Selain “stigma”, ada satu istilah lagi yang sering menyertai perbincangan orang saat membahas HIV-AIDS. Kata itu adalah “diskriminasi”. Ya, diskriminasi atau pembedaan perlakuan acapkali tidak terhindarkan dalam pembahasan soal epidemi ini.
“Berita penolakan terhadap 14 anak dengan HIV di Surakarta untuk bersekolah awal tahun ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan. Hampir semuanya sepakat bahwa peristiwa ini adalah bentuk diskriminasi kepada pengidap HIV-AIDS. Rumah Cemara menurunkan laporan kasus itu melalui tulisan yang dibuat oleh Patri Handoyo dan Tri Irwanda M. Bahan tulisan diperoleh dari berbagai sumber, termasuk liputan langsung dari Surakarta.
Namanya juga diskriminasi, maka pembedaan perlakuan ini sudah diwujudkan dalam bentuk tindakan dan perilaku. Bukan sebatas sikap dan pandangan yang ada dalam pikiran.
Kasus penolakan terhadap 14 anak dengan HIV di sebuah sekolah di Surakarta, Jawa Tengah yang terjadi awal tahun ini menjadi contoh jelas bahwa praktik itu terjadi. Peristiwa ini sontak membuat gempar sejumlah kalangan, terutama mereka yang sering memerhatikan masalah HIV dan AIDS di Indonesia.
Kasus bermula dari sejumlah wali murid di SDN Purwotomo, Surakarta yang menolak kehadiran 14 murid yang diduga mengidap HIV-AIDS. Mereka khawatir anak mereka akan tertular HIV jika berada satu sekolah dengan ke-14 anak itu.
Ke-14 anak itu adalah siswa kelas I hingga IV SD. Sebelumnya, mereka bersekolah di SDN Bumi 2, Surakarta. Namun kebijakan Pemkot Surakarta membuat para siswa SDN Bumi 2 harus pindah ke SDN Purwotomo, termasuk ke-14 anak itu. Kebijakan yang dikenal dengan sebutan ‘regrouping’ ini dilakukan dengan menggabungkan satu atau beberapa sekolah sehubungan dengan pemenuhan kuota jumlah siswa. Regrouping dilakukan saat berlangsungnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada tahun ajaran baru.
Setelah regrouping itulah sejumlah wali murid di SDN Purwotomo menolak kehadiran sebagian siswa dari SDN Bumi 2. Yang ditolak adalah ke-14 anak yang menjadi penghuni panti asuhan Yayasan Lentera. Sebagian wali murid kemungkinan mengetahui bahwa Yayasan Lentera adalah panti asuhan yang menjadi shelter atau rumah singgah bagi anak dengan HIV-AIDS. Nama Yayasan Lentera memang cukup dikenal di sana.
Puger Mulyono (46), pendiri Yayasan Lentera saat ditemui RC, Sabtu (16/2), menjelaskan anak-anaknya sebetulnya sudah sempat masuk sekolah di SD Purwotomo selama dua minggu.
“Tapi ada kasak-kusuk dari wali murid. Ini anak Lentera, berarti HIV semua. Ditambah lagi, memang ada beberapa anak yang terlihat punya luka-luka. Mereka takut,” ujarnya.
Menurut Puger, pihaknya selama ini memang sudah belajar terbuka di masyarakat. “Penerimaan masyarakat di Surakarta pada orang dengan HIV-AIDS sudah bagus, kok. Bahkan, di tiap kelurahan sudah terbentuk Warga Peduli AIDS segala,” lanjutnya.
Namun peristiwa penolakan di SDN Purwotomo rupanya menunjukkan fakta belum semua masyarakat bisa menerima orang dengan HIV-AIDS, meskipun mereka anak-anak. Penolakan dilakukan dengan beragam cara, di antaranya konon dengan berunjuk rasa.
Maka bergulirlah peristiwa itu sehingga menarik perhatian sejumlah pegiat HIV-AIDS. Tidak kurang, Komisi Penanggulangan AIDS Kota Surakarta dan puskesmas setempat mendatangi sekolah tersebut. Sosialisasi tentang HIV-AIDS dilakukan. Hasilnya nihil. Orang tua dan wali murid tetap ketakutan anaknya akan tertular HIV akibat satu sekolah dengan ke-14 anak itu.
Puncaknya pada rapat wali murid SDN Purwotomo yang dihadiri komite sekolah, kepala sekolah, guru, dan orang tua/ wali murid, dikeluarkan sejumlah pernyataan, di antaranya keberatan dengan keberadaan anak-anak dari Yayasan Lentera Surakarta yang terindikasi HIV-AIDS.
