close
press_freedom_fists
Gambar: FreePress.net

2018 diasosiasikan sebagai tahun politik di Indonesia. Memang, pada tahun ini akan digelar pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni mendatang. Rakyat akan memilih 171 kepala daerah, terdiri dari 17 gubernur, 39 walikota, dan 115 bupati. Selain itu, mulai 23 September nanti, kampanye pemilihan anggota legislatif dan presiden akan dimulai. Pemilihannya sendiri dijadwalkan 17 April 2019.

Tentu hajatan ini menjadi sumber berita. Media massa mengeksplorasi serba-serbi pesta politik tersebut dari berbagai sudut pemberitaan. Secara nasional, yang paling menyedot perhatian adalah pemilihan presiden yang baru akan digelar tahun depan. Belum juga didaftarkan calon presidennya, beritanya sudah ramai.

Sejawat kami sempat mengeluh. Ia pesimis kalau kerja-kerja menghapus stigma buat konsumen narkoba  dan orang dengan HIV-AIDS akan banyak diliput media. “Tahun politik nih. Wartawan pasti akan fokus ke pilkada. Topik HIV kalo nggak penting-penting amat bakal katileup,” begitu keluhnya.

Ya, jangankan di tahun politik, di tahun-tahun nonpolitik saja liputan media yang bermaksud mengikis stigma untuk kedua kelompok tersebut sangat jarang. Berita tentang narkoba didominasi tema penegakan hukum, sementara untuk HIV-AIDS, temanya didominasi temuan kasus.

Tema penegakan hukum narkoba jauh dari upaya menghapus stigma terhadap konsumennya. Bahkan kontraproduktif. Begitu pula dengan kabar penemuan kasus HIV yang kerap menjadi buntut dari penggerebekan prostitusi.

Baca juga:  Yang harus kalian lakukan kalau wabah covid-19 berlangsung 18 bulan atau lebih

Persidangan kasus kepemilikan sabu aktor Tio Pakusadewo adalah berita yang masih diliput media massa nasional akhir-akhir ini di tengah gencarnya pemberitaan politik dalam negeri. Kalau yang disidang si Fulan, kuli angkut pasir di Rancaekek, Bandung, mana mungkin media massa mengabarkan.

Boleh jadi di tahun politik ini, kalau tidak melibatkan selebritis, wartawan ogah meliput. Itupun peristiwanya harus sensasional seperti digugat cerai, diadukan karena ujaran kebencian, atau tertangkap atas kepemilikan narkoba. Dua peristiwa terakhir lagi-lagi bertema penegakan hukum. Polisi yang jadi jagoannya.

Tapi, apakah pilihan berita penegakan hukum narkoba dan temuan kasus HIV merupakan kesalahan wartawan atau pemimpin redaksi?

Apakah masyarakat memang menyukai berita-berita macam itu?

Kalau kami sih sudah bosan dengan berita penegakan hukum narkoba.

Coba bayangkan, setiap muncul, berita narkoba selalu menampilkan sosok aparat penegak hukum. Mereka dicitrakan sukses dalam pekerjaannya. Bila terdapat seratus berita penangkapan dalam setahun misalnya, berarti ada seratus kesuksesan kerja aparat. Tapi setelah seratus kesuksesan selama setahun itu, yang sampai hari ini masih kita temukan, narkoba tetap beredar di daerah tempat tinggal kita.

Berita-berita itu menampilkan citra sukses aparat penegak hukum, tapi kesuksesan-kesuksesan tersebut tidak sukses memberantas narkoba dari bumi Indonesia. Ironis!

Media massa juga tidak salah. Peristiwa penangkapan narkoba atau penemuan kasus HIV di tempat prostitusi tidak begitu saja diketahui wartawan. Aparat juga butuh publikasi, panggung untuk menunjukkan bahwa mereka bekerja. Kabar adanya peristiwa itu dipasok.

Baca juga:  Semangat Coubertin, Semangat Homeless World Cup

Kantor pemerintahan hampir tiap hari mengirimkan siaran pers. Bahkan ada yang sehari sampai dua kali. Hal ini kami ketahui saat berkunjung ke sejumlah redaksi media massa di Bandung beberapa waktu lalu.

Memang tidak hanya kantor pemerintahan, organisasi nonpemerintah juga ada yang rajin memasok siaran pers. Dan menurut semua redaksi yang kami temui, itu adalah hal yang wajar. Bahkan kalau pasokan berita sedang sepi, kabar membosankan mengenai betapa heroiknya aparat dalam penggerebekan rumah si Fulan di Rancaekek yang hanya mengonsumsi selinting ganja bakal dimuat.

Celakanya, jika yang menjadi narasumber liputan hanya pihak yang memasok kabar tersebut. Karena beritanya tentang narkoba, maka yang jadi narasumber adalah Badan Narkotika Nasional atau polisi. Begitu juga kalau berita tentang HIV, yang jadi narasumber pasti aparat kesehatan. Padahal berita-beritanya dipasok dari kantor mereka sendiri.

Nah tahun ini (sampai pemilihan presiden selesai tahun depan), pasokan berita dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemilihan umum tentu sangat banyak. Mereka butuh panggung agar sosoknya diketahui calon pemilih. Memang tidak semua liputan berasal dari pasokan seperti itu. Ada juga peristiwa politik yang perlu diketahui publik dan diliput media secara proporsional.

Di Hari Kebebasan Pers ini, kami ingin mengajak rekan-rekan pers agar tidak ragu untuk melibatkan pihak di luar aparat yang berkepentingan dan memasok berita tentang narkoba dan HIV-AIDS sebagai narasumber dalam sebuah liputan. Tujuan ajakan kami adalah agar tidak lebih banyak orang yang bosan akan narasumber yang itu-itu saja dalam pemberitaan narkoba dan HIV-AIDS.

Baca juga:  Melawan Praktik 86 di Kasus Pidana Narkotika

Bagaimanapun, pers punya pertimbangan dalam menentukan narasumber, di antaranya kompetensi yang akan berdampak pada kredibilitas medianya. Untuk itu, kami juga mengajak komunitas orang dengan HIV-AIDS dan konsumen narkoba agar meningkatkan kompetensinya. Komunitas ini punya kepentingan dalam menghapus stigma terhadap dirinya sebagaimana para politisi memiliki kepentingan agar dipilih dalam pemilihan umum.

Pasoklah kabar kepada pers dan tampillah di media dengan kompentensi tinggi! Stigma tidak akan luntur kalau kita terus bersembunyi dari publikasi.

Dengan banyaknya pasokan kabar dari komunitas orang dengan HIV-AIDS dan konsumen narkoba, maka akan lebih banyak pula jenis liputan yang akan dimuat. Pers pun memiliki pilihan untuk memuat berita, tidak melulu kabar menjemukan seputar penegakan hukum narkoba dan temuan kasus HIV dalam sebuah razia.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.