Bandung, Media dan Data RC (26/6) – Peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional sudah diperingati sejak 1988. Sepuluh tahun dari peringatan pertama itu, Sesi Khusus Sidang Umum PBB mengenai Narkoba digelar dan menetapkan 2008 sebagai batas waktu untuk mewujudkan “dunia bebas narkoba”. Atas berbagai kegagalan pencapaiannya, tenggat itu kemudian diundur menjadi 2019. Indonesia bersama ASEAN pernah menetapkan cita-cita serupa terwujud pada 2015.
Bagi Rumah Cemara, peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional tiap 26 Juni hanyalah ritual tahunan penggemaan slogan “perang terhadap narkoba” yang digagas Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon 47 tahun silam. Peringatannya selalu dihiasi istilah represif seperti, “Dor (tembak) bandar narkoba!” yang diserukan Presiden Jokowi pada 26 Juni 2016.
Bukannya melenyapkan, “perang terhadap narkoba” malah menjadikan konsumsi narkoba makin berbahaya.
Sejak awal berkegiatan pada 2003, sebagian besar konsumen narkoba yang datang ke Rumah Cemara telah terinfeksi HIV akibat sulitnya mendapatkan alat suntik steril. “Perang terhadap narkoba” gagal memusnahkan komoditas itu dari muka bumi, tapi malah melekatkan stigma pada konsumsinya. Alhasil, layanan termasuk alat-alat kesehatan sulit diperoleh di gerai-gerai kesehatan seperti apotek dan toko obat. Suntikan pun digunakan secara bergiliran untuk mengonsumsi narkoba.
Kementerian Kesehatan RI melaporkan temuan konsumen narkoba yang sudah masuk fase AIDS melonjak dari 62 kasus pada 2001 menjadi 1.517 kasus pada 2006 secara nasional. Angka ini melebihi setengah dari seluruh temuan di tahun yang sama, yaitu 2.873 kasus. Saat itu, diperkirakan terdapat 130 ribuan konsumen narkoba suntik di seantero negeri yang setengahnya telah tertular HIV.
Upaya pemberantasan narkoba juga telah menempatkan puluhan ribu orang tiap tahunnya ke dalam penjara. Di sini, akses terhadap layanan kesehatan lebih terbatas. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI mencatat, dari 813 kematian di seluruh lapas dan rutan pada 2006, 70 persennya terkait HIV-AIDS. Penyakit yang ditemukan di antaranya, TBC, diare kronis, dan toksoplasma.
Sikap antinarkoba yang hanya memberikan pilihan pada konsumen untuk berhenti atau dihukum, akan semakin menjauhkan mereka dari layanan kesehatan. Pengenaan hukum pidana hanya memperburuk kesehatan mereka. Untuk mengatasi persoalan tersebut, langkah mengurangi risiko penularan HIV pada konsumsi narkoba ditempuh Rumah Cemara sejak awal dekade 2000-an. Upaya tersebut melengkapi panti rehabilitasi yang telah ada.
Gencarnya pemberantasan juga membuat produksi narkoba makin tersembunyi. Produsen berupaya menciptakan zat-zat psikoaktif baru yang tidak terdaftar dalam UU Narkotika demi menghindari hukum pidana. Pada 2017, 49 zat baru ditambahkan ke daftar Golongan 1, zat yang hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan IPTEK dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam lima tahun terakhir, konsumsi narkoba sintetis seperti tembakau Cap Gorila marak. Rumah Cemara pun terus berurusan dengan orang-orang yang ketagihan narkoba ini. Tren konsumsi narkoba bergeser. Tapi, bukan berarti narkoba yang sudah tidak lagi populer seperti opiat kehilangan konsumennya. Karena tidak bergantung pada budi daya tanaman, narkoba sintetis makin banyak dipasarkan.
