(Sambungan)
Sembilan tahun lalu PBB mulai memperingati 30 Agustus sebagai Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional (International Day of the Victims of Enforced Disappearances) untuk menggugah kesadaran masyarakat dunia bahwa penghilangan paksa merupakan sebuah kejahatan yang seharusnya tidak digunakan sebagai sebuah alat untuk menghadapi situasi konflik.
Peringatan juga dilakukan karena kejahatan ini pernah terjadi di berbagai negara serta ditujukan untuk terus mempertanyakan nasib orang-orang yang dihilangkan secara paksa. Pertanyaan tersebut termasuk untuk Indonesia yang sepuluh tahun lalu turut menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Redaksi menyoroti topik mengenai penghilangan paksa melalui tulisan bersambung ini. Selamat membaca!
Pesan Sekretaris Jenderal PBB
Pada peringatan Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional tahun ini, Sekjen PBB, António Guterres menyampaikan, kejahatan penghilangan paksa dilakukan di berbagai penjuru dunia. Ia melihat kasus baru terjadi hampir tiap hari. Korbannya para pembela lingkungan yang seringkali merupakan masyarakat adat. Sementara, kasus-kasus lama yang jumlah korbannya ribuan belum juga ditemukan dan masih menyisakan pilu.
Melalui sambutan tertulis yang dimuat di situs UN Regional Centre for Preventive Diplomacy for Central Asia, Guterres menyampaikan, Komite PBB bersama Pokja Penghilangan Paksa telah mengidentifikasi tren tambahan yang mengkhawatirkan, termasuk pembalasan terhadap keluarga korban dan anggota masyarakat sipil yang kerap mengatasnamakan keamanan dan kontraterorisme. Terdapat pula konsekuensi gender, terutama perempuan dan kelompok LGBT.
Guterres mengingatkan, walaupun impunitas atau kekebalan hukum dapat menambah penderitaan dan kesedihan keluarga korban, kerangka hukum HAM internasional memungkinkan keluarga dan masyarakat untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya terjadi. Untuk itu, ia meminta negara-negara anggota memenuhi tanggung jawab ini. Negara wajib memperkuat upaya pencegahan penghilangan paksa, mencari korban, dan meningkatkan bantuan bagi keluarga serta kerabat korban. Ini sama pentingnya dengan penyelidikan yudisial yang kredibel dan tidak memihak.
Pada peringatan kali ini, Sekjen PBB kesembilan itu mengajak semua pihak untuk mengakhiri segala bentuk penghilangan paksa. Ia menyerukan supaya semua negara meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan menerima kompetensi Komite untuk memeriksa pengaduan warga. Ini adalah langkah pertama, tapi penting, menuju penghapusan kejahatan yang mengerikan ini.
Hak Korban Penghilangan Paksa
Menurut Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, bentuk kejahatan ini berupa penangkapan, penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan yang dilakukan oleh aparat negara atau oleh orang-orang maupun kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, dukungan serta persetujuan dari negara, yang diikuti dengan penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada di luar perlindungan hukum.
Karena telah dikeluarkan dari pos perlindungan hukum dan “dihilangkan” dari masyarakat, para korban penghilangan paksa pada kenyataannya dirampas semua haknya dan nasibnya bergantung pada belas kasihan para penculiknya. Hak-hak asasi manusia tentu terlanggar oleh penghilangan paksa ini, di antaranya adalah hak atas identitas. Ketiadaan identitas tentu sangat berpengaruh pada hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum juga atas proses hukum yang adil dan jaminan yudisial.
Saat dihilangkan, sudah pasti korban tidak mengetahui kebenaran tentang keadaan penghilangannya sendiri. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, bahkan hak untuk hidup jelas terlanggar saat orang yang hilang, hidup atau matinya tidak diketahui. Kalau sudah demikian, penghinaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat menjadi hak yang sudah tidak lagi jadi prioritas, ini termasuk hak atas pemulihan yang efektif, reparatif, dan kompensatif.
Penghilangan paksa juga pada umumnya melanggar berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya baik bagi korban maupun keluarganya, yakni hak atas perlindungan dan bantuan kepada keluarga, standar hidup yang layak, serta hak atas kesehatan dan pendidikan.
