close
Hari Tanpa Kutang
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

No Bra Day alias Hari Tanpa Kutang diperingati tiap 13 Oktober di berbagai belahan dunia. Oktober sendiri merupakan Bulan Peringatan Kewaspadaan terhadap Kanker Payudara (Breast Cancer Awareness Month). Jadi No Bra Day juga mendorong para perempuan memeriksakan payudaranya secara rutin dan memastikan mereka mengetahui tanda-tanda kanker payudara sejak dini. Sebab, memeriksa payudara secara mandiri tentu perlu melepas bra, bukan?

Hari Tanpa Kutang dinilai kontroversial karena cara pandang sebagian masyarakat yang terlalu sexist (memandang sesuatu selalu dari jenis kelamin bahkan berprasangka – biasanya perempuan jadi objeknya) mengenai payudara. Padahal bagi sebagian perempuan, lepas dari kungkungan bra merupakan kebebasan yang membuat nyaman.

Sejarah perempuan mengenakan bra erat kaitannya dengan status sosial perempuan, termasuk dalam evolusi fesyen dan perubahan pandangan soal tubuh perempuan. Penggunaan bra pertama dalam sejarah tercatat pada abad ke-14 SM, dari penggambaran bra yang digunakan para atlet perempuan dalam periode Romawi-Yunani untuk menyokong payudara mereka.

Setelah melalui berbagai penyesuaian dari segi fungsi dan estetika, penggunaan bra bertahan hingga detik ini. Ada push-up bra yang membuat payudara tampak menonjol, ada bra khusus menyusui, untuk berolahraga, mini set atau disebut sebagai training bra untuk remaja yang payudaranya baru tumbuh, dan masih banyak lagi.

Di Nusantara hingga kini, masih banyak perempuan yang tidak mengenakan bra. Ini merupakan bagian dari kebudayaan mereka dan tidak dianggap tabu atau bernuansa seksual. Tidak berkaitan dengan pornografi. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa melihat perempuan tanpa bra, payudara tidak ada bedanya dengan dada laki-laki atau manusia pada umumnya. Tapi, mungkin bagi orang Eropa yang datang saat masa penjajahan, wanita tak berkutang merupakan sesuatu yang mengganggu.

Baca juga:  Menghapus Laba Bisnis Vaksin

Sebuah film dokumenter, Moeder Dao (1995) menggambarkan latar itu pada 1930-an. Banyak perempuan tanpa kutang di Jawa. Kutang merupakan sesuatu yang dianggap mewah. Perempuan yang berbaju (dan berkutang) biasanya ditemukan di daerah perkotaan, industri, dan perkebunan. Akhirnya, bra pun jadi bagian penting bagi perempuan dalam berpakaian, dengan alasan kecantikan, kesopanan, maupun kesehatan.

Dalam tatanan masyarakat patriarki, tubuh perempuan dianggap sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kehormatan, sehingga tubuh perempuan diatur untuk selalu ditutupi. Banyak perempuan juga yang akhirnya terjebak dalam sistem ini. Mereka beranggapan mengenakan bra itu keharusan untuk menjaga payudaranya terlihat menarik dan mencegah pandangan negatif masyarakat perihal putingnya yang menyembul.

Menurut Luce Irrigaray, seorang feminis Prancis, sistem inilah yang membuat para perempuan buta akan tubuhnya. Mereka terkontaminasi mitos-mitos partiarki – yang selanjutnya dianggap sebagai marginalisasi terhadap tubuh perempuan.

Dalam kebebasan pemaknaan perempuan soal tubuhnya, pemakaian bra berkaitan dengan kebutuhan mereka masing-masing. Bagi saya pribadi, saya merasa nyaman tanpa kutang. Bagi saya, kutang menyesakkan dan menimbulkan biang keringat. Namun demikian, tentunya ada rasa tidak nyaman berkaitan dengan pandangan orang sekitar.

Bagi perempuan lain, yang ukuran payudaranya besar dan berat, mengenakan bra bisa jadi membantunya mencegah sakit punggung karena harus menopang beban di tubuh mereka. Bagi perempuan yang berolahraga, bra digunakan untuk mendukung penguatan otot dan perbaikan postur tubuh.  

