close
Ditawari-Ganja-di-Lisboa
Ilustrasi: www.panajournal.com

PanaJournal – Di Lisboa, Portugal, ganja dijajakan di tengah keramaian pusat wisata. Rendahnya hukuman justru membuat penggunaan narkotika menurun drastis.

Saat itu baru sehari saya tiba di ibukota Portugal, Lisboa. Udara terasa akrab, bagai udara kampung halaman saya di Bandung: sinar matahari boleh terik, angin tetap sejuk. Seharusnya sekarang sudah masuk musim gugur di Portugal, dan biasanya suhu udara bisa turun sampai 13 derajat celcius. Tapi musim gugur kali ini lain, suhu Lisboa bisa mencapai 34 derajat celcius. “Ini tidak normal,” kata induk semang saya, Gustavo, lelaki asal Brazil yang memilih pindah dan menetap di Lisboa.

Saya jalan ke Rossio Square, atau alun-alun Raja Pedro IV. Tempat itu sudah jadi alun-alun sejak zaman pertengahan: pusat pertemuan orang-orang, pusat pemerintahan, sekaligus juga tempat beberapa revolusi mulai dikobarkan, dan tempat menggantung para penjahat dan orang-orang yang kalah.

Dari kejauhan, terlihat patung Pedro IV berdiri tegap di pucuk sebuah kolom marmer setinggi dua puluh tiga meter, menatap ke arah Praça do Comércio di tepi laut.

Walau alun-alun itu dinisbatkan pada Dom Pedro IV atau Peter IV, sesungguhnya bukan dia yang pertama kali mendirikan monumen di sana, melainkan Raja John VI, yang mendirikan monumen konstitusi pada 1821. Tapi, diruntuhkan lagi olehnya dua tahun kemudian karena kemenangan revolusi yang dikobarkan oleh Infante Michael of Portugal. Revolusi tersebut berhasil mengembalikan sistem monarki absolut dengan dukungan Ratu Carlota Joaquina.

Saya sedang asyik menyaksikan patung itu, sambil melangkah pelan-pelan mendekatinya. Tiba-tiba seorang laki-laki tinggi-besar-brewokan, memotong langkah saya dan berbisik dalam bahasa Inggris, “Mariyuana, barang bagus ini.”

Harga bagus, barang bagus

Saya kaget, dan spontan mengatakan tidak. Dia menunjukkan ganja yang dibungkus plastik bening. “Barang bagus ini,” dia tak mau menyerah.

“Tidak, terima kasih,” jawab saya.

“Mau hashish? Atau kokain? Saya punya, harga bagus, barang bagus,” dia terus mendesak.

“Tidak,” saya bilang, sambil tersenyum sopan.

“Ayolah, barang murah ini, Kawan.”

“Tidak,” saya melambaikan tangan.

“Baiklah,” dia mengangkat bahu, lalu melangkah pergi.

Saya masih terkaget-kaget ditawari ganja, hashish, dan kokain di tengah keramaian seperti itu. Tak terbayang kalau hal itu terjadi di Indonesia.

Setelah melewatkan waktu menikmati alun-alun Rossio, saya melangkah menyusuri Rua Augusta. Di tengah jalan berkali-kali saya ditawari ganja, hashish, dan kokain. Sampai akhirnya saya menyerah pada seorang penjual berusia setengah baya.

“Kawan, belilah ini. Barang bagus, harganya juga bagus,” ucapnya, dalam bahasa Inggris patah-patah, dengan wajah memelas ketika mencegat saya di tengah keramaian.

“Berapa?” tanya saya.

“Tujuh belas euro,” begitu yang saya dengar.

“Ya sudah,” ucap saya sambil merogoh saku dan mengeluarkan tujuh belas euro.

Baca juga:  PBB Desak Penutupan Pusat Rehabilitasi dan Rumah Tahanan Kasus Narkoba

Lelaki itu kaget, dan tertawa. “Kawan,” ucapnya, “saya pikir kamu salah mendengar. Ini harganya tujuh puluh euro.”

“Tujuh puluh euro?!” saya kaget. “Kalau begitu tidak jadi, saya tidak punya tujuh puluh euro.”

“Kawan, lihatlah, barang ini bagus dan banyak satu paketnya. Tujuh puluh euro tidak mahal.”

“Masalahnya saya tidak punya tujuh puluh euro, kalau tujuh belas euro saya beli.”

“Ayolah,” lelaki itu wajahnya semakin memelas.

“Sudah saya bilang, saya tidak punya tujuh puluh euro. Selamat tinggal,” ucap saya, lalu mempercepat langkah kaki.

“Tunggu,” ucap lelaki itu mengejar saya, “Sabarlah sedikit. Begini saja, saya beri kamu paket kecil lima belas euro saja.”

