Kepala Bidang Humas BNN, Ricky Yanuarfi menyampaikan bahwa sudah tidak ada lagi celah bagi pihak manapun untuk melegalkan ganja medis. Hal itu diutarakannya dua hari lalu. Menurut komisaris besar alias kolonel polisi itu, selama ini belum ada bukti bahwa delta-9-tetrahydrocannabinol (THC, senyawa ganja yang membuat mabuk tapi tetap berkhasiat medis) bisa sembuhkan kanker secara permanen.
Menurut Ricky, Mahkamah Konstitusi RI (MK) telah menutup wacana legalisasi ganja bahkan untuk keperluan medis saat menolak permohonan uji materi pasal pelarangan pemanfaatan narkotika golongan satu untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika Juli lalu.
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika, di mana Rumah Cemara tergabung di dalamnya, perlu membantah kalau pendapat Kabid Humas BNN itu keliru dan menyesatkan!
Putusan MK No. 106/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada sidang 20 Juli 2022 memang menolak uji materi yang kami ajukan. Meski demikian, MK juga membacakan sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan kembali oleh Pemerintah RI di sidang tersebut. Sebagai badan pemerintah, BNN juga harus memperhatikan dan menaati pertimbangan MK tersebut.
Dalam sidang putusan itu, MK mengamini narkotika golongan satu pun punya khasiat obat sehingga berbagai negara telah memanfaatkannya. Hal ini bisa dibaca di bagian pertimbangan yang menjelaskan bahwa, narkotika golongan ini bermanfaat untuk keperluan pelayanan kesehatan. Maka bila Indonesia ingin mengambil manfaat tersebut, maka diperlukan kesiapan struktur hukum termasuk sarana dan prasaran penunjangnya.
Artinya, MK terbuka terhadap perkembangan iptek sehingga niscaya ganja dan narkotika golongan satu lainnya bisa dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu, MK menganggap sistem hukum dan kesehatan di dalam negerilah yang perlu diperkuat. Dalam hal ini, tidak ada sama sekali pernyataan MK yang menutup celah bagi kemungkinan pemanfaatan zat-zat tersebut untuk kesehatan.
Selanjutnya MK menyatakan, dalam menentukan penggolongan narkotika oleh Menteri Kesehatan RI dibutuhkan metode ilmiah yang ketat. Maka tahapan pentingnya adalah melakukan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai konteks Indonesia, tidak sekadar mengikuti kajian yang telah dilakukan negara lain. Inilah PR pemerintah yang disampaikan MK di sidang putusan tersebut.
Di halaman 178 putusan sidang itu, MK secara tegas menyatakan sesungguhnya “fenomena” perihal kebutuhan terhadap jenis narkotika golongan satu untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditrerapkan. MK pun menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusannya dengan meneliti secara saksama jenis-jenis narkotika yang diperlukan untuk pengobatan. Hasil kajian itulah yang digunakan dalam menentukan kebijakan.
Sekali lagi, MK mengamanatkan adanya penelitian, bukan menutup peluang pemanfaatan narkotika golongan satu untuk pengobatan. Pernyataan BNN tadi tidak tepat dan mengingkari amanat MK yang mengikat bagi pemerintah termasuk di dalamnya BNN.
Harusnya BNN dapat menjadi institusi yang menjadi contoh dalam penegakan amanat konstitusi, yaitu dengan mendorong pemerintah segera melakukan penelitian tersebut. Apalagi saat ini Pemerintah dan DPR RI sedang melakukan proses revisi UU Narkotika yang membuka peluang perubahan kebijakan. Maka penelitian tersebut harusnya dilakukan segera. Tapi alih-alih mendorong dilakukannya penelitian, BNN malah menyesatkan amanat ini.
Sangat disayangkan di saat sektor kesehatan sedang berupaya melakukan transformasi kesehatan yang didukung pertimbangan MK untuk memperkaya khazanah pengobatan di tanah air melalui penelitian narkotika, ada badan negara yang mengabaikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pengobatan tersebut.