Mitos yang paling sering muncul adalah, payudara akan mengendur jika sering tidak memakai beha alias breast holder atau kutang. Padahal kenyataanya, payudara tetap akan mengendur dengan atau tanpa bra. Itu adalah proses alamiah, faktor pertambahan usia dan hukum gravitasi tentu memengaruhi tubuh seumur hidupnya di bumi!

Baca juga:  Menguasai Narkotika di Indonesia

“Gerakan tanpa kutang” ini menjadi sebuah gerakan ikonik pada 1968, sebagai protes para feminis di Amerika Serikat untuk Kontes Miss America. Secara simbolik mereka membuang produk-produk perempuan yang dianggap sebagai instrumen penyiksaan bagi perempuan ke “freedom trash can”, termasuk di antaranya kutang.  

Para feminis itu membakar bra mereka. Akhirnya, hal ini jadi sebuah kebudayaan populer – yang sebetulnya bukan semata-mata mencari kebebasan dari seksisme, tapi juga sebagai usaha membebaskan perempuan yang kerap dijadikan objek seksual.

“Gerakan tanpa kutang” menjadi sangat populer di media sosial sejak sebuah kiriman alias posting-an di akun pengguna internet anonim pada 9 Juli 2011. Sejak 2014, akhirnya No Bra Day diresmikan sebagai peringatan setiap 13 Oktober bersamaan dengan Bulan Kewaspadaan terhadap Kanker Payudara.

Gerakan feminis selanjutnya, pada 1970-an yang disebut sebagai gerakan feminis gelombang kedua memiliki gagasan, perempuan keluar dari pakem berpakaian yang mengungkung mereka. Slogan mereka, personal is political yang bermakna menghargai kebebasan para perempuan untuk menilai tubuhnya sendiri sesuai kebutuhannya.

Saat ini banyak perempuan yang ingin mengeklaim soal hak atas tubuh mereka, termasuk melepas bra yang dianggap mengekspos puting secara eksplisit. Bagi masyarakat yang terlalu rapuh, puting perempuan dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Sebuah film independen berjenis drama komedi Free The Nipple (2014) yang disutradarai Lina Esco, cukup relevan buat ditonton berkaitan dengan Hari Tanpa Kutang ini.

Baca juga:  Ada Apa dengan Payudara? (2): Payudara Porno?

Film ini menggambarkan gerakan perempuan di New York, Amerika Serikat yang menantang masyarakat soal sensor dan undang-undang perihal ketelanjangan di ruang publik.

No Bra Day sendiri, walaupun dikaitkan dengan kewaspadaaan soal kanker payudara, masih juga menuai banyak kritik sampai hari ini. Banyak yang beranggapan aktivitas ini sepenuhnya bersifat seksual. No Bra Day sering juga dianggap sebagai gerakan segelintir perempuan pembangkang yang ingin menunjukkan payudaranya di media sosial agar diperhatikan.

Saat merambah ke dunia selebritas atau pesohor, gerakan ini semakin menarik perhatian, bahkan kritik. Salah satu kiritik yang kerap muncul adalah tidak ada kaitannya antara kanker payudara dengan memakai atau tidak memakai bra.

Studi menyatakan bahwa memakai bra menyebabkan kanker adalah mitos, walau memang ada baiknya untuk melepas bra saat tidur untuk memperlancar sirkulasi darah.

Pada akhirnya, semua kembali pada kebutuhan para perempuan sendiri. Keputusan untuk tidak mengenakan bra, bahkan bisa dianggap bersifat politis. Sebuah pernyataan sikap terhadap kecenderungan masyarakat patriarki. Yang fardu dianggap penting adalah kesetaraan gender bagi semua orang agar tidak terkungkung oleh pakem dan stigma masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual.

Berkaitan dengan Bulan Peringatan Kewaspadaan terhadap Kanker Payudara, kita kudu ketahui ciri-ciri kanker payudara, yakni dengan melepas beha dan melakukan pemeriksaan payudara sendiri, disingkat SADARI. Dengan maupun tanpa bra, setiap perempuan, setiap individu, berhak untuk menentukan posisinya dalam sebuah sistem, tanpa stigma.

Happy No Bra Day, everyone!

Tags : behabrafeminiskutangpatriarkipayudaraseksseksismeseksualitas
Terranova Waksman

The author Terranova Waksman

Antropolog cum seniman partikelir

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.