close
FeaturedLayanan

Ganja sudah jadi obat sejak lampau

IMG_2806
Diskusi “Ada Apa dengan Ganja?” digelar HMI Koordinator Komisariat Unisba, Bandung, Rabu, 19/2/2020. (Iman Herdiana)

Ganja di masa lalu sudah biasa dipakai sebagai bumbu masak atau obat tradisional. Bahkan dunia medis mengakui ganja memiliki zat atau senyawa potensial untuk mengobati penyakit diabetes sampai kanker. Namun selama ini penelitian ganja sebagai obat lebih sering dilakukan di luar negeri. Meski menjadi negeri penghasil ganja, Indonesia belum pernah melakukan penelitian ganja.

Fikri Akbar dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Bandung mengatakan, Indonesia sebenarnya bisa melakukan penelitian ganja untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau atau kesehatan. Hal ini diatur dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 yang menyebutkan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Fikri, UU mensyaratkan penelitian terhadap tanaman Cannabis sativa itu boleh dilakukan setelah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan (Kemkes). Selanjutnya, penelitian akan berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) serta di bawah pengawasan BPOM.

Pada 2014, Yayasan Sativa Nusantara sudah mendapat izin dari Kemkes RI untuk meneliti ganja sebagai obat diabetes. Sayangnya, penelitian ini terkendala pengadaan barang karena tidak berhasil mendapatkan ganja sebagai objek penelitiannya.

“Kita pernah diizinkan untuk riset tanaman ganja dari Kemkes, barangnya harus dari BNN. Bahannya koordinasi dengan BNN,” kata Fikri Akbar dalam diskusi “Ada Apa dengan Ganja?” yang digelar HMI Koordinator Komisariat Unisba, Bandung, Rabu (19/2/2020). Selain Fikri, diskusi juga menghadirkan Mirasari Putri, dosen Fakultas Kedokteran Unisba dan Reza A. Kodir, dosen Prodi Farmasi Unisba.

Baca juga:  Ballata, Rumah bagi Semua Orang

Fikri juga menyatakan, adanya payung hukum terhadap penelitian ganja semestinya menjadi jaminan bagi peneliti tanpa takut dipenjara dengan alasan penyalahgunaan narkotika. Jaminan tersebut harus ditindaklanjuti instansi terkait seperti Kemkes, BNN, dan BPOM. Namun ia belum melihat adanya komitmen untuk menjalankan jaminan tersebut.

Karena itulah LGN terus mendorong pemerintah untuk melihat pentingnya pemanfaatan ganja untuk kepentingan riset. Ia tidak sepakat dengan istilah “legalisasi ganja” yang terkesan menstigma ganja itu sendiri. Menurutnya, ganja merupakan tanaman khas Indonesia. Dalam literatur, tanaman ganja sudah digunakan masyarakat Jawa untuk pengobatan maupun rekreasi sejak abad ke-10.

Namun dalam sejarahnya, ganja sengaja dinarasikan sebagai tanaman bawaan Belanda yang baru masuk ke nusantara sejak abad ke-15.

“Pemanfaatan ganja sudah sangat jauh di Indonesia. Di Aceh ada kitab Mujarobat peninggalan Kerajaan Aceh yang menyebutkan tanaman ganja bisa dipakai untuk pengobatan diabetes,” katanya. Kitab Mujarobat, lanjut Fikri, ditulis abad ke-16.

Di Aceh, ganja selain pengobatan juga dipergunakan untuk bumbu masakan. Lalu pada abad ke-18, ada literatur Belanda yang menyebut ganja sebagai obat kencing nanah dan asma. “Jadi ganja legal di Indonesia jauh lebih lama dari ganja ilegal sekarang,” tandasnya.

