close
FeaturedKebijakan

Persoalan Narkoba yang Paling Berbahaya adalah Pelarangannya

Picture1
Diskusi kelompok terpusat Penyusunan Indeks Kota Tanggap Ancaman Narkoba (Foto: PSPK Unpad)

Acapkali, semangat pelarangan yang menggebu-gebu menggerus kebijaksanaan para pembuat aturan. Sehingga, kebijakan-kebijakan narkoba yang diberlakukan malah memperburuk keadaan dan menimbulkan lebih banyak korban di mana-mana.

Stigma dan Taktik Menakut-nakuti

Berbeda dengan Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat 2009-2017 yang mengaku pernah mengonsumsi ganja dan kokaina, banyak orang masih menganggap konsumsi narkoba sebagai aib yang dapat merusak nama baik mereka. Obama bahkan mengakui itu secara terbuka dalam Dreams from My Father, bukunya yang terbit 1995, jauh sebelum ia berkampanye untuk menjadi presiden.

Konsumsi narkoba menjadi aib karena kerap dikaitkan dengan kelemahan mental, salah pergaulan, kenakalan remaja, salah asuhan, status orang kaya baru, atau broken home.

Untuk urusan reputasi, seorang pendiri Rumah Cemara bahkan meminta agar namanya tidak dikaitkan dengan organisasi yang lekat dengan narkoba itu. Saat ini ia terdaftar sebagai pegawai negeri sesuai cita-citanya.

Pelarangan sebuah komoditas yang telah terlanjur dikonsumsi masyarakat membutuhkan kampanye. Seringkali, kampanye menyertakan data-data yang tidak berdasar atau dilebih-lebihkan demi membuat takut atau malu orang yang berurusan dengan komoditas yang dilarang. Contohnya, pernyataan bahwa setiap hari, 50 orang mati karena narkoba.

Pernyataan itu berulang kali diucapkan aparat, termasuk presiden[1],[2],[3].

Saat mulai diungkap ke publik akhir 2014, saya tidak berhasil menemukan dari mana asal angka kematian itu.

Tiga tahun setelahnya, baru saya dapati laporan BNN yang memperkirakan tingkat kematian di kalangan, tentu saja istilah mereka, penyalah guna narkoba pada 2017 sebanyak 11.071 orang per tahun atau 30 orang per hari. Survei ini juga memperkirakan, narkoba disalahgunakan oleh 3,3 jutaan penduduk Indonesia[4].

Supaya lebih mengerikan, Presiden Jokowi melebih-lebihkan angka kematian yang secara resmi dilaporkan. Sebagai panutan banyak orang, tentu pernyataan Presiden diikuti oleh segenap aparat yang dipimpinnya, termasuk oleh pejabat BNN sendiri.

Dua bulan pasca survei BNN dilaporkan, Budi Waseso, Kepala BNN ketika itu, menyampaikan, terdapat 6,4 juta konsumen narkoba di Indonesia saat berkunjung ke Gayo Lues, Aceh pada Februari 2018. Itupun hanya dari 17 provinsi[5].

Bagaimana mungkin seorang pejabat menyampaikan ke publik data yang tidak sesuai dengan dokumen laporan yang ditandatanganinya sendiri dua bulan sebelumnya (melonjak 3,1 juta konsumen)?

Konsumsi dan kepemilikan narkoba di Indonesia yang tidak sesuai UU sudah diancam hingga hukuman mati sejak 1976. Negara ini telah mengeksekusi 25 terpidana mati kasus narkoba sejak 1995. Hampir tidak ada media yang tidak memberitakan eksekusi tersebut, khususnya pascaterpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI. Puluhan kematian per hari akibat narkoba pun didengung-dengungkan. Namun, narkoba masih dikonsumsi masyarakat. Bisnis komoditas ini pun masih jadi pilihan di Indonesia sampai sekarang.

Selain malu, konsumsi narkoba tidak pernah dibicarakan bersama orang-orang terdekat, terutama keluarga, karena takut. Tak jarang, mereka mengetahui kerabatnya rutin mengonsumsi narkoba saat sudah berurusan dengan hukum atau mengalami kerugian lainnya. Konsumsi sembunyi-sembunyi menghilangkan kemungkinan terjadinya kontrol sosial yang sangat dibutuhkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar terkait narkoba.

