Uji materi di Mahkamah Konstitusi RI masih berproses.
Tiga ibu dengan anak pengidap lumpuh otak (cerebral palsy) bersama beberapa organisasi nonpemerintah menggugat, agar di republik ini ganja bisa digunakan untuk pengobatan anak-anak mereka. Ini selaras dengan konstitusi UUD 1945 bahwa, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
Gugatan untuk mencabut larangan pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk pengobatan, di mana ganja ada di dalamnya, saya rasa sangat relevan saat ini. Yang tidak relevan justru pelarangannya, karena tidak berdasarkan kajian ilmiah yang mengulas apakah tanaman ini bermanfaat atau super berbahaya sehingga wajib dilarang.
Sebagai bangsa berdaulat kita boleh mengabaikan keputusan PBB yang mengeluarkan ganja dari zat berbahaya dan tidak bermanfaat sama sekali buat pengobatan pada 2 Desember tahun lalu. Indonesia punya dasar bernegaranya sendiri, UUD 1945.
Di situ pula dinyatakan, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Kalau memang saat ini masih banyak pihak yang berprasangka buruk terhadap ganja dan menolak dimanfaatkan seluas-luasnya untuk keperluan medis, negara bisa melakukan penelitian terlebih dulu secara terbatas. Berikan kesempatan kepada anak-anak bangsa pengidap lumpuh otak itu untuk mendapat pengobatan dengan ganja lewat skema penelitian. Meskipun sebenarnya penelitian sejenis sudah banyak dilakukan di luar negeri.
Sejumlah negara bahkan sudah mengizinkan pemanfaatan obat dari ekstrak ganja untuk beberapa penyakit di antaranya lumpuh otak.
Pernahkah kalian melihat atau hidup dengan pengidap lumpuh otak?
Mereka mengalami refleks berlebihan dan otot yang kaku, terkadang nyeri, dan sebagian besar mengalami kesulitan berjalan tergantung pada tingkat kelenturan organ tubuh mereka. Belum lagi ada sejumlah kondisi kesehatan dan komplikasi yang dapat memengaruhi harapan hidup pasien seperti malnutrisi atau strok akibat kejang.
Kejang-kejang lazim dialami oleh pasien lumpuh otak. Kondisi ini terjadi akibat lonjakan aktivitas listrik di otak secara tiba-tiba. Bagi orang tua, kejang menjadi momok karena terjadi berulang-ulang dan tidak dapat diprediksi. Kalau pasien sudah kejang, semua kemampuan yang sudah diraih melalui terapi sebelumnya hilang tak berbekas.
Kejang merupakan kondisi serius. Dampaknya bisa berupa cedera fisik akibat tak sadarkan diri dan terjatuh hingga organ vital tubuhnya terbentur, efek kejang berulang terhadap otak, hingga kematian.
Kemungkinan cedera lebih tinggi saat kejang yang dialami tidak terkendali, durasi kejang yang panjang, di mana terjadinya, dan apakah kejangnya berkembang menjadi keadaan darurat seperti terjadi benturan kepala.
Meskipun belum ada obat spesifik untuk lumpuh otak, sejumlah perawatan dapat mengatasi gejala yang terkait dengan kondisi tersebut. Orang tua pasien akan mencari dan mengupayakan cara apapun yang dapat meringankan ketidaknyamanan anak mereka dan memungkinkan mereka untuk berfungsi dengan baik.
Senyawa ganja bernama cannabidiol (CBD) telah banyak diteliti akan dampaknya terhadap otak dan sistem saraf. Laporan-laporannya menyatakan CBD bisa mengurangi frekuensi kejang pasien epilepsi dan kelenturan otot pada sklerosis ganda (multiple sclerosis).
Sejumlah penelitian tentang pemanfaatan ganja medis untuk gejala kejang pada pasien lumpuh otak menunjukkan banyak manfaat terapeutiknya. Salah satu studi yang menunjang temuan ini diterbitkan pada 2014. Kajian tersebut menunjukkan, ganja efektif mengurangi kejang otot yang menyakitkan, kondisi yang dialami sebagian besar pasien lumpuh otak (Syed, et al, 2014).
Pengidap lumpuh otak di Indonesia hingga kini hanya bergantung pada obat-obatan yang sudah mendapat izin Badan POM RI untuk mengatasi kejang. Tapi masalah dengan obat-obatan tersebut adalah ketika anak-anak mengalami kejang berulang kali, dosis obatnya harus ditambah. Persoalannya, tiap obat memiliki ambang batas dosisnya masing-masing. Ini berarti saat batas itu tercapai, pasien harus mengganti dengan pengobatan lain.
Menambah jenis obat serta meningkatkan dosisnya tentu berpengaruh pada kesehatan anak, terutama jika usianya masih sangat belia. Itu karena obat-obatan memiliki sejumlah efek samping yang sangat serius bagi organ tubuh. Belum lagi, obat-obatan tersebut kebanyakan hanya meminimalisasi frekuensi kejang yang terjadi dalam sehari bukan mengendalikan masalahnya, yakni lonjakan aktivitas listrik di otak secara tiba-tiba.
Untuk bisa mengikuti terapi CBD, warga negara Indonesia mau tidak mau harus meninggalkan tanah airnya dan tinggal di negara di mana terapi tersebut diizinkan.
Sebenarnya kalau mau, para orang tua pengidap lumpuh otak ini bisa saja mengekstrak minyak CBD secara swadaya. Toh ganja sangat mudah ditanam. Mengekstrak minyak CBD pun bisa dilakukan dengan peralatan sederhana di rumah, seperti yang dilakukan kerabat Charlotte Figi di Amerika sana.
Walaupun sudah tidak lagi mempermasalahkan potensi mabuk atau halal-haramnya tanaman ganja, tapi para orang tua pengidap lumpuh otak masih memedulikan hukum pidana yang menyertai pemanfaatan tanaman tersebut di republik ini. Ironisnya, mereka paham betul kalau derita anak-anak mereka saat mengalami kejang akan berakhir bila memanfaatkan ekstrak ganja yang memiliki properti antiayan dan telah dibuktikan melalui berbagai kajian ilmiah.
Ganja kini telah menjadi harapan bagi puluhan ribu pengidap lumpuh otak di Indonesia agar bisa terbebas dari periode kejang yang dapat berakibat fatal. Harapan itu kini berwujud gugatan di Mahkamah Konstitusi RI agar hak anak-anaknya ditunaikan negara sesuai UUD 1945. Atau justru pelarangan ganja lewat UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terlalu perkasa sehingga dapat menggugurkan hak-hak tersebut.
4 Comments