Butir kesepakatan dilanjutkan dengan pernyataan akan memindahkan seluruh anak-anak ke sekolah lain apabila pernyataan tadi tidak dipenuhi. Pernyataan ini tertuang dalam sebuah berita acara tertanggal 24 Januari 2019. Ke-14 anak malang ini pun terpaksa harus ‘libur’ dulu, sambil menanti kepastian masa depan pendidikannya.
Reaksi atas peristiwa ini tidak hanya muncul dari warga Solo dan sekitarnya. Sebuah petisi dari seorang pejuang HIV bernama Acep Gates muncul secara online melalui Change.org. Petisi berjudul “Hentikan Diskriminasi Anak dengan HIV” itu dimulai sekitar dua minggu lalu ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Prof. Dr. Muhadjir Effendy. Hingga tulisan ini dibuat, petisi itu telah mendapat 1.579 dukungan.
Petisi serupa muncul dari Jaringan Indonesia Positif (JIP), sebuah organisasi orang dengan HIV-AIDS yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. JIP memulai petisi berjudul “2030 Nol Diskriminasi, Anak dengan HIV Tidak Terampas Hak Pendidikannya” sejak 28 Februari 2019 lalu. Hingga artikel ini ditayangkan, petisi itu telah ditandatangani oleh 688 orang. Petisi itu ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Lebih jauh, Puger Mulyono mengatakan, saat itu dirinya hanya bisa menunggu bagaimana solusi dari pemerintah. Bahkan kalaupun keputusannya adalah anak-anaknya tidak boleh sekolah, dirinya akan terima.
“Nggak apa-apa, gentleman saja! Biar anak-anak di rumah saja, seperti dulu lagi beberapa tahun lalu. Yang penting jelas keputusannya,” ucapnya tegas.
Pria yang juga kadang bekerja sebagai juru parkir ini menambahkan, berbagai upaya telah dia tempuh demi menyekolahkan anak-anak itu. Ia juga mengaku tidak terlalu kaget dengan peristiwa itu.
“Ini adalah kejadian ke-21 kali yang menimpa anak asuh kami. Sejak tahun 2013 penolakan demi penolakan telah dialami sebagian anak di sekolahnya,” ucapnya datar. “Tapi inilah yang terbanyak pada satu peristiwa, hingga 14 anak sekaligus. Kasihan mereka.”
Puger mengaku, dirinya tidak pernah marah saat anak-anaknya mendapat diskriminasi. Ia juga mengaku tidak pernah meminta belas kasihan.
“Kami diusir-usir dulu juga nggak apa-apa kok. Nggak marah. Kami mengalah. Anak-anak saya ini juga sudah belajar menerima kok diusir-usir begitu,” ujarnya.
Namun demikian, bagi Puger, kasus yang terjadi saat ini membuat dia jadi bertanya-tanya.
“Apa harusnya mulai sekarang kami nggak terbuka lagi ke masyarakat? Kami harus nggak jujur lagi tentang status anak-anak ini? Saya nggak cuma mikirin yang 14 anak itu. Masih banyak lagi anak-anak yang kami urus,” ucapnya menghela nafas.
Kegelisahan di benak Puger memang beralasan. Saat ini Yayasan Lentera mengasuh 32 anak di sekretariat yang kerap disebut shelter atau rumah singgah anak dengan HIV-AIDS (ADHA) itu. Beberapa di antaranya masih balita. Bagaimana nasib mereka ke depannya?
Saat tulisan ini ditayangkan, perkembangan baru terjadi. Pemerintah Kota Surakarta akhirnya memberikan solusi. Ke-14 anak itu sudah mendapatkan sekolah barunya minggu lalu. Mereka disebar di beberapa SD.
Dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (3/3), Puger menuturkan anak-anaknya memang sudah mulai bersekolah kembali.
“Namun ada tiga anak yang masih belum bisa sekolah karena penyakit kulitnya, kayak korengan gitu, perlu disembuhkan dulu,” ucapnya di ujung telepon.
Peristiwa yang Kerap Berulang
Kasus yang menimpa 14 anak dengan HIV di Surakarta bukanlah yang pertama di Indonesia. Masih belum pupus ingatan kita pada kejadian serupa September 2018 lalu, di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Tiga anak usia SD dikeluarkan dari sekolahnya karena mengidap HIV.
Peristiwa itu menyita perhatian banyak kalangan. Tidak kurang, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Yohana Susana Yembise angkat bicara. Menurutnya, seperti dilansir sejumlah media, anak-anak itu punya hak pendidikan yang harus dipenuhi. Apapun yang terjadi, pendidikan anak harus dipenuhi, ujarnya.
Ditarik ke belakang, sederet panjang kasus serupa sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, meski tidak seheboh kasus di Surakarta atau Samosir. Bahkan beberapa saat sebelum kasus di Samosir terungkap, Rumah Cemara mencatat dua kasus lain pada tahun yang sama.
