close
Atas Nama Daun

Judul film dokumenter berdurasi 1 jam 10 menit 14 detik ini bagi saya sangat menarik: Atas Nama Daun. Sama menariknya dengan saat kita mulai disuguhi sejumlah footage yang menggambarkan beberapa orang protes karena ditangkap polisi. Tampaknya dari kasus di luar negeri puluhan tahun lalu.

Daya tarik makin kuat saat terdengar voice over yang mengantarkan film ini. Ya, bagaimanapun naratornya adalah aktor kawakan, Tio Pakusadewo. Vokal yang berat, intonasi, dan temponya yang terlatih membuat kita dengan suka rela bersedia memelototi layar monitor. Tanpa skip.

Atas Nama Daun adalah film dokumenter tentang ganja yang kadung dikriminalisasi di Indonesia. Film ini diproduksi oleh Anatman Pictures dan disutradarai Mahatma Putra. Film ini tayang perdana secara resmi pada 24 Maret 2022.

Film ini dibagi dalam lima babak cerita (bab), yakni Atas Nama Riset, Atas Nama Daun, Atas Nama Hukum, Atas Nama Cinta, dan Atas Nama Hak. Setiap babak menyuguhkan cerita tentang ganja dari perspektif narasumber yang berbeda-beda. Sejumlah narasumber mengisahkan interaksi mereka dengan ganja, di antaranya Aristo Pangaribuan, Angki Purbandono, Dhira Narayana, Peter Dantovski, Sulistriandiatmoko.

Bicara pemanfaatan ganja, terutama menyangkut khasiat pengobatannya, tentu kita menyebut dua nama penting yakni Fidelis Arie Sudewarto dan Dwi Pertiwi. Keduanya pun hadir dalam film ini.

Betapa rasanya jutaan orang masih ingat dengan kisah Fidelis, seorang pria warga Sanggau, Kalimantan Barat, yang ditahan polisi karena memanfaatkan tanaman ganja untuk pengobatan istrinya, Yeni Riawati. Akibat menanam 39 batang pohon ganja, Fidelis pada 2017 ditahan. Sang istri yang didiagnosis penyakit langka syringomyelia pun tidak dapat melanjutkan terapi ganja yang sempat membuat kesehatannya membaik. Yeni meninggal saat Fidelis dalam tahanan.

Baca juga:  Ganja dan Alkohol: Masih Relevankah Pelarangan Keduanya?

Dwi Pertiwi, seorang ibu asal Yogyakarta yang berjuang menggugat pelarangan ganja oleh negara demi hidup anaknya, Musa Ibn Hassan Pedersen penyandang cerebral palsy. Terapi lewat ganja memberi harapan bagi Dwi, karena dapat mengurangi efek dari kejang yang kerap dialami Musa. Kejang adalah teror mengerikan bagi penyandang cerebral palsy. Namun upayanya terbentur hukum di Indonesia yang menempatkan ganja sebagai narkotika golongan satu. Musa kini telah tiada.

Fidelis dan Dwi ditampilkan secara apik dalam Atas Nama Daun. Keduanya begitu artikulatif menyuguhkan kisahnya sebagai manusia yang berikhtiar demi rasa cintanya pada orang yang mereka sayangi. Saya beranggapan, sang sutradara, Mahatma Putra berhasil mengaduk emosi penonton tanpa kesan cengeng. Ini sejatinya human interest dalam sebuah karya.

Menonton Atas Nama Daun akan membawa kita pada pembahasan penting tentang keberadaan tanaman bernama latin Cannabis sativa ini. Kontroversi yang menyertainya terangkum dalam film ini. Menariknya, meskipun terinspirasi dari riset akademis “Sebab dan Akibat Kriminalisasi Massal Ganja di Indonesia” yang ditulis Aristo Pangaribuan, seorang dosen Universitas Indonesia, film dokumenter ini tidak lantas terasa berat ditonton. Dengan kata lain, alur cerita dan narasi yang disuguhkan mudah dicerna oleh awam sekalipun.

Film ini juga berusaha menyeimbangkan perspektifnya dengan menghadirkan Kombes Sulistiandriatmoko (Jubir BNN [2017-2019]). Tentu kita sebagai penonton akan mudah menebak bagaimana perspektifnya. Bukankah kita semua maklum, betapa perkasa aparat hukum menguasai berbagai saluran komunikasi di Indonesia sehingga suara mereka dominan hinggap di telinga publik. Perspektif mereka terlanjur mainstream. Beruntung, porsinya dalam film ini relatif sedikit.

Baca juga:  Penetapan Hari Arak Bali: Untuk Apa?

Ada pertanyaan sederhana terlintas dalam benak saya usai menikmati tayangan ini. Karena ganja diyakni berkhasiat medis, lantas mengapa tidak ada satu pun narasumber dengan latar belakang medis yang diwawancari dalam film ini? Mengapa tidak ada dokter atau farmakolog misalnya yang menjelaskan secara objektif tentang ganja?

Tapi, pertanyaan itu saya coba jawab sendiri. Saya berasumsi, pembuat film ini sengaja ingin menjaga agar film ini tidak lantas terlalu sarat beban dengan data ilmiah. Jika terlalu overwhelm data yang disajikan, mungkin saya sebagai penonton akan berkerut kening terlalu lama. Toh yang disajikan cukup informatif dan karena itu mudah dipahami.

Atau, saya berasumsi dan bercampur harapan, akan ada kelanjutannya. Jadi serial gitu, semacam sequel? Entahlah.

Terlepas dari itu semua, film ini memberi sumbangan berharga bagi pengembangan pengetahuan masyarakat. Saya percaya, jika masyarakat makin tercerahkan, maka suara mereka akan lebih banyak muncul. Pertanyaan kita berikutnya, apakah negara akan bersikukuh melarang pemanfaatan ganja sementara warganya semakin kuat bersuara bahwa kesehatan adalah hak mereka yang asasi?

Tak terasa, sekitar 70 menit film ini berakhir. Sekali lagi, tanpa skip. Sejak 24 Maret 2022 lalu, kita semua bisa menontonnya di kanal Youtube Anatman Pictures. Saat tulisan ini dibuat, film ini telah ditonton 928 ribu kali. Hampir satu juta kali!

Baca juga:  Kratom lebih "nutup" buat putus heroin ketimbang tramadol

Saya ingin mengutip pernyataan sutradara Mahatma Putra tentang film ini. Ia menyatakan, bertemu dengan para narasumber di film ini membuka matanya, bahwa persoalan ganja bukan melulu soal kenikmatan. Ada aspek sejarah, politik, hukum, medis, dan kemanusiaan yang krusial, yang sedang menggedor-gedor hati mereka yang peduli.

Nah, selamat menonton kawan-kawan!

Tags : Atas Nama Ganjaganjaganja obat
Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.