close
AIDS di Tengah Korona
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Sebelum pandemi covid-19 pun penanggulangan epidemi HIV-AIDS di Indonesia tidak dilakukan secara gencar dengan skala nasional. Hal ini antara lain terjadi karen sistem pemerintahan yang sudah menganut otonomi daerah (Otda), sehingga pemerintah pusat tidak bisa lagi mengatur pemerintah provinsi serta kabupaten dan kota.

Padahal, pandemi dan epidemi tidak mengenal batas wilayah admintrasi, wilayah, daerah dan negara karena virus (korona dan HIV) ada di dalam tubuh sehingga dibawa ke mana pun pergi.

Sejak pemerintah mencanangkan pandemi covid-19 pada 3 Maret 2020, kasus pertama terdeteksi, semua daya dan upaya pun digerakkan untuk menangani pandemi ini. Celakanya, penanganan covid-19 tidak bisa satu komando karena Otda. Pejabat pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota tidak gentar menghadapi seruan pusat karena tidak ada mekanisme untuk menindak mereka.

Nah, agaknya persoalan yang dihadapi epidemi HIV-AIDS juga sama. Setiap daerah merasa mampu menanggulangi epidemi HIV-AIDS.

Di tengah-tengah pandemi covid-19, kasus baru HIV-AIDS terus terdeteksi. Berikut uraian periodenya:

Triwulan II. April-Juni 2020. Jumlah kasus terdeteksi 10.349 HIV-AIDS yang terdiri atas 7.993 HIV dan 2.356 AIDS.

Triwulan III. Juli-September 2020. Jumlah kasus terdeteksi 11.451 HIV-AIDS yang terdiri atas 9.165 HIV dan  2.286 AIDS.

Triwulan IV. Oktober-Desember 2020. Jumlah kasus terdeteksi 9.537 HIV-AIDS yang terdiri atas 7.670 HIV dan 1.867 AIDS.

Triwulan I. Januari-Maret 2021. Jumlah kasus terdeteksi 9.327 HIV-AIDS yang terdiri atas 7.650  HIV dan 1.677 AIDS.

Baca juga:  Ganja Medis Bagian 2

Angka-angka itu menunjukkan, di masa pandemi covid-19 sejak Maret 2020 sampai Maret 2021 terdeteksi 40.664 HIV-AIDS yang terdiri atas 32.478 HIV dan 8.186 AIDS.

Ada kemungkinan kasus ini merupakan kasus pasif yaitu yang terdeteksi pada warga yang berobat dan ibu hamil. Akibatnya, ada kasus yang tidak tedeteksi karena tidak ada gejala-gejala, ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas HIV-AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV.

Biarpun tidak ada tidak ada gejala-gejala, ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas HIV-AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV, mereka bisa menularkannya ke orang lain terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.

Selama ini untuk menjangkau warga yang berisiko tinggi tertular HIV, pegiat-pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dilibatkan. Langkah ini merupakan bagian yang integral dengan penanggulangan HIV-AIDS dengan skala nasional.

Namun apa lacur, di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia masuk ke kelompok negara-negara industri kaya yang disebut sebagai G20. Akibatnya, Indonesia tidak boleh lagi menerima hibah (grant) dari donor-donor di luar negeri.

Padahal, sebelumnya penjangkuan yang dilakukan oleh LSM bisa berjalan karena bantuan dari donor-donor asing. Maka, tidak mengherankan kalau belakangan ini penemuan kasus HIV-AIDS baru berkurang.

Tapi, jangan salah persepsi terkait dengan angka yang kecil karena yang perlu diingat adalah yang berkurang bukan jumlah warga yang terinfeksi HIV baru, tapi jumlah warga yang terdeteksi.

Baca juga:  Rancangan KUHP Ancam Pelayanan KB dan Informasi HIV-AIDS

Soalnya, dalam beberapa berita terkait dengan jumlah kasus yang turun dikesankan jumlah infeksi HIV baru berkurang. Padahal, yang berkurang adalah jumlah warga yang terdeteksi mengidap HIV-AIDS karena tidak ada penjangkauan yang aktif dari LSM. Kasus-kasus baru terdeteksi pada warga yang berobat dengan indikasi terkait HIV-AIDS dan ibu hamil saja.

Sama seperti pandemi covid-19, pada epidemi HIV-AIDS pun selalu dibumbui dengan embel-embel kearifan lokal. Bukan main. Entah apa dan bagaimana kearifan lokal mencegah penularan HIV-AIDS, misalnya, melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah?

Semua manusia di muka bumi ini melakukan hubungan seksual yang sama yaitu dengan alat kelamin sehingga pencegahan HIV melalui hubungan seksual adalah laki-laki memakai kondom.

Persoalan besar yang dihadapi di Indonesia terkait dengan kondom adalah kondom dibenturkan dengan moral sehingga kondom dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak dipakai untuk pencegahan penularan HIV.

Banyak jargon moral yang menyesatkan terkait dengan kondom, misalnya kondom disebut mendorong zina. Padahal, pezina justru tidak mau memakai kondom karena merasa rugi. Begitu juga dengan ‘laki-laki hidung belang’ selalu menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks dengan 1001 macam alasan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV-AIDS karena mereka tertular dari suaminya yang tidak mau pakai kondom ketika berhubungan seks dengan pekerja seks.

Baca juga:  RKUHP dan Alat Kontrasepsi

Ada baiknya jika pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak mengabaikan penanggulangan epidemi HIV-AIDS di masa pandemi covid-19.

Tags : AIDSHIVkondom
Syaiful W. Harahap

The author Syaiful W. Harahap

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.