Pada September 2018 seorang anak kelas IV SD di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, dijauhi teman-teman hingga ditolak bersekolah. Di tahun itu juga sebelumnya nasib malang menimpa seorang gadis kecil di Kab. Rembang. Dua kali penolakan ia alami saat mendaftar untuk masuk TK. Beruntung, gadis kecil ini akhirnya mendapat tempat di sebuah TK yang jaraknya cukup jauh dari rumah, sekitar 10 km.
Nasib malang tidak hanya dialami anak yang HIV positif. Di Tabanan, Bali, seorang anak tidak diperbolehkan masuk sekolah di jenjang PAUD, hanya karena kedua orang tuanya terindikasi HIV pada Desember 2015. Padahal, sang anak sudah dites HIV dan hasilnya negatif. Orang tua murid lain tetap ketakutan anak mereka suatu waktu akan tertular HIV.
Beberapa bulan sebelumnya, peristiwa mirip juga terjadi di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Seorang bocah laki-laki usia 5 tahun dipaksa meninggalkan bangku TK di desanya setelah ayahnya meninggal dunia. Kabar yang beredar, ayahnya meninggal dunia akibat AIDS.
Deretan kasus penolakan lingkungan pada pengidap HIV masih berlanjut. Pada Juli 2013, seorang gadis belia usia 5 tahun di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah bernasib serupa. Ia tidak bisa masuk di sebuah TK karena desakan orang tua murid yang lain. Mereka ketakutan virus dalam tubuh gadis belia itu bisa menular pada anak mereka.
Setahun sebelumnya, kasus lain terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Seorang bocah laki-laki harus rela menunda mimpinya bersekolah di TK desanya. Penyebabnya sebuah pesan singkat (SMS) yang mengatasnamakan orang tua siswa di TK tersebut. Isinya bernada ancaman, jika bocah itu diterima sekolah, orang tua yang lain tidak akan menyekolahkan anaknya di sana.
Kasus ini cukup menyita perhatian masyarakat, termasuk Raja Keraton Yogyakarta. Tidak berapa lama, Sultan Hamengkubuwono X memberi perintah kepada Bupati Gunungkidul untuk bertindak mengatasi diksriminasi yang dialami bocah pengidap HIV itu.
Masih di tahun yang sama, sekelompok orang tua siswa sebuah SMP di Kabupaten Karangasem, Bali, meminta seorang anak yang diketahui mengidap HIV agar pindah sekolah. Beruntung, remaja kelas II SMP ini dapat melanjutkan pendidikannya, setelah para pegiat HIV-AIDS membantu pihak sekolah memberikan penjelasan tentang HIV-AIDS kepada kelompok orang tua siswa itu.
Penjelasan, dalam istilah yang lebih populer, sosialisasi tampaknya memegang peran penting dalam melawan diskriminasi terhadap orang dengan HIV-AIDS. Informasi menjadi kunci. Deretan peristiwa di atas menunjukkan kurangnya informasi tentang HIV-AIDS di berbagai daerah. Informasi yang terbatas membuat sebagian masyarakat tidak memahami fakta mendasar tentang HIV-AIDS. Padahal, di sisi lain perkembangan teknologi komunikasi terkini begitu pesat. Masyarakat sangat mudah mendapatkan informasi apa pun lewat media apa pun.
Lalu, apakah minimnya pemahaman masyarakat mengenai HIV-AIDS hanya terjadi di daerah perdesaan?
Sebuah peristiwa cukup menyita perhatian terjadi pada 2011, tepat di pusat pemerintahan negeri ini. SD Don Bosco 1 Kelapa Gading, Jakarta, menjadi sorotan karena menolak calon siswanya. Gara-garanya, orang tua calon siswa itu diketahui mengidap HIV. Ironisnya, penolakan itu disampaikan pihak sekolah melalui SMS tepat saat dunia internasional memperingati Hari AIDS Sedunia, 1 Desember.
Menulis untuk blog Indonesia milik Tempo (20/11/2018), Natasya Sitorus, manajer advokasi Lentera Anak Pelangi menuturkan ada kurang lebih tujuh kasus diskriminasi terhadap anak dengan HIV yang didampinginya di Jakarta, sepanjang 2009-2018.
Menurutnya, semua terjadi karena ketidaktahuan orang tua murid serta lingkungan sekolah tentang informasi HIV yang benar. Pemahaman bahwa HIV adalah penyakit yang mematikan dan sangat mudah menular, ditambah dengan isu moral serta akibat dari perilaku menyimpang masih kuat melekat.
Informasi adalah Kunci
Berbagai kasus penolakan pada anak dengan HIV-AIDS saat akan bersekolah bagaimana pun menjadi potret buram dunia pendidikan di Indonesia. Lebih jauh lagi, fenomena ini menunjukkan pelanggaran atas hak-hak anak masih terjadi di depan mata hingga hari ini.