Beda Ganja dan Komponen Ganja

Dosen Fakultas Kedokteran Unisba, Mirasari Putri menjelaskan, ganja memiliki lebih dari 500 komponen atau senyawa cannabinoids. Masing-masing senyawa terdiri dari komponen yang berbeda-beda. Mirasari menyebut, ada 144 komponen ganja yang terkenal di dunia penelitian, antara lain cannabidiol (CBD), cannabinol (CBN), cannabichromene (CBC), cannabigerol (CBG) dan tetrahydrocannabivarin (THCV).

Baca juga:  Quo Vadis Rancangan UU Pidana Republik Indonesia?

Komponen-komponen tersebut memilki efek untuk melawan berbagai penyakit. Yang paling populer dari komponen-komponen itu ialah THCV. Komponen ini diduga memiliki efek antiimflamasi atau peradangan.

“Jadi bicara ganja dengan bicara komponen di dalam ganja berbeda. Tetrahydrocannabivarin ini yang menjadi kembang desanya di antara komponen-kompenen dalam ganja,” terangnya.

Sebagai gambaran, jurnal-jurnal penelitian dunia banyak sekali yang mengulas ganja. Penelitian tentang ganja paling banyak ada di Inggris. Namun penelitian ganja sebagai obat masih harus menempuh jalan panjang.

Untuk penelitian tetrahydrocannabivarin, penelitiannya harus melalui penelitian paraklinis, uji coba ke hewan, organ tubuh manusia, dan seterusnya. Selama proses ini berlangsung, akan diteliti efeknya. Setelah itu akan masuk ke penelitian klinis yang terdiri dari empat tahapan.

Selain THCV, kata Mirasari, ada juga penelitian cannabinol (CBN) yang berpengaruh pada sistem otak dan sistem pertahanan tubuh. Penelitian ini bertujuan mencegah kematian sel yang bisa menimbukan kanker.

Mirasari mengaku tertarik meneliti ganja. Tetapi dengan regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini, ia tidak bisa melakukan sembarangan penelitian ganja tanpa ada jaminan hukum. Menurutnya, peneliti membutuhkan kepastian dan jaminan hukum sehingga bisa fokus.

“Menarik kalau ganja dijadikan penelitian di Indonesia. Tapi kalau saya teliti, ambil sampel, lalu menanam sendiri nanti dipenjara itu takut juga. Itu masalah sebenarnya bicara legalitas. Kita kan bicara di penelitian, kalau di ranah hukum, ngeri,” ujar Mirasari.

Baca juga:  Dilbert: You Must Work for a Donor
Ilmuwan Indonesia Mampu Teliti Sendiri Ganja

Reza A. Kodir, dosen Prodi Farmasi Unisba menegaskan, peneliti Indonesia mampu meneliti ganja sendiri. Karena selama ini penelitiannya banyak dilakukan di luar negeri, maka informasi seputar kandungan dalam ganja banyak muncul dari luar. Padahal tanaman ganja yang ditanam di sana belum tentu memiliki kandungan zat yang sama dengan tanaman ganja yang ditanam di Indonesia.

“Meneliti ganja sangat menantang sebenarnya,” kata Reza. Menurut hasil penelitian di luar negeri, lanjut farmakolog yang juga ahli herbal ini, ganja berpotensi mengobati penyakit diabetes dan kanker.

Besarnya potensi obat yang terkandung dalam ganja sampai memunculkan isu tentang terancamnya perusahaan farmasi jika ganja dilegalkan sebagai tanaman obat. Menurut Reza, dalam ilmu farmasi memang ada mazhab-mazhab yang pro maupun kontra tanaman tradisional sebagai herbal. Dalam hal ini, ganja termasuk tanaman herbal yang biasa dipakai pengobatan tradisional.

“Obat tradisional bisa sangat berkembang, ditanam sendiri, dan penggunaannya sendiri. Siapa yang bangkrut? (Mereka) yang merasa dirugikan atau tidak setuju. Saya sendiri di herbalisme lebih cenderung ke mendukung (ganja sebagai obat),” ujar Reza.

Iman Herdiana

The author Iman Herdiana

Jurnalis dan penulis lepas, tinggal di Bandung

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.