Taktik menakut-nakuti dan stigmatisasi tidak terbukti menurunkan jumlah konsumen narkoba. Faktanya, walau jumlah konsumen narkoba dipekirakan turun dari 4,2 juta pada 2011 menjadi 3,3 juta pada 2017, namun jumlah konsumsi coba-coba meningkat. Penduduk yang mencoba konsumsi narkoba dalam enam tahun terakhir dilaporkan bertambah dari 1,1 juta pada 2011 menjadi 1,9 juta pada 2017.

Kesehatan dan Konsumsi di Bawah Umur                           

Sejak awal berkegiatan pada 2003, sebagian besar konsumen narkoba yang datang ke Rumah Cemara telah terinfeksi HIV akibat sulitnya memperoleh alat suntik steril. “Perang terhadap narkoba” gagal memusnahkan komoditas itu dari muka bumi, tapi malah melekatkan stigma pada konsumsinya. Alhasil, layanan termasuk alat-alat kesehatan sulit diakses. Suntikan pun digunakan secara bergiliran untuk konsumsi narkoba.

Kementerian Kesehatan RI melaporkan temuan konsumen narkoba yang sudah masuk fase AIDS melonjak dari 62 kasus pada 2001 menjadi 1.517 kasus pada 2006 secara nasional. Angka ini melebihi setengah dari seluruh temuan di tahun yang sama, yaitu 2.873 kasus. Saat itu, diperkirakan terdapat 130 ribuan konsumen narkoba suntik di seantero negeri yang setengahnya telah tertular HIV.

Sikap antinarkoba yang hanya memberikan pilihan pada konsumen untuk berhenti atau dihukum, kami anggap semakin menjauhkan mereka dari layanan kesehatan. Pengenaan hukum pidana hanya memperburuk kesehatan mereka.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, langkah mengurangi risiko penularan HIV pada konsumsi narkoba kami tempuh sejak 2004. Upaya tersebut melengkapi panti rehabilitasi yang telah ada.

Pendekatan kesehatan masyarakat, alih-alih pidana, dalam menangani persoalan narkoba ini tidak hanya dilakukan Rumah Cemara. Pemerintah pusat dan daerah bersama organisasi komunitas giat melaksanakan program yang dikenal sebagai harm reduction demi menanggulangi HIV sejak awal 2000-an.

Infeksi HIV dari konsumsi narkoba suntik dilaporkan turun dari 2.780 pada 2010 menjadi 832 kasus pada 2017[6].

Baca juga:  Perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana: Pembelajaran dari Kasus Prank Sembako Sampah

Sayangnya, pendekatan serupa tidak diterapkan untuk narkoba-narkoba lain yang tidak disuntikkan. Kematian akibat keracunan bahan baku zat-zat psikoaktif masih menjadi ancaman besar.

Kebijakan pelarangan membuat narkoba dipasok dan dikonsumsi secara sembunyi-sembunyi (pasar gelap). Dalam kerangka ekonomi ini, para produsen tidak diwajibkan untuk mengikuti standar mutu. Otoritas kesehatan pun tidak melakukan pengawasan terhadap produk yang dipasarkan. Demi laba tinggi, produsen menggunakan bahan baku murah bahkan beracun. Narkoba sintetis dan oplosan pun marak.

Kematian akibat keracunan metanol dalam 10 tahun terakhir justru terjadi di wilayah yang menerapkan peraturan daerah (perda) minuman beralkohol. Di wilayah Bandung Raya, tingkat kematian akibat minuman oplosan mencapai 16,3 kasus dalam setiap 1 juta penduduk. Angka ini hampir lima kali lipat lebih tinggi ketimbang angka nasional, 3,4 kasus[7].

Perda yang membatasi peredaran dan konsumsi minuman beralkohol diterapkan pada 2010 di Kota dan Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandung Barat menyusul pada 2014.

Aturan yang bermaksud mengendalikan distribusi, membatasi akses, dan melindungi konsumen itu ternyata tidak efektif bahkan bisa dikatakan gagal lantaran malah menyuburkan industri minuman oplosan. Pasar gelap minuman jenis oplosan marak demi memenuhi permintaan konsumen yang tidak mampu memperoleh dan menjangkau minuman beralkohol resmi. Mereka adalah masyarakat berpenghasilan rendah dan berusia di bawah 21 tahun.

