Pada konferensi pers 24 Juni 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan, bahwa kebijakan terkait Covid-19 harus selalu didasari pada data sains. Namun, hal itu nampaknya tidak selalu berlaku bagi pemerintah. Pemerintah Indonesia, berdasarkan rapat koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN, telah merumuskan kesimpulan sebagai jawaban Indonesia untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO. Kami percaya, kesimpulan itu tidak diambil berdasarkan bukti, namun, sekedar opini dan stigma terkait pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis.
Pernyataan Wakil Direktur Dirtipid Narkoba Mabes Polri, Kombes Krisno Siregar, yang mewakili koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN ini cukup memberikan tanda tanya. Dalam pernyataan yang kami dapatkan berdasarkan informasi dari media, tim koordinasi menyatakan, bahwa penolakan pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis, lantaran jenis ganja di Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika. Perbedaannya, dari hasil penelitian, bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif.
Kemudian, disebutkan pula, bahwa ganja medis yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk epilepsi, bukanlah ganja seperti yang ada di Indonesia. Ganja untuk medis tersebut telah melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.
Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan, di mana Rumah Cemara tergabung, menemukan sejumlah kejanggalan dan persoalan mendasar mengenai alur argumentasi pernyataan tersebut, di antaranya:
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI dan BNN, belum pernah meneliti tentang ganja medis di Indonesia. Upaya untuk penelitian sebenarnya sudah pernah diusahakan dengan menunjuk Prof. Dr. H. Musri Musman, M.Sc., Guru Besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, namun kandas karena penolakan dari BNN. Untuk itu, kami meragukan hasil penelitian yang disebut oleh tim koordinasi tersebut. Namun dengan senang hati, kami akan mempelajari apabila penelitian tersebut benar sudah ada, dan pernah dilakukan di Indonesia.
Selain itu, terdapat banyak sejarah pemanfaatan ganja medis di Indonesia, baik dari budaya maupun kasus-kasus yang bermunculan seperti Reyndhart Rossy dan Fidelis. Namun, peristiwa ini tidak pernah diteliti baik oleh Kemkes RI maupun BNN. Dampaknya fatal, istri Fidelis meninggal dunia karena tidak mendapatkan pengobatan yang sesuai.
Dalam keterangan hasil rapat koordinasi tersebut, diakui (setidaknya berdasarkan alur pikir dari koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN) bahwa kandungan ganja (CBD) dapat digunakan untuk berbagai penyakit atau dengan kata lain keberadaan ganja medis benar adanya. Sehingga hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah tim koordinasi ini benar-benar memahami terkait pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis?
Untuk itu, kami menyayangkan sikap dari pemerintah dalam hal ini koordinasi antar-lembaga yang diprakarsai BNN tersebut. Karena, untuk sekelas pemerintah, harusnya ada dasar yang cukup kuat dalam mengambil kebijakan. Sehingga kami berharap, bahwa tim koordinasi antar-lembaga tersebut bisa mengambil keputusan berdasarkan bukti ilmiah hasil penelitian.
Akan sangat fatal, apabila pemerintah mengambil keputusan hanya berdasarkan opini dan stigma tanpa benar-benar melihat bukti. Kondisi yang sering terjadi dalam pengambilan kebijakan narkotika di Indonesia. Nampaknya Presiden Joko Widodo perlu kembali menegaskan visi revolusi mental kepada jajaran pengambil kebijakan, terutama bagi pemerintah, perlu penegasan kembali terkait pernyataan Presiden bahwa kebijakan harus diambil berdasarkan data sains atau bukti ilmiah.