Bandung, Media & Data RC (6/6) – Penahanan Muchlis Adjie, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Kalianda, oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung (30/5) memperpanjang daftar aparat yang terlibat dalam bisnis narkoba. Muclish disangka menerima transfer uang dari narapidana yang mengendalikan peredaran narkoba di lembaga yang dipimpinnya.
Sebelumnya (3/5), delapan personel Polres Sukabumi diringkus Satuan Reserse Narkoba Polda Jawa Barat karena menggelapkan barang bukti sabu yang disita dalam penggerebekan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Mereka menyembunyikan sebagian sabu sitaan tersebut di berbagai tempat, antara lain toilet kantor dan rumah dinas. Dalihnya untuk keperluan dinas dan untuk diberikan ke informan.
Apapun alasannya, keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba tidak bisa dibenarkan. Mereka digaji dari uang rakyat untuk menegakkan hukum. Dalam urusan narkoba di Indonesia, hukumnya adalah UU Narkotika, di mana memiliki dan mengedarkan narkoba tertentu merupakan tindak pidana. Namun, pemidanaan telah membawa narkoba ke dalam skema pasar gelap. Bisnis gelap komoditas ini menjadi sangat menguntungkan karena bahan baku dan harga jual ditentukan semena-mena oleh para pemasoknya.
Aditia Taslim, Direktur Rumah Cemara menyatakan, peristiwa ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Rumah Cemara sehari-hari bergelut dalam program penanggulangan narkoba dan mengetahui banyak cerita soal keterlibatan aparat. Modus-modus yang sebenarnya sudah banyak pula diketahui publik.
Lebih lanjut Adit memaparkan, “Ini adalah satu dari banyak bukti bahwa pendekatan ‘war on drugs’ justru sangat merugikan negara.”
Dalam sebuah laporan yang dilansir Rumah Cemara dua tahun lalu, anggaran Badan Narkotika Nasional (BNN) telah meningkat dari Rp700-an miliar pada 2011 menjadi Rp1,4 trilun pada 2015. Kenaikan anggaran tersebut tidak efektif menurunkan jumlah konsumen narkoba yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) selama periode tersebut. Tiap tahun, rata-rata 20 ribuan konsumen menjadi terpidana kasus narkoba dengan kisaran 20.420 konsumen pada 2011 dan tertinggi 28.606 konsumen pada 2014.
Dari segi pemberantasan peredaran narkoba, kenaikan anggaran tersebut juga tidak efektif. Pada 2013, aparat hanya berhasil menyita rata-rata 4,85% ganja, heroin, sabu, dan pil ekstasi yang diperkirakan beredar di Indonesia pada tahun tersebut. Malah, angkanya turun jadi 1,46% pada 2014. Artinya, pendekatan pidana yang dikenal sebagai “perang terhadap narkoba” gagal mencegah lebih dari 95% narkoba yang diperkirakan beredar di tanah air tiap tahunnya.
Ironisnya, belakangan kerap diungkap peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam lapas. Dikutip dari sejumlah media, Budi Waseso, mantan Kepala BNN, bahkan mengatakan kalau modus tersebut sudah kronis. BNN mencatat, lebih dari 90% jaringan bisnis narkoba yang diungkap sepanjang 2017 melibatkan lapas.
Mengendalikan sebuah bisnis dari balik terali penjara tentu membutuhkan keterlibatan aparat. Setidaknya para pelaku menguasai alat untuk berkomunikasi dengan jaringannya di luar penjara. Sementara, alat komunikasi seperti ponsel dilarang dalam lapas maupun rumah tahanan negara. Pengecualian itu saja sudah pasti melibatkan “orang dalam”.
Lebih jauh, Ardhany Suryadarma, Manajer Program Rumah Cemara, mengemukakan, “Selama narkoba masih menjadi komoditas pasar gelap, maka akan selalu ada oknum aparat yang mengambil keuntungan pribadi dari bisnis ini.”
Laporan US General Accounting Office pada 1998 mengenai korupsi anggota kepolisian yang berkaitan dengan narkoba di Amerika menyatakan, setidaknya terdapat enam tindak kejahatan polisi dalam pemidanaan narkoba. Keenamnya, 1) melakukan penggeledahan dan penangkapan secara inkonstitusional, 2) mencuri uang dan/ atau narkoba dari pengedar, 3) menjual narkoba hasil sitaan, 4) melindungi bisnis gelap narkoba, 5) memberikan kesaksian palsu, dan 6) membuat berita acara pemeriksaan yang tidak benar.
Bersama Pusat Penelitian Kesehatan UI, BNN melaporkan peningkatan biaya sosial-ekonomi akibat pasar gelap narkoba dari Rp32 triliunan pada 2008, menjadi Rp48 triliunan pada 2011. Komponen kedua terbesar setelah Biaya Konsumsi Narkoba adalah Biaya Urusan dengan Aparat Hukum yang meningkat 12 kali lipat dari Rp800-an miliar menjadi Rp11 triliun lebih. Peningkatan ini terjadi karena saat tertangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan, konsumen dan keluarganya seringkali menempuh “jalan damai” yang dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum.
Karena itu, menurut Ardhany, sudah selayaknya negara mengambil alih pengelolaan narkoba dari pasar gelap. “Saat dikelola negara, oknum dan mafia narkoba tidak lagi bisa mengambil keuntungan dari komoditas ini,” tegasnya.
Lebih lanjut, Aditia Taslim mensyaratkan kepemimpinan yang berani dan tegas agar negara bisa menguasai narkoba tidak hanya dalam hal ekonomi, tapi juga kesehatan masyarakat. “Pertanyaanya, siapa pemimpin yang siap membongkar rantai kegagalan ‘perang terhadap narkoba’ ini?” pungkasnya.