Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan meminta agar bukti ilmiah terhadap klaim-klaim penelitian soal ganja medis dibuka kepada publik. Koalisi juga mempertanyakan sikap pemerintah yang menolak rekomendasi WHO terkait penggunaan ganja untuk kesehatan.
Koalisi yang diwakili oleh LBH Masyarakat ini, secara resmi telah mengajukan permohonan informasi publik kepada BNN, Polri, dan Kemenkes RI, Selasa (7 Juli 2020).
Seperti diketahui, Juni 2020 lalu pemerintah melalui BNN, Polri, dan Kemenkes RI mengadakan rapat menyiapkan jawaban resmi untuk Komite Ahli Ketergantungan Obat WHO. Dalam kesimpulannya, sikap Indonesia berada pada posisi menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan.
Koalisi menilai bahwa klaim-klaim penelitian yang dijadikan dasar pengambilan kesimpulan tersebut tidak jelas dan cenderung mengada-ada. Hasil rapat pemerintah itu menyebutkan setidaknya tiga poin utama yang menjadi kesimpulan.
Pertama, jenis ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan tanaman ganja yang tumbuh di Eropa atau Amerika. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18%) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif.
Kedua, ganja medis untuk pengobatan adalah ganja yang melalui proses rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah, sedangkan ganja di Indonesia tidak melalui proses rekayasa genetik karena tumbuh dari alam dengan kandungan THC tinggi dan CBD rendah. Di samping itu, ganja di Indonesia sangat mudah tumbuh di hutan dan pegunungan, sehingga bukan jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan.
Ketiga, penggunaan ganja di Indonesia lebih banyak untuk bersenang-senang bukan pengobatan. Apabila ganja dilegalkan, akan lebih banyak dampak buruknya, seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi ganja.
Dalam Permohonan Informasi Publik ini, Koalisi yang beranggotakan sejumlah organisasi seperti LBH Masyarakat, ICJR, Rumah Cemra, LGN, IJRS, EJA, dan Yakeba ini meminta agar bukti penelitian yang melandasi ketiga klaim di atas dapat dibuka kepada publik. Koalisi juga meyakini selama ini belum ada satu pun penelitian tentang pengobatan menggunakan ganja yang pernah dilakukan di Indonesia.
Untuk mengurai simpang siur klaim penelitian tersebut dan membuktikan sikap pemerintah memang berdasarkan bukti ilmiah, maka koalisi berharap pemerintah segera merespon permohonan informasi tersebut dan membuka hasil penelitian yang dimaksud kepada publik.
Perlu diketahui, Permohonan Informasi Publik adalah hak publik untuk mengetahui segala keputusan/ kebijakan publik diambil berdasarkan bukti ilmiah yang valid dan kredibel. Hak ini dijamin dalam UU RI No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Pasal 28F pada UUD 1945. Dalam suratnya, koalisi berharap Permohonan Informasi Publik ini dapat ditanggapi dalam waktu 10 hari kerja sesuai dengan pasal 22 ayat (7) pada UU KIP.