Dalam ekonomi (feminis), feminisasi pertanian mengacu pada peningkatan terukur akan partisipasi perempuan di sektor pertanian khususnya di negara berkembang (Deere, 2009).
Fenomena tersebut dimulai pada 1960-an bersamaan dengan naiknya nilai saham perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa macam NYSE, SEHK, atau Euronext saat itu. Liberalisasi yang menggeliat pada 1990-an makin mempertegas feminisasi tani atas dampak-dampak buruknya terhadap perempuan di desa.
Bank Dunia, FAO, dan IFAD (lembaga pendanaan pengembangan tani internasional) mencatat, lebih dari 80 persen petani kecil di perdesaan secara global adalah perempuan pada 2009. Salah satu faktornya, laki-laki memilih menjadi pekerja migran di luar sektor pertanian. Selaras dengan laporan lembaga-lembaga tadi, PBB melaporkan, 45-80 persen perempuan sedunia di sektor tenaga kerja bekerja di bidang pertanian.
Di Indonesia, kondisinya pun “sebelas-duabelas” – hingga sekarang. Maka, subjek ini masih sangat relevan untuk dibahas. Untuk itu Kanal Indonesia Tanpa Stigma kali ini mengulas subjek tersebut secara lebih mendalam. Tri Irwanda dan Patri Handoyo (Indonesia Tanpa Stigma) “mengeroyok” Supinah Sang Petualang, petani cum pegiat kesetaraan gender.
Yuk simak obrolannya!