close
FeaturedLayanan

Semangat Coubertin, Semangat Homeless World Cup

Coubertin
Salah satu kutipan Coubertin (Gambar: AZ Quotes)

Olahraga berkembang sejalan dengan sejarah peradaban manusia. Lukisan-lukisan yang ditemukan di dinding gua Lascaux, Perancis menunjukkan, gulat dan lari cepat (sprinting) sudah dilakukan 15.300 tahun lalu. Di masa Neolitik, 7000 SM, sebuah pertandingan gulat dalam kerumunan ditunjukkan oleh lukisan dinding gua di Provinsi Bayankhongor, Mongolia.

Bukti-bukti kegiatan renang dan memanah pada 6000 SM tergambar dalam lukisan batu yang terdapat di gua para perenang dekat dataran tinggi Gilf Kebir di Libya. Lukisan-lukisan zaman prasejarah juga ditemukan di Jepang yang menggambarkan sebuah kegiatan olahraga mirip sumo.

Di era modern, Pierre de Coubertin, seorang pengajar dan sejarawan Perancis memelopori kegiatan olimpiade olahraga untuk pertama kalinya pada 1896. Pada saat itu, olahraga mulai digerakkan sebagai alat persaudaraan, saling menghargai (respect), dan menjadi yang terbaik melalui latihan, kerja keras, atau usaha (pursuit of excellence).

Saat inipun, Komite Olimpiade Internasional menganugerahkan medali Pierre de Coubertin (dikenal juga sebagai the True Spirit of Sportmanship medal) bagi atlet yang mendemonstrasikan semangat keolahragaan di Olimpiade. Keolahragaan (sportmanship) merupakan aspirasi atau etos bahwa suatu olahraga atau kegiatan akan dinikmati karena kegiatan itu sendiri dengan pertimbangan etika, keadilan (fairness), saling menghargai, dan rasa persaudaraan terhadap lawan main.

Sepanjang sejarah, umat manusia sadar betul bahwa olahraga memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Pada Olimpiade Musim Panas di Berlin 1936, Adolf Hitler memanfaatkan ajang tersebut sebagai sarana promosi pemerintahannya dan gagasan supremasi rasial serta antisemitnya. Ia membangun fasilitas megah dan untuk pertama kalinya pagelaran olahraga dunia ini disiarkan melalui televisi dan radio ke 41 negara.

Baca juga:  Keadilan Berolahraga Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sebelum Olimpiade Musim Panas 1960 di Roma, Italia, ajang bermacam olahraga internasional ini selalu didominasi atlet amatir. Setelah itu, atlet profesional bergabung. Saat itulah semangat yang dibangun Coubertin mulai pudar. Persaingan atau nilai-nilai kompetitif mulai mendominasi.

Penggunaan doping, korupsi usia, suap-menyuap, dan match-fixing (pengaturan pertandingan) merupakan contoh dampak negatif dari semakin kompetitif dan komersialnya dunia olahraga saat ini. Atlet, pelatih, ofisial, maupun pemerintah kadang menghalalkan segala cara untuk bisa menang.

Homeless World Cup

Beberapa hari yang lalu delapan pemuda Indonesia baru saja pulang dari ajang Homeless World Cup (HWC) di Olso, Norwegia. Capaian mereka tidak tanggung-tanggung, peringkat 5 dari 48 negara peserta kompetisi tim laki-laki. Hal yang paling membanggakan adalah mereka hadir di sana membawa nilai-nilai olahraga yang sebenarnya, yaitu persaudaraan, saling menghargai, dan berusaha menjadi yang terbaik melalui kampanye “Indonesia tanpa stigma” serta “Kebinekaan”.

HWC adalah ajang tahunan sepak bola jalanan bagi tunawisma (homeless) serta kelompok tersisihkan (marginal) dan orang-orang yang tidak beruntung secara sosial. Delapan pemuda tersebut masuk dalam kategori peserta kejuaraan ini, yaitu konsumen narkoba dan masyarakat miskin perkotaan. Mereka berjuang di sana untuk menyuarakan agar semua manusia mendapat kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan.

Selain itu, semboyan Indonesia sebagai negara asal mereka, yakni “Bhinneka Tunggal Ika” turut mereka promosikan demi terciptanya perdamaian baik di Nusantara maupun di seluruh belahan bumi. Anak-anak muda ini berasal dari enam provinsi yang diseleksi April lalu di Surabaya, Jawa Timur, dan mengikuti pusat pelatihan di Bandung pada akhir Juli lalu.

Baca juga:  Thailand dan Amerika Serikat sudah Tobat Perangi Ganja, Akankah Indonesia Menyusul?

Sebagai ajang kejuaraan street soccer yang diikuti puluhan negara, HWC memiliki visi untuk menciptakan dunia sebagai tempat yang nyaman bagi siapapun. Penerapan visi tersebut di antaranya adalah memberikan kesempatan bagi setiap pesertanya untuk mengubah hidup melalui olahraga dan berusaha mengubah persepsi masyarakat terhadap orang-orang tersisihkan di dunia.

Sejak pertama kali diselenggarakan di Graz, Austria pada 2003, semangat dan nilai keolahragaan yang diusung HWC tidak pernah hilang. Setiap peserta selalu bahagia, tersenyum bersama, saling menyapa tanpa mengesampingkan semangat untuk tetap menang. Bahkan ketika mereka akan berpisah pulang ke negara masing-masing, ada rasa sedih yang secara spontan keluar.

Tentunya hal ini cukup bertolak belakang dengan gelaran olahraga lainnya yang mulai pragmatis dan mengesampingkan nilai-nilai sportsmanship sebagaimana diusung Coubertin lebih dari satu abad lalu. Sehingga tak jarang sportivitas dan fair play digadaikan hanya demi medali atau kemenangan. Kerap, pagelaran olahraga justru menjadi pemicu kebencian antarbangsa.

Di tengah realitas seperti itu, seharusnya konsep dalam acara olahraga dengan mengedepankan promosi nilai-nilai postitif kehidupan seperti Homeless Wordl Cup lebih sering dilakukan di Indonesia. Karena kemajuan olahraga suatu negara juga dipengaruhi oleh kedewasaan penggiatnya dalam memaknai cita-cita Coubertin. Maju dan jaya terus olahraga Indonesia!

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.