.
Di Papua, kita perlu mengingat ungkapan yang sering terdengar yaitu “jangan sampai suatu hari nanti hanya ada kisah bahwa pulau Papua pernah hidup manusia kulit hitam keriting rambut.”
Kompasiana (2017) pernah menerbitkan artikel berjudul “28.771 Orang Terinfeksi HIV: Provinsi Papua Darurat HIV-AIDS”. Angka itu didasarkan pada data Dinas Kesehatan Provinsi Papua sampai Juli 2017. Artinya, bisa jadi masih ada puluhan ribu ODHA lainnya di Papua yang juga mendapat diskriminasi. Sama seperti Nimrod. Bagaimana jika mereka depresi, malu, dan tidak berani berobat, lalu mati sia-sia?
Itu berarti ada 20 ribuan orang Papua yang bisa mati sia-sia dan tentu saja berdampak pada keluarga mereka. Padahal, mereka memiliki potensi besar untuk berprestasi dan sangat berguna bagi Papua ke depannya.
Ketika terjadi diskriminasi terhadap ODHA maka telah terjadi juga pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena hak mereka untuk hidup dan beraktivitas jadi terbatas. Sesungguhnya, mereka memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya.
Apabila kita peduli dan mau menghilangkan diskriminasi tadi, maka Papua memiliki banyak sumber daya manusia yang sangat berguna. Namun sebaliknya, apabila masih ada diskriminasi terhadap ODHA maka Papua bisa kehilangan banyak jiwa potensial seperti Nimrod.
Mari kita ingat pasal ke-2 dan ke-5 dari Pancasila yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Apabila masih terjadi diskriminasi dan stigma terhadap ODHA, maka kedua sila dalam Pancasila sebaiknya dihapuskan saja. (Armandho CB Rumpaidus)