Gencarnya pemberantasan juga membuat produksi narkoba makin tersembunyi. Produsen berupaya menciptakan zat-zat psikoaktif baru yang tidak terdaftar dalam UU Narkotika demi menghindari hukum pidana.

Pada 2017, 49 zat baru ditambahkan ke daftar Golongan 1, zat yang hanya boleh dimanfaatkan untuk keperluan iptek dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam lima tahun terakhir, konsumsi narkoba sintetis seperti tembakau Cap Gorila marak. Rumah Cemara pun terus berurusan dengan orang-orang yang ketagihan narkoba ini.

Karena tidak bergantung pada budi daya tanaman, narkoba sintetis makin banyak dipasarkan.

Biaya Narkoba

Pada 2017, BNN memperkirakan biaya untuk konsumsi narkoba di Indonesia mencapai Rp69 triliun. Angka ini secara konsisten meningkat dari Rp15 triliun pada 2008 dan Rp42 triliun pada 2014. Uang puluhan triliun rupiah ini masuk ke saku sindikat narkoba tiap tahunnya tanpa dikenai pajak. Jumlah fantastis inilah yang menyebabkan bisnis narkoba masih terus digeluti walaupun terdapat ancaman hukuman mati.

Seperti halnya bahan baku, dalam kerangka ekonomi pasar gelap, pemasok narkoba bisa semena-mena menentukan harga jual. Pemidanaan membuat narkoba hanya dikuasai oleh segelintir orang yang berani melakukan apapun demi mengamankan keuntungan triliunan rupiah per tahun. Tindakan yang dilakukan mulai dari suap hingga pembunuhan.

Berada di penjara sekalipun, tidak bisa meredam para bandar untuk tetap berbisnis narkoba. BNN mengakui, 90% peredaran narkoba dikendalikan narapidana[8]

Mengendalikan sebuah bisnis dari balik terali penjara tentu membutuhkan keterlibatan aparat. Dari laba besar penjualan narkoba, sindikat tak segan menggelontorkan uang untuk menyuap.

Sebuah laporan mengenai korupsi polisi yang berkaitan dengan narkoba di Amerika menyatakan, terdapat enam tindak kejahatan dalam pemidanaan narkoba. Keenamnya yakni, melakukan penggeledahan dan penangkapan secara inkonstitusional, mencuri uang dan/ atau narkoba dari pengedar, menjual narkoba hasil sitaan, melindungi bisnis gelap narkoba, memberikan kesaksian palsu, serta membuat berita acara pemeriksaan yang tidak benar[9].

BNN melaporkan, komponen kedua terbesar setelah biaya konsumsi narkoba pada 2011 adalah biaya berurusan dengan aparat hukum. Biaya ini meningkat 12 kali lipat dari Rp800-an miliar pada 2008 menjadi Rp11 triliun lebih pada 2011. Peningkatan ini terjadi karena, saat tertangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan, konsumen narkoba dan keluarganya seringkali menempuh ‘jalan damai’ yang dimanfaatkan oleh oknum[10].

Rehabilitasi yang dimungkinkan bagi pecandu sebagaimana diatur UU Narkotika juga berpeluang menjadi ajang kolusi. Hal ini bisa dilihat dari mudahnya orang-orang seperti pejabat atau artis mendapat putusan rehabilitasi dalam sidang pelanggaran kasus narkotika. Kalangan miskin yang menghadapi kasus serupa sangat sulit mendapat putusan macam itu.

Karena ditetapkan sebagai hukuman, maka rehabilitasi menjadi bentuk hukuman yang lebih ringan ketimbang kurungan penjara dalam pelanggaran pidana narkotika. Dalam kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini, diskriminasi putusan hukuman kasus narkotika sangat mungkin terjadi[11].

Dengan ditetapkan sebagai bentuk hukuman yang lebih ringan daripada penjara, rehabilitasi saat ini sudah mirip industri. Bahkan ironisnya, ada rehab swasta yang bekerja sama dengan polisi untuk mencari pasiennya[12].