Hak atas pendidikan bagi setiap warga negara telah dijamin secara jelas dalam konstitusi di negeri ini. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat (1) berbunyi setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Demikian juga dengan Pasal 31 UUD 1945 yang juga menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, yakni ayat (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan ayat (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Bahkan hak anak untuk mendapat pendidikan sepenuhnya telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Terdapat empat pasal, yaitu pasal 9, 59, 67, dan pasal 76 yang secara khusus memberikan jaminan perlindungan bagi anak termasuk pemenuhan haknya dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Masih dalam Undang-Undang yang sama, pasal 59 ayat (1) dan (2) bahkan menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, termasuk kepada anak dengan HIV-AIDS.
Pada sisi lain yang lain, berbagai program sosialisasi mengenai HIV-AIDS juga gencar dilakukan. Hampir setiap provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia memiliki lembaga bernama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Demikian juga dengan pembentukan Warga Peduli AIDS alias WPA yang menjamur hingga ke tingkat kelurahan. Tidak terhitung jumlahnya kelompok masyarakat yang membentuk organisasi atau lembaga yang bekerja dalam isu HIV-AIDS.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan sebagai leading sector, dan Dinas Kesehatan di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota juga getol melakuan sosialisasi mengenai HIV-AIDS. Salah satunya tentu saja kampanye untuk menghapus stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV-AIDS.
Berbagai upaya itu dilakukan untuk merespon epidemi yang telah membuat banyak orang khawatir ini. Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan RI mencatat, sejak 1987 hingga September 2018 lalu, secara kumulatif jumlah infeksi HIV mencapai 314.143 kasus sedangkan kasus AIDS sebanyak 111.973. Sebanyak 89 % atau 458 kabupaten/ kota di Indonesia telah melaporkan adanya temuan kasus HIV dan AIDS.
Laporan itu juga menunjukkan sejak 2010 hingga 2018 sebanyak 19.310 kasus infeksi HIV tercatat pada balita hingga kelompok usia 19 tahun. Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia, anak-anak dikategorikan, mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Jadi, ada belasan ribu anak dipastikan telah mengidap HIV di Indonesia. Secara statistik, jumlah ini tidak bisa dibilang kecil.
Berbagai respon telah dilakukan, termasuk sosialisasi mengenai HIV-AIDS. Lalu, apa yang kurang? Mengapa diskriminasi masih terjadi hari ini?
“Penyuluhan memang telah banyak dilakukan, tapi informasinya seringkali tidak objektif dan tidak akurat. Misalnya, HIV-AIDS masih sering dikaitkan dengan persoalan moral,” ujar Syaiful W. Harahap, pemerhati isu HIV-AIDS saat diwawancarai RC melalui sambungan telepon, Kamis (28/2).
Syaiful mengatakan, seharusnya informasi HIV-AIDS disampaikan sebagai fakta medis. Sayangnya, menurut Syaiful, giliran disampaikan sebagai fakta medis, para penyuluh terlalu banyak menggunakan istilah medis yang terlalu teknis.
“Masyarakat sering bingung memahaminya. Lebih baik dibuat sederhana dan membumi sehingga mudah dicerna,” ujarnya menjelaskan.
Ia juga mengkritik sejumlah jargon dalam kampanye HIV-AIDS yang membingungkan, seperti pada kalimat “jauhi penyakitnya, bukan orangnya”. Meskipun maksudnya baik agar tidak ada stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV-AIDS, namun menurutnya kalimat itu membingungkan.
“Bagaimana mungkin bisa menjauhi penyakitnya saja? Karena kan penyakit itu ada pada orangnya,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Lebih baik perkuat informasi dasar tentang HIV-AIDS yang objektif dan faktual. Jangan ada lagi mitos.“
Lebih jauh, wartawan senior ini juga menilai stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV-AIDS bukan perkara mudah untuk dihilangkan. Ini akan terus ada.
“Jangankan di Indonesia, di negara maju sekalipun stigma dan diskriminasi itu masih ada. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mengajak masyarakat untuk melihat kenyataan tentang HIV-AIDS ini,” ujar Syaiful menutup pembicaraan.
Sudah tiga dekade lebih kasus HIV-AIDS tercatat di Indonesia. Setiap tahun juga temuan kasus baru dilaporkan dalam statistik laporan Kementerian Kesehatan RI. Setiap angka dalam statistik itu adalah manusia. Mereka memiliki tubuh dan jiwa. Sudah sepatutnya setiap yang memiliki jiwa diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Tanpa dibeda-bedakan hanya karena dalam tubuhnya ada sebuah virus bernama HIV.*******
(Bandung, 1 Maret 2019)