Sering terjadi, orang menyebut merek atau jenama sebuah produk obat, zat psikoaktif, atau narkoba yang sebenarnya punya nama generik bahkan nama dagang lain dengan kandungan yang sama. Saya akan gunakan satu contoh jenama yang terlanjur digunakan secara luas untuk menyebut sebuah obat dengan kandungan tertentu, Heroin.
Saya sering menyebut merek itu ketimbang nama generiknya. Alasannya sangat spesifik. Sejak Bayer, perusahaan farmasi Jerman pemilik jenama Heroin memutuskan untuk menghentikan produksinya pada 1913, tidak ada produsen lain yang punya merek untuk obat dengan kandungan diasetilmorfina ini. Di dokumen resmi negara macam Peraturan Menkes untuk penggolongan narkotika, kata Heroina pun ditulis sebelum nama generiknya.
Ini berbeda dengan kebiasaan orang menyebut Odol untuk pasta gigi atau Aqua untuk air mineral kemasan. Itu karena selain Odol, ada banyak merek pasta gigi lain dengan kandungan yang mirip. Lagi pula, jenama itu masih diproduksi sampai sekarang. Begitu juga dengan air mineral kemasan.
Saya memahami kebiasaan itu. Ya, orang-orang mengucapkannya untuk memudahkan komunikasi. Ketimbang menyebut dua atau lebih kata, akan lebih efisien bila mengucapkan satu kata saja. Dan yang terpenting, orang lain yang diajak berkomunikasi mengerti. Titik.
Dalam ranah komunikasi informal, hal-hal macam itu sangat bisa ditoleransi, tapi akan sangat membingungkan bila penyebutan macam itu digunakan di ranah ilmiah. Di jagat publikasi, bahkan menyebut nama dagang dianggap haram, tidak menguntungkan kalau yang berbicara tidak dibayar oleh empunya merek, dan bisa berbuntut panjang kalau menyangkut urusan pencemaran nama baik.
Di artikel ini, saya akan mengategorikan mana merek, kandungan, golongan, dan nama jalanan atau slang zat-zat yang populer dikonsumsi untuk memengaruhi kesadaran atau mabuk alias psikoaktif. Tentu saja, saya akan menjelaskan terlebih dulu tiap-tiap kategori tersebut sebelum daftar zat-zat memabukkannya.
Golongan. Istilah ini menggambarkan bagaimana sebuah zat bekerja di susunan saraf pusat yang salah satunya adalah otak. Di dalam otak terdapat pemancar (transmiter) dan penerima (reseptor) yang bereaksi saat suatu jenis zat berada dalam metabolisme tubuh melalui konsumsinya yang beragam seperti suntik, telan, isap, atau ditempelkan pada permukaan kulit. Kata-kata kuncinya, cara kerja di otak.
Berbagai contoh jenis zat memabukkan yang punya pemancar dan penerimanya masing-masing di otak adalah alkohol, cannabinioid alias ganja, opioid, benzodiazepin, amfetamina, barbiturat, inhalan, dan masih banyak lagi. Kenapa saya tulis demikian? Karena penemuan reseptor-reseptor otak terhadap zat-zat spefisik terus ditemukan hingga kini.
Bayangkan saja misalnya ganja yang sudah dimanfaatkan manusia akan potensi psikoaktifnya sejak ribuan tahun sebelum masehi, ternyata reseptor di otaknya baru ditemukan secara sahih pada pertengahan 1980-an.
Kandungan. Biasa juga disebut “nama generik” sebuah zat berdasarkan struktur kimianya. Untuk jenis opioid atau opium alkaloid misalnya, ada banyak turunan dengan nama generik dan tentu saja rumus kimia yang berbeda-beda mulai dari morfin, kodein, thebaine, sampai yang sintetis macam buprenorfina, metadon, atau tramadol.
Contoh lainnya, cannabinoid (cannabis alkaloid) yang memiliki cukup banyak senyawa kimia yang lazimnya terkandung pada tanaman cannabis atau ganja meski ada juga yang dibuat sintetisnya. Yang paling tenar tentu saja THC yang merupakan singkatan dari tetrahydrocannabinol dan cannabidiol (CBD).
Kata-kata kuncinya, struktur kimia zat tersebut.
Jenama atau Merek. Ini adalah nama dagang yang digunakan produsen dalam memasarkan produk zat psikoaktifnya. Pasca-Heroin yang telah saya ulas di awal, sampai saat ini diasetilmorfina diproduksi tanpa merek alias generik. Saya tidak tahu alasannya apa sampai pabrik-pabrik farmasi ternama tidak ada yang percaya diri untuk membuat nama dagang yang dianggap akan bisa menyaingi Heroin. Tapi menurut saya, ini fenomena yang bagus. Begini pasalnya,
Saat produsen obat memiliki nama dagang, merek, atau jenama, mereka tentu akan mempromosikannya agar laris. Mereka tak segan-segan untuk memberikan bonus besar-besaran buat dokter yang meresepkan obat merek itu, penipuan dalam iklannya, suap ke pejabat kesehatan, penggelapan pajak, dan tindakan koruptif lainnya demi cuan. Lalu, apa bedanya dengan peredaran gelap narkoba yang melibatkan sindikat kejahatan transnasional?
Dampak sosial dan kesehatan liberalisasi memang sama buruk dan berbahayanya dengan pelarangan dan pemberantasan dengan jargon “perang terhadap narkoba”.
Kembali ke jenama. Zat yang punya banyak jenama untuk dijadikan contoh tentu saja adalah yang saat ini diproduksi secara liberal oleh produsen farmasi, misalnya obat dengan kandungan alprazolam. Saat saya menulis artikel ini, ada 17 jenama obat dengan kandungan alprazolam yang terdaftar di situs Badan POM RI.
Nama Jalanan atau Slang. Terminologi ini mengacu pada sandi agar tidak diketahui banyak orang apalagi otoritas, mulai dari orang tua, guru, sampai penegak hukum lantaran konsumsi zat memabukkan dicap buruk masyarakat bahkan bisa terjerat hukum pidana.
Yang paling banyak slangnya di Indonesia tentu saja ganja. Hal ini beralasan lantaran berdasarkan survei pada 2019, zat ini dikonsumsi oleh 65,5 persen dari estimasi konsumsi semua jenis narkoba yang dilakukan 3.419.188 penduduk Indonesia dalam setahun terakhir. Itu berarti jumlahnya 2,2 jutaan konsumen.
Cimeng dan gele adalah nama jalanan ganja yang paling populer, sebab “gele” sendiri ditengarai sudah digunakan para ganjais atau penikmat ganja sejak 1970-an. Variasi slang untuk ganja ini tidak lagi berdasarkan kota atau daerah, tapi tiap tongkrongan hampir memiliki sandi sendiri. Atau boleh jadi, slang untuk minuman beralkohol di negara kepulauan ini bahkan lebih banyak lantaran jumlah konsumennya yang saya duga juga lebih banyak.
Untuk memudahkan kalian mengetahui keterkaitan golongan, kandungan, merek, dan nama jalanan zat-zat memabukkan yang populer di Indonesia, izinkan saya menguraikannya dalam bentuk tabel.