Populasi Penjara

Per Desember 2017, terdapat 232.081 penghuni lapas dan rutan di seluruh Indonesia. Mereka menempati keseluruhan bangunan berkapasitas 123.997 penghuni. 99.507 penghuni merupakan tahanan dan narapidana kasus narkoba. Jumlah ini mendominasi 106.383 penghuni dengan kasus kejahatan khusus, yakni narkoba, korupsi, terorisme, pembalakan liar, perdagangan manusia, dan pencucian uang[13].

Baca juga:  Caleg DPR RI Bicara Ganja dan Lokalisasi Prostitusi untuk Kesehatan

Jumlah konsumen narkoba yang menjadi terpidana naik dari 28.609 per Desember 2014 menjadi 36.734 penghuni.

Penjara adalah tempat di mana akses terhadap layanan kesehatan lebih terbatas. Ditambah, kelebihan populasi yang mencapai 183 persen per Desember 2017, kondisi kesehatan narapidana dan tahanan menjadi lebih rentan. Tercatat, dari 813 kematian di seluruh lapas dan rutan pada 2006, 70 persennya terkait HIV-AIDS. Penyakit yang ditemukan di antaranya TBC, diare kronis, dan toksoplasma.

Pendekatan Kesehatan dan Dekriminalisasi Narkoba

Pendekatan pidana untuk mengatasi persoalan narkoba telah dilakukan Indonesia setidaknya sejak 1976 dengan diberlakukannya UU Narkotika. Setelah lebih dari 40 tahun penerapannya, pidana narkoba tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

Pemberantasan narkoba malah melahirkan zat-zat psikoaktif baru yang lebih berbahaya, menjadikan konsumen narkoba rentan tertular penyakit, menyuburkan korupsi, dan hanya memperkaya sindikat. Pemidanaan dan stigmatisasi untuk menjauhkan Bangsa Indonesia dari narkoba terbukti gagal. Masyarakat yang mencoba konsumsi narkoba jumlahnya dilaporkan meningkat. Hukuman mati pun tidak membuat gentar pelaku bisnis komoditas ini.

Untuk bisa keluar dari persoalan ini, Bangsa Indonesia harus tanggap bahwa, narkoba merupakan komoditas. Zat-zat psikoaktif telah dimanfaatkan umat manusia selama ribuan tahun untuk keperluan pengobatan, rekreasi, juga ritual keagamaan.

Alpanya kesadaran mengenai hal itu, narkoba hanya akan dikuasai sindikat di pasar gelap. Karena narkoba terus dianggap sebagai setan, biang dari segala konsekuensi negatif akibat konsumsinya, maka pelarangan dan pemberantasan menjadi masuk akal.

Mengakui narkoba sebagai komoditas alih-alih setan adalah langkah awal untuk meruntuhkan pasar gelapnya yang secara nasional beromzet puluhan triliun rupiah per tahun. Kesadaran ini sebenarnya telah tertuang dalam tujuan UU Narkotika, yakni menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan iptek[14].

Sayangnya, semangat pelarangan yang represif masih sangat kuat dalam UU ini. Dari 155 pasal dalam UU Narkotika saat ini, 84 di antaranya bersifat represif termasuk bab tentang peran serta masyarakat.

Dengan semangat itu, negara bukannya menjamin ketersediaan, tapi malah menyerahkan penguasaan narkoba ke tangan sindikat kejahatan, menyodorkan zat-zat psikoaktif bermutu rendah dan berbahaya ke tengah masyarakat.

Melalui pendekatan kesehatan, negara sangat mungkin mengambil alih penguasaan narkoba di Indonesia. Program terapi rumatan metadon bisa menjadi contoh bagaimana negara mengendalikan narkoba substitusi heroin ini mulai dari produksi hingga penyerahannya ke tangan konsumen.

Awalnya, program ini dilakukan sebagai tanggapan atas tingginya penularan HIV di kalangan konsumen heroin. Program ini juga mengalihkan pola pemerolehan narkoba dari jalanan ke fasilitas layanan kesehatan. Hal ini sekaligus meningkatkan akses layanan kesehatan di kalangan konsumen narkoba. Harga jualnya pun jauh di bawah narkoba jenis opiat yang diedarkan di jalanan.