“Sepuluh euro.”

“Lima belas kawan, saya tidak menjual terlalu mahal.”

Akhirnya, saya memberi dia lima belas euro. Dan dia menyelipkan benda berbungkus plastik ke kantung celana saya. “Terima kasih, Kawan,” ucapnya. Lalu dia berlalu, menghilang di tengah keramaian.

Demi Tuhan, barang yang dia selipkan ke dalam saku saya begitu menggelitik, dan rasanya begitu berat. Saya merogohkan tangan ke saku, meraba-rabanya, tapi tak berani mengeluarkannya walau saya sangat penasaran apakah benar benda di dalam saku itu adalah sebungkus ganja.

Saya terus melangkah. Dan setiap kali melihat polisi, jantung saya berdegup lebih cepat. Saya tidak bisa mengusir pikiran paranoid, bagaimana jika polisi itu tahu saya baru saja membeli ganja dari seseorang yang tidak saya kenal? Bagaimana jika saya ditangkap pada hari pertama melangkahkan kaki di kota tua ini?

Mencoba menenangkan diri, saya melangkah menuju pantai. Mendengarkan alunan pengamen yang sedang bermain gitar elektrik dengan lagu yang begitu mendayu.

Tengah saya berdiri di dekat pantai, seorang lelaki tinggi-besar menghampiri saya. Di sudut lain lapangan itu, sekelompok polisi sedang berkumpul dan merokok. Lelaki itu berdiri di hadapan saya. Mati saya! jerit saya dalam hati. Saya pikir dia polisi.

Saya menelan ludah.

Lelaki itu melangkah ke belakang saya.

“Mariyuana?”

Saya menggelengkan kepala. Jantung saya terasa mencelos, saya pikir dia tahu saya punya mariyuana.

“Murah ini, barang bagus.”

Oh. Lega sekali mendengar tawaran itu. Tapi bukankah bisa jadi dia polisi yang menyamar? Kenapa saya tidak berpikir seperti itu ketika saya membeli mariyuana dari si bapak tadi? Jantung saya kembali berdegup lebih kencang.

“Ayolah. Tidak suka mariyuana? Mau hashish? Lihat barang bagus,” ucapnya, sambil menunjukkan sebungkus hashish sembunyi-sembunyi.

“Tidak, terima kasih,” jawab saya.

“Kokain? Mau?” dia kembali merogohkan tangan ke jaketnya, dan mengeluarkan kokain.

“Tidak, terima kasih,” kali ini saya melambaikan tangan sambil melangkah menjauh.

Baru beberapa langkah, seorang lelaki lain lagi mencegat saya. “Mariyuana? Kokain? Hashish? Saya punya semuanya, bagus dan murah,” ucapnya.

Baca juga:  Siapakah ODHA?

Rasanya saya ingin merogoh saku saya dan melemparkan bungkusan plastik di dalamnya untuk dilemparkan ke wajahnya dan berteriak, “Saya sudah punya!”.

Tawaran-tawaran itu memang awalnya menggelikan dan memancing sedikit kenakalan untuk membelinya. Tapi saya tak tahan terus-terus ditawari ganja, hasish, dan kokain.  Rasanya mulai memuakkan. Apakah karena wajah saya tampak mengundang mereka semua?

Seharian itu hati saya tidak tenang. Rasanya ingin segera kembali ke rumah, agar terhindar dari setiap penjual ganja itu, dan tentu saja ingin segera memenuhi rasa penasaran, tentang sekantung barang di dalam saku celana.

Hati yang gelisah membuat konsentrasi terpecah. Saat saya akan mengeluarkan uang dari dompet di dalam tas untuk membeli cinderamata, tersadarlah saya, saya kecopetan. Uang beberapa puluh euro di dalam dompet raib. Tapi copet itu cukup baik hati, tidak mengambil dompet saya sekaligus. Semua kartu identitas dan kartu bank tidak dia ambil.

Brengsek! Entah kenapa saya merasa yakin, si bapak yang menjual ganja itu bekerjasama dengan pencopet untuk mengetahui di mana saya menyimpan uang. Bahkan bukan tidak mungkin dia juga pencopetnya!

Jarang dihukum

Setiba di rumah, ternyata rasa penasaran saya yang lebih kuat bukan tentang kantung plastik di dalam celana, tapi pada pertanyaan: apakah ganja dan narkotika lainnya legal di Portugal? Kalau legal, kenapa para penjualnya menjual dengan sembunyi-sembunyi? Kalau ilegal, kenapa mereka berani menjajakannya di tengah keramaian pusat wisata?

Saya lantas membaca beberapa referensi.

