Berbagai kasus kekerasan oleh polisi yang memakan korban jiwa dan luka-luka dalam demonstrasi belakangan ini memunculkan lagi pertanyaan tentang reformasi Kepolisian RI (Polri). Kepolisian harus jadi institusi yang punya kendali dan mengedepankan pendekatan berbasis prinsip hak asasi manusia dalam menghadapi persoalan dengan publik.
Sejauh ini, jumlah korban tewas dalam unjuk rasa mahasiswa dan pelajar akibat represifnya polisi sudah tiga orang. Sementara korban luka-luka tidak dapat dipastikan jumlahnya, tapi ditengarai mencapai puluhan orang. Belum lagi penangkapan-penangkapan terkait demonstrasi, yang sampai hari ini jumlahnya pun masih simpang siur.
Fakta kekerasan tersebut jadi perhatian banyak pihak, karena kepolisian sudah jadi penghalang kebebasan berpendapat dan berekspresi—dua hal yang merupakan fondasi demokrasi.
Salah satu pihak yang menyoroti sikap dan tindakan kepolisian itu adalah Kaukus Penyelamat Demokrasi Bandung (KPDB) yang terdiri dari sejumlah organisasi, yaitu Walhi Jabar, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Jabar, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia, Pusat Sumber Daya Komunitas, FK3I, Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, dan PBHI Jabar.
Dalam konferensi pers KPDB di Sekretaraiat Walhi Jabar, Sabtu (28/9), KPDB mengecam keras aksi kekerasan oleh kepolisian kepada para demonstran, dan menuntut adanya penyelidikan dan pengungkapan atas aksi kekerasan tersebut. Kepolisian, menurut KPDB, sudah mengabaikan standar penanganan massa aksi dan malah mengedepankan aksi kekerasan.
“Dari pengalaman di berbagai demonstrasi, kami tahu ada prosedur yang biasanya ditempuh polisi sebelum membubarkan massa dengan paksa, yaitu dengan mediasi dan negosiasi. Tapi belakangan ini kami melihat hal itu tidak dilakukan. Polisi lebih tertutup dan kaku, dan membubarkan massa dengan kekerasan. Bahkan massa sudah bubar pun masih dikejar-kejar dan ditangkapi. Ini terjadi secara massif di seluruh daerah yang ada demonstrasi mahasiswanya,” kata Dedi Kurniawan, dari Walhi Jabar.
Karena aksi polisi itu nyaris seragam di seluruh Indonesia, KPDB menduga ada tindakan yang sistematis dan berdasarkan instruksi. Menurut Ketua AJI Bandung, Ari Syahril Ramadhan, dugaan itu masih akan didalami akar persoalannya. Bukan tidak mungkin, ke depannya muncul agenda untuk mengevaluasi kinerja kepolisian melalui berbagai diskusi terbuka, yang berujung pada reformasi kepolisian.
“Sampai hari ini polisi tidak transparan tentang berapa jumlah mahasiswa dan pelajar yang ditangkap. Juga terjadi penangkapan yang tidak relevan, di mana aktivis yang ditangkap malah dites urine (narkoba –red),” kata Ari.
Sementara itu, Abdul Muit Pelu dari LBH Bandung mengatakan, KPDB sangat mengecam tindak kekerasan oleh kepolisian, karena hal itu mengancam demokrasi. KPDB khawatir aksi kekerasan oleh polisi itu sebagai wujud ketakutan negara terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Dalam kasus penangkapan-penangkapan para aktivis, akses bantuan hukum juga ditutupi oleh polisi, sehingga sampai saat ini kami belum tahu berapa orang yang sebenarnya ditangkap. Persoalan ini harus kita konfirmasi bersama,” kata Abdul Muit.
KPDB berkesimpulan, dengan berbagai kasus itu negara semakin represif kepada warganya. Warga yang menolak pengesahan undang-undang yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan publik, malah dihadapi dengan aksi kekerasan oleh polisi. Polisi, menurut KPDB, sudah jadi penghalang antara rakyat dengan eksekutif dan legislatif.
Dalam konferensi pers itu, KPDB mengajukan sembilan tuntutan yaitu:
- Mendesak negara untuk menghentikan aksi kekerasan terhadap rakyat dan mengusut tuntas kasus tewasnya dua Mahasiswa Halu Oleo, Randi dan Yusuf Kardawi;
- Mendesak negara untuk menghentikan pemberangusan kebebasan berekspresi dan berpendapat. KPDB juga mendesak Kepolisian untuk mencabut status tersangka Dandhy Dwi Laksono dan mengusut tuntas aksi kekerasan terhadap jurnalis dan tenaga medis;
- Menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Sumber Daya Air. KPDB juga mendesak pencabutan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru direvisi;
- Batalkan pimpinan KPK bermasalah;
- Hentikan kriminalisasi aktivis;
- Hentikan pembakaran hutan dan eksploitasi lingkungan;
- Tuntaskan kasus pelanggaran HAM;
- Hentikan kekerasan terhadap rakyat di Papua. Bebaskan seluruh tahanan politik yang memperjuangkan hak rakyat Papua;
- Menolak TNI dan Polri menduduki jabatan sipil.