Swiss bisa menjadi studi kasus pengendalian narkoba melalui pendekatan kesehatan. Negara ini membuka program peresepan heroin pada 1994. Program ini telah diadopsi Jerman, Denmark, dan Belgia. Uji coba program ini sedang dilakukan Belanda, Inggris, Spanyol, dan Kanada.

Evaluasi program di Swiss ini menyatakan, kriminalitas di kalangan pasien turun 60 persen, penjualan heroin oleh pasien turun 82 persen, kematian akibat konsumsi heroin nihil karena bahan bakunya terjamin, penularan HIV dan hepatitis pada pasien berkurang, heroin kurang diminati anak muda karena citra medisnya, konsumennya disebut pasien atau peserta perawatan, heroin tak lagi diperkenalkan di jalanan karena sudah banyak yang memperolehnya di klinik, dan biaya pengobatan ditanggung jaminan kesehatan nasional[15].

Mengelola pasokan narkoba, seperti yang dilakukan Swiss untuk heroin, dipraktikkan agar komoditas ini tidak dikuasai sindikat kejahatan. Pengelolaan narkoba oleh negara membuat harganya transparan dan berdampak pada penurunan harga jualnya.

Uruguay juga bisa menjadi contoh pengelolaan narkoba oleh negara demi menumbangkan pasar gelap ganja. Penduduk berusia 18 tahun ke atas diperkenankan membeli ganja dari apotek yang diizinkan kementerian kesehatan setempat hingga 40 gram per bulan. Mereka juga dibolehkan menanam hingga enam pohon ganja di rumah dengan produk yang dihasilkan tak lebih dari 480 gram per tahun.

Harga jual ganja di sana kurang dari Rp10.000 per gram (22 peso)[16]. Bandingkan dengan harga di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, yang mencapai Rp56 ribu untuk kuantitas yang sama. Dengan harga jual yang ditentukan pemerintah itu, sindikat tidak akan bisa mengeruk keuntungan besar melalui pasar gelap ganja.

Terlebih, dengan diterapkannya aturan seperti di Uruguay, aparat tidak perlu repot-repot memusnahkan ratusan ribu meter persegi lahan ganja di lereng-lereng pegunungan. Sistem hukum pidana pun terbebas dari urusan ribuan tersangka kepemilikan ganja tiap tahunnya. Anggaran pemberantasan dan penegakan hukum pidana narkoba akan jauh lebih hemat.

Praktik dekriminalisasi yang tidak menuntut pemerintah untuk menjamin ketersediaan narkoba dilakukan salah satunya oleh Portugal. Sejak 2001, penduduk dewasa di sana diperkenankan memiliki hingga 25 gram ganja kering, 1 gram ekstasi, 1 gram heroin, dan 2 gram kokaina untuk konsumsi pribadi.

Baca juga:  Ternyata, Doyan Gibah adalah Gangguan Mental

Di seluruh Portugal, hanya 40 konsumen narkoba suntik yang hasil tes HIV-nya positif pada 2014. Jumlah ini menurun drastis dari 1.482 hasil tes HIV positif pada 2000.

Jumlah kematian terkait narkoba menurun dari 131 pada 2001 menjadi 20 kematian pada 2008. European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction pada 2016 melaporkan, tingkat kematian akibat narkoba pada usia 15-64 tahun di Portugal merupakan yang terendah kedua di seantero Eropa setelah Rumania.

Apa yang dilakukan Portugal membantah asumsi bahwa kebijakan dekriminalisasi akan membuat narkoba lebih banyak dikonsumsi. Buktinya, tingkat konsumsi narkoba penduduknya dalam setahun terakhir turun dari 3,6 persen pada 2001 menjadi 2,9 persen pada 2012. Konsumsi teratur untuk seluruh konsumen narkoba menurun secara konsisten dari 44 persen pada 2001 menjadi 31 persen pada 2007, kemudian berlanjut menjadi 28 persen pada 2012.

Harga narkoba yang didekriminalkan di Portugal juga dilaporkan turun. Hal ini turut berdampak pada menurunnya angka kriminalitas yang dilakukan untuk mencukupi pembiayaan narkoba konsumennya[17].