Ardhany Suryadharma, Manajer Program Rumah Cemara mengungkapkan, pemerintah sampai saat ini belum melakukan program penanggulangan narkoba yang terbukti efektif. “Perang terhadap narkoba” yang sejak 1970-an digelorakan belum pernah dievaluasi.
“Portugal sudah membuktikan terjadinya penurunan permasalahan narkotika,” Ardhany mencontohkan.
Pada 2001, Portugal menghapus hukuman pidana bagi kepemilikan untuk konsumsi pribadi zat-zat yang terdaftar dalam Konvensi PBB mengenai Narkotika (1961) dan Psikotropika (1971). Warga di sana diperkenankan memiliki hingga 25 gram ganja kering, 1 gram ekstasi, 1 gram heroin, dan 2 gram kokaina.
Di seluruh Portugal, hanya 40 konsumen narkoba suntik yang hasil tes HIV-nya positif pada 2014. Jumlah ini menurun drastis dari 1.482 hasil tes HIV positif pada 2000.
Jumlah kematian terkait narkoba menurun dari 131 pada 2001 menjadi 20 kematian pada 2008. European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction pada 2016 melaporkan, tingkat kematian akibat narkoba pada usia 15-64 tahun di Portugal merupakan yang terendah kedua di seantero Eropa setelah Rumania.
Apa yang dilakukan Portugal membantah asumsi bahwa kebijakan dekriminalisasi akan membuat narkoba lebih banyak dikonsumsi. Buktinya, tingkat konsumsi narkoba dalam setahun terakhir menurun dari 3,6 persen pada 2001 menjadi 2,9 persen pada 2012. Konsumsi rutin narkoba menurun secara konsisten dari 44 persen pada 2001 menjadi 31 persen pada 2007, kemudian berlanjut menjadi 28 persen pada 2012.
Harga narkoba yang didekriminalkan di Portugal juga dilaporkan turun. Hal ini turut berdampak pada menurunnya angka kriminalitas yang dilakukan untuk mencukupi pembiayaan narkoba konsumennya.
Upaya menyingkirkan para penjahat dari bisnis narkoba menjadi lebih efektif bila negara mengambil alih pengelolaan komoditas tersebut. Ini bisa dipelajari dari sejumlah negara yang meresepkan heroin bagi para konsumennya, di antaranya Swiss dan Jerman. Uruguay juga bisa dijadikan contoh karena sejak 2015, pemerintah resmi menguasai budi daya dan perdagangan ganja.
Untuk keperluan medis, negara-negara Afrika seperti Zimbabwe dan Zambia bahkan telah memperbolehkan pemanfaatan ganja yang di Indonesia masih dilarang konsumsinya kecuali untuk pengembangan IPTEK. Ancaman hukuman kepemilikan ganja di sini minimal penjara empat tahun.
Tenggat perwujudan “Dunia Bebas Narkoba 2019” yang ditetapkan PBB tinggal setahun lagi. Malah, Indonesia telah tiga tahun melewati batas waktu yang ditetapkannya bersama ASEAN untuk perwujudan mimpi tersebut dengan kondisi yang bahkan lebih buruk. Dalam keadaan demikian, kebijakan pemberantasan narkoba sudah waktunya untuk dievaluasi dan diubah.
Praktik dekriminalisasi dan pengelolaan narkoba oleh sejumlah negara telah membuktikan penurunan masalah-masalah yang berkaitan dengan narkoba. Indonesia perlu belajar dari negara-negara tersebut, yang juga anggota PBB, bila ingin puluhan triliun rupiah tidak lagi masuk ke saku para bandar gelap narkoba tiap tahunnya dan mengatasi masalah kelebihan populasi di penjara-penjara akibat pemidanaan puluhan ribu konsumen narkoba tiap tahun.
Bersikeras untuk terus melanjutkan “perang terhadap narkoba” hanya menjadikan 26 Juni sebagai ajang tahunan mempermalukan diri atas cita-cita “dunia bebas narkoba” yang terus direvisi batas waktu perwujudannya.