Ternyata, tadinya Portugis menerapkan hukum yang keras bagi penjual dan pengguna narkotika. Para pengguna dan penjual dikriminalkan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1993, yang hukumannya mulai dari denda sampai dengan dipenjara bertahun-tahun.

Tapi kemudian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1993 direvisi dan dicabut dengan dikeluarkannya aturan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, yang diimplementasikan pada tahun 2001. Mulai Juli 2001, penggunaan ganja dan narkotika lainnya tetap diancam dengan hukuman penjara, tetapi dikategorikan sebagai tindakan kriminal ringan dengan hukuman denda atau penjara maksimal selama tiga bulan. Jika kepemilikan narkotika melebihi kuantitas penggunaan untuk tiga hari bagi seorang individu, hukuman maksimalnya penjara selama satu tahun.

Namun, dijelaskan di dalam undang-undang itu, bagi pengguna yang baru pertama kali menggunakan narkotika atau pengguna tersebut terbukti hanya sesekali menggunakan narkotika, hukumannya bisa ditunda.

Dengan demikian, jika seseorang tertangkap memiliki narkotika, dan jumlahnya menurut perhitungan polisi tidak sampai untuk penggunaan lebih dari tiga hari, maka seseorang itu tidak bisa dikriminalkan. Tapi masih memungkinkan seseorang itu dikenai hukuman denda. Jika kepemilikan narkotika melebihi batas yang ditentukan, pemiliknya bisa dihukum satu tahun dan denda sebesar nilai 120 hari (nilai harian adalah bentukan denda yang umum di Eropa, didasarkan pada penghasilan harian tersangka).

Baca juga:  Timnas HWC 2017 Manfaatkan Masa Adaptasinya ke Oslo Vinterpark

Namun, dalam pelaksanaannya, polisi Portugal sangat jarang menghukum pemilik narkotika. Kabarnya, hanya 10 persen dari kejadian tangkap tangan pemilik narkotika yang dihukum denda. Dan sejak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 berlaku, tak ada pengguna narkotika yang dihukum penjara.

Seseorang dikategorikan pengguna narkotika, jika saat tertangkap dia terbukti tak memiliki lebih dari yang ditentukan, yaitu: heroin 0.1 gram; kokain 0.2 gram; cannabis 2.5 gram; hashish 0.5 gram; delta-9-THC 0.05 gram; amphetamine 0.1 gram.

Tapi polisi masih menetapkan hukuman untuk penjual narkotika dan mereka yang menanam ganja. Untuk ganja, hukumannya penjara antara empat sampai dua belas tahun. Sedangkan untuk penjual obat penenang dan analgesik, hukumannya antara satu sampai lima tahun penjara.

Lalu bagaimana situasi Portugal dengan rendahnya hukuman terhadap pengguna narkotika? Dari banyak referensi yang saya baca, ternyata, penggunaan narkotika menurun drastis, karena satu faktor: dengan aturan yang longgar terhadap penggunaan narkotika, nilai ekonomi narkotika turun drastis, dan akibatnya banyak orang berhenti memproduksi atau menjual narkotika karena tidak lagi menghasilkan uang banyak.

Ketika pihak yang memproduksi dan penjual narkotika berkurang, otomatis tingkat penggunaan pun berkurang. Dan itulah sebabnya, hanya ganja dan hashish—sebagai narkotika alami—yang jumlahnya terbesar dijual di jalanan Lisboa, bukan narkotika keras seperti heroin, meth, atau sabu.

Saya jadi teringat dengan pemaparan panjang-lebar dan analisis Patri Handoyo, seorang aktivis dan peneliti masalah narkotika. Di dalam bukunya, “War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia” (2014), Patri juga menyimpulkan hal yang sama. Bahwa aturan yang keras terhadap narkotika membuat barang itu tertahan dan akibatnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Karena peredaran barang itu mengikuti prinsip ekonomi: ketika pasokan ditahan, maka permintaan pun tinggi, dan itu artinya harga akan tinggi. Ketika pasokan dilepas, permintaan akan rendah dengan sendirinya, dan harga akan turun pula.

Patri bahkan dengan berani menyimpulkan, hanya dua pihak yang diuntungkan dengan  aturan yang keras terhadap narkotika, yaitu bandar dan polisi. Kenapa? Silakan pikirkan saja jawabannya.

Saya pandangi bungkus plastik kecil dengan serbuk berwarna hijau di dalamnya. Betulkah itu ganja?

Perlahan saya buka plastik itu. Saya coba membauinya, tidak tercium harum yang kuat dan khas. Lalu saya coba linting, membakarnya, dan mengisapnya… tidak ada efek sama sekali. Sampai lebih dari setengah paket itu saya gunakan, tidak ada efek sedikit pun.

Bah! Saya rugi dua kali. Sudah ganjanya palsu, kecopetan pula!***

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.