Pengendalian Narkoba di Era Otonomi Daerah

Belajar dari pengalaman pelarangan dan pemberantasan selama puluhan tahun, pemerintah sudah seharusnya tidak lagi mempertahankan pendekatan represif untuk menanggapi persoalan narkoba. Sebagai komoditas yang telah ribuan tahun dimanfaatkan oleh umat manusia, ‘perang terhadap narkoba’ malah menimbulkan lebih banyak mudarat. Narkoba menjadi lebih berbahaya dan menjadi ancaman serius bagi masyarakat.

Kasus kematian akibat minuman oplosan yang terus terjadi semestinya bisa menjadi pelajaran bagaimana pelarangan dan pengenaan cukai yang kelewat tinggi terhadap minuman beralkohol justru menyuburkan pasar minuman dengan bahan baku racun sehingga bisa dijual murah. Permintaannya selalu ada karena zat psikoaktif dibutuhkan tidak hanya oleh kalangan kaya. Terlebih, pasar gelap tidak mensyaratkan pembatasan usia konsumen.

Kebijakan yang mengatur distribusi dan konsumsi minuman beralkohol ditetapkan oleh pemerintah kota atau kabupaten. Otonomi daerah seharusnya bisa menjadi peluang untuk pemberlakuan kebijakan yang lebih efektif dalam menanggapi persoalan narkoba.

Indonesia punya pengalaman. Dalam menanggapi tingginya penularan HIV dari penyuntikan narkoba, sejumlah pemerintah daerah membuka layanan alat suntik steril dan narkoba substitusi di puskesmas-puskesmas yang berada di bawah otoritasnya sejak 2005. Hasilnya bisa dilihat dari menurunnya temuan kasus HIV di kalangan konsumen narkoba di seluruh Indonesia.

Menanggapi ancaman bahaya konsumsi narkoba juga bisa dipelajari dari negara-negara yang telah mengendalikan narkoba mulai dari proses budi daya hingga penyerahan ke tangan konsumen, juga yang mendekriminalkan kepemilikan narkoba hingga jumlah tertentu untuk konsumsi pribadi. Kebijakan pelarangan narkoba yang represif kini mulai ditinggalkan banyak negara karena terbukti menimbulkan lebih banyak mudarat.

________________
Makalah ini disiapkan untuk Diskusi Penyusunan Indeks Kota Tanggap Ancaman Narkoba yang diselenggarakan Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran bersama Badan Narkotika Nasional di Bandung, 23 Juli dan 13 Desember 2018


[1] Jokowi: Kamu Harus “Ngerti”, Setiap Hari 40-50 Orang Mati karena NarkobaKompas.com, 24/12/2014

[2] BNN Ingatkan 50 Orang Meninggal Setiap Hari karena NarkobaCNN Indonesia, 29/04/2015

[3] 50 Orang Setiap Hari Meninggal karena NarkobaOkezone News, 06/08/2016

[4] Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017 – BNN & PPK UI, 2017

[5] Peredaran Narkoba di Gayo Lues 2 Kg Per Bulan, Kepala BNN PrihatinRRI.co.id, 26/02/2018

[6] Laporan Perkembangan HIV-AIDS & Infeksi Menular Seksual Triwulan I Tahun 2018 – Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI, 2018

[7] Memerangi Alkohol Ilegal: Prioritas Kebijakan di Bandung, Jawa Barat – Center for Indonesian Policy Studies, 2018

[8] Sekitar 90% Kasus Narkoba Dikendalikan Napi dari Dalam Lapas – Sindonews.com, 25/10/2017

[9] Information on Drug-Related Police Corruption – US General Accounting Office, 1998

[10] Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011 – BNN & PPK UI, 2011

[11] Pernyataan Yesmil Anwar, Kriminolog Universitas Padjadjaran dalam diskusi bertajuk Rehabilitasi Pecandu Narkotika: Putusan Hukum Tebang Pilih?Rumah Cemara, September 2016

[12] Pernyataan Benny Ardjil, mantan Deputi Bidang Terapi & Rehabilitasi BNN. Ibid

[13] Sistem Database Pemasyarakatan – Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2018

[14] Pasal 4 Huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

[15] Swiss Medication Assisted Treatment Approach to Heroin Addiction – Howard J. Wooldridge, 2018

[16] Panduan Praktis Regulasi Ganja – Transform Drug Policy Foundation, diterjemahkan oleh Rumah Cemara, 2015

[17] Portugal Drug Country Report 2017 – European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction, 2017

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.