Baik Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional maupun Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa menyatakan bahwa, jika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan pada penduduk sipil mana pun, “penghilangan paksa” memenuhi syarat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan, karenanya, tidak tunduk pada batas waktu penuntutan. Ini memberi keluarga korban hak untuk memperjuangkan kompensasi, dan untuk menuntut kebenaran tentang hilangnya orang yang mereka cintai.
Melindungi Warga Negara dari Penghilangan Paksa
Kembali ke Indonesia. Meski telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 September 2010, tapi sampai sekarang pemerintah belum juga meratifikasinya. Padahal, ratifikasi konvensi itu merupakan satu dari empat rekomendasi Panitia Khusus DPR tentang Penanganan Pembahasan atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang secara Paksa Periode 1997-1998 kepada Presiden RI pada 2009.
Keempat rekomendasi tersebut yakni, agar Presiden RI segera membentuk pengadilan HAM ad hoc; beserta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait, segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang; merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; dan segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Kini keputusan untuk memenuhi rekomendasi-rekomendasi itu memang sepenuhnya berada di tangan Jokowi sebagai Presiden RI, kecuali untuk meratifikasi konvensi, karena memerlukan pembahasan bersama DPR.
Dalam kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-1998, pembentukan pengadilan HAM ad hoc telah disetujui DPR.
Lalu rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga serta pencarian korban hanya bisa dilakukan bila pengadilannya digelar. Maka, presiden harus menyelenggarakan pengadilan tersebut mengingat berkas penyelidikan telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik dan penuntut umum.
Penyelesaian kejahatan penghilangan paksa di negeri ini yang tercatat sejak 1965 dengan perkiraan jumlah korban puluhan ribu, bisa dimulai dari pengungkapan keberadaan 13 aktivis prodemokrasi 1997-1998 yang langkah politiknya telah dilalui di parlemen hingga menghasilkan empat rekomendasi pada 2009 lalu itu.
Tantangannya, para terduga aktor kini berada di lingkaran pemerintah sehingga diasumsikan memperberat terlaksananya pengadilan HAM yang independen. Karenanya, meratifikasi konvensi tampak lebih mudah diwujudkan sebab parlemen saat ini didominasi oleh koalisi pemerintah.
Sebenarnya secara politik Jokowi bisa saja menyelenggarakan pengadilan sesuai rekomendasi tanpa beban kepentingan, karena sekarang adalah periode terakhirnya menjabat sebagai presiden. Tapi faktanya, baik proses pengadilan HAM maupun ratifikasi konvensi sebagai rekomendasi Pansus yang dibentuk DPR sebelas tahun lalu sampai saat ini tidak menunjukkan kemajuan.
Jangan sampai negara malah melanggengkan impunitas terutama terhadap aktor penghilangan paksa aktivis prodemokrasi yang pengadilan HAM ad hoc-nya tinggal menunggu nyali presiden untuk menerbitkan keputusan pembentukannya.
Dalam pesan peringatan tahun ini, Sekjen PBB meminta negara untuk memperkuat upaya pencegahan penghilangan paksa, mencari korban, dan meningkatkan bantuan bagi keluarga serta kerabat korban. Ini sama pentingnya dengan penyelidikan yudisial yang kredibel dan tidak memihak.
Buat Indonesia, diselenggarakannya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa maupun meratifikasi konvensi internasional yang melindungi orang-orang dari penghilangan paksa adalah wujud komitmen negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada segenap warga bangsa. Kalau komitmennya saja tidak diwujudkan, bagaimana warga negara merasa terjamin akan perlindungan diri dan rasa amannya?
Penghilangan paksa di negeri ini tidak pernah terungkap kebenarannya sejak lebih dari setengah abad. Melalui peringatan yang dilakukan secara internasional tahun ini, sejumlah langkah politis yang telah dilakukan pemerintah, serta upaya-upaya lain dalam mencari kebenaran masa lalu hendaknya diarahkan pada perwujudan jaminan pemerintah bersama enam puluhan negara lain yang telah meratifikasi konvensi, bahwa siapapun di negara ini tidak akan pernah dihilangkan!
℗ ℗℗℗ ℗