close
FeaturedKebijakan

PBB Tetapkan Khasiat Medisnya, Pemerintah Harus Pastikan agar Ganja jadi Obat Rakyat Bukan Komoditas Bisnis Penjahat

scientist-presenting-cbd-thc-cannabis-hemp-drug-molecule-doctors-team-conference-meeting-medical-marijuana-formula-presentation-concept-horizontal_48369-24739

Rekomendasi Komite Ahli Ketergantungan Obat (ECDD) WHO untuk membenahi penggolongan ganja dalam Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961 (Konvensi 1961) akhirnya diputuskan lewat pemungutan suara Kamis kemarin di Wina, Austria. Sidang diikuti 53 negara anggota Commission on Narcotic Drugs (CND), organ yang merumuskan kebijakan narkoba dalam sistem PBB.

Awalnya, Dirjen WHO yang juga mengepalai ECDD, Tedros A. Ghebreyesus menyampaikan rekomendasi pembenahan penggolongan ganja kepada Sekjen PBB, Januari 2019 lalu. Surat yang ia sampaikan waktu itu berisi kajian mengenai peran terapeutik obat-obatan berbahan baku ganja sambil terus mencegah dampak merugikan yang mungkin akan dialami masyarakat atas konsumsinya.

Rapat untuk memutuskan rekomendasi ECDD WHO ini memang telah dijadwalkan pada Sidang Tahunan CND ke-63, digelar awal Maret lalu. Pengambilan keputusan dalam pembenahan penggolongan ganja dalam sistem PBB terutama, menghapus ganja dan getahnya dari Narkotika Golongan IV dalam Konvensi 1961.

Dasar penghapusan tersebut ialah, temuan kajian bahwa cannabinoids alias zat-zat yang terkandung dalam tanaman ganja memiliki properti pengobatan nyeri, peradangan, ayan atau seizures, hingga multiple sclerosis. Kontras dengan berbagai properti obat tadi, kajian ECDD tidak menemukan indikasi kalau pemanfaatan ganja dan getahnya merugikan kesehatan seperti pada zat lain yang terdaftar pada Golongan IV Konvensi 1961.

Zat-zat yang terdaftar dalam dua golongan di Konvensi 1961 dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan (ill-effect), dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan. Contoh zat yang terdaftar seperti itu adalah fentanil dan heroin. Keduanya bekerja pada reseptor opioid di dalam tubuh sehingga dinamai opioid. Heroin berbahan baku tanaman opium (Papaver somniferum), sementara fentanil disintetiskan di laboratorium.

Baca juga:  Belajar dari Legalisasi Ganja di Nepal

Risiko kematian pemanfaatan keduanya signifikan. Pemanfaatannya sebagai pereda nyeri juga obat anestesi berdasarkan kebijakan yang berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia, fentanil merupakan Narkotika Golongan II, didefinisikan UU sebagai zat yang berkhasiat obat, digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dengan potensi ketergantungan yang tinggi.   

Untuk pengobatan nyeri kronis terutama akibat kanker, koyok fentanil masuk dalam Daftar Obat-Obatan Esensial WHO 2019. Bagaimanapun, fentanil adalah opioid yang paling banyak tercatat pada kematian akibat overdosis, melebihi heroin pada 2018. Sepanjang 2013-2016, kematian akibat overdosis yang melibatkan fentanil meningkat 113 persen per tahun.

Rumah Cemara percaya, penggolongan ganja pascakeputusan rapat kemarin akan membuat lebih banyak negara yang memanfaatkan tanaman ini untuk keperluan pengobatan. Lebih jauh, akan ada lebih banyak negara yang mengeksplorasi ganja secara multidimensi, di antaranya sosial-ekonomi, kebudayaan, atau pengembangan teknologi.  

Pada akhir 2017, WHO menerbitkan laporan pertemuan tahunan ECDD mengenai minyak ganja (cannabidiol). Selain mengidentifikasi rumus kimia, farmakodinamika atau farmakokinetika, potensi-potensi medis, hingga kebijakan yang sangat teknis, terdapat satu halaman berisi daftar penyakit yang potensial diatasi dengan minyak ganja, yakni penyakit Alzheimer’s, Parkinson’s, multiple sclerosis, Huntington’s, cedera hypoxia-ischemia, nyeri, psikosis, kecemasan, depresi, kanker, mual-mual, penyakit-penyakit pembengkakan, rheumatoid arthritis, infeksi, pembengkakan usus dan penyakit Crohn’s, penyakit kardiovaskular, komplikasi diabetes.

Rumah Cemara menyambut baik hasil pembenahan penggolongan ganja dalam Konvensi 1961 yang ditandatangani perwakilan 97 negara lebih dari setengah abad lalu itu. Penghapusan ganja dari Golongan IV mendapat 27 suara dari 53 negara anggota CND. Ini sebuah kemajuan yang menunjukkan bahwa ganja memiliki khasiat obat bukan sekadar zat psikoaktif yang rawan disalahgunakan dan berbahaya di bawah Konvensi 1961.     

Baca juga:  Jurnalisme Warga: Membuat yang Penting Jadi Menarik

Golongan IV adalah kategori obat, seperti heroin, yang dianggap memiliki “sifat yang sangat berbahaya” dibandingkan dengan obat lain (etanol dibiarkan tidak diatur). Menurut Pasal 2, “Obat-obatan dalam Golongan IV juga harus dimasukkan dalam Golongan I dan tunduk pada semua tindakan pengendalian yang berlaku untuk obat-obatan dalam Golongan terakhir” serta “tindakan pengendalian khusus” apa pun yang dianggap perlu.

Pengakuan atas hasil keputusan rapat ini memperkuat keharusan internasional untuk memastikan akses ke obat-obatan berbasis ganja. Keputusan di bawah Konvensi 1961 ini jangan sampai menghalangi akses untuk pemanfaatan serta penelitian dan pengembangan zat-zat turunan ganja untuk keperluan medis. Dengan terbukanya akses terhadap ganja untuk keperluan medis, pemerintah harus punya regulasi yang ketat agar tanaman ini tidak dikuasai sindikat perdagangan gelap.

Secara internasional tanaman ini sudah dinyatakan berkhasiat obat, tapi secara nasional masih menjadi zat terlarang sehingga yang menguasai budi daya, pengiriman, hingga pemanfaatan masih sindikat penjahat yang itu-itu saja. Dengan perubahan ini, Konvensi 1961 yang selalu dijadikan rujukan untuk pelarangan ganja oleh aparat di Indonesia harus bisa pula jadi rujukan supaya tanaman ganja bisa efektif sebagai obat buat rakyat.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.