close
FeaturedKegiatan

Apa Rekomendasi Dialog Nasional Pengurangan Dampak Buruk Konsumsi NAPZA?

PHOTO-2019-03-12-17-23-45
drg. Nalih Kelsum, MPH saat membuka acara

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK) RI menggelar acara bertajuk “Dialog Nasional Pengurangan Dampak Buruk NAPZA”, di Jakarta, 3-6 Maret lalu. Acara yang juga dihadiri sejumlah perwakilan kelompok masyarakat ini bertujuan membahas permasalahan strategis pelaksanaan program pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba di Indonesia.

Dalam kegiatan yang dibuka oleh Asisten Deputi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kemko PMK RI, drg. Nalih Kelsum, MPH, terungkap bahwa program yang dijalankan di Indonesia dua puluh tahun lalu ini terutama ditujukan untuk mengatasi HIV-AIDS di kalangan konsumen narkoba suntik. Saat itu sebuah organsisasi nonpemerintah di Bali menginisiasi pemberian alat suntik steril bagi konsumen putau alias heroin pada 1999.

Pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan RI mencatat lebih dari setengah kasus AIDS di Indonesia (50,3%) dialami oleh konsumen narkoba dengan cara suntik. Tercatat pula lonjakan AIDS pada kelompok ini dari 146 menjadi 1.183 kasus antara 2003 dan 2004 secara nasional.

Di luar pendekatan represif dan rehabilitatif yang bertujuan agar konsumsi narkoba dihentikan, pemerintah merespon fenomena tersebut melalui uji coba terapi substitusi narkoba di Jakarta dan Bali. Narkoba yang disubstitusi adalah putau dengan menyediakan dosis harian terukur metadon yang juga merupakan opioid.

Tak lama setelah uji coba pada 2003 itu, sejumlah puskesmas di Jakarta dan beberapa provinsi lain turut menyediakan alat suntik steril bagi konsumen narkoba.

Baca juga:  Setelah Thailand, Negara Mana yang Akan Legalkan Ganja di Asia?

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 yang dilansir Kementerian Kesehatan RI, layanan alat suntik steril dilaksanakan di 194 puskesmas dan 74 klinik metadon beroperasi tidak hanya di RS dan puskesmas, tapi juga di klinik lapas dan rutan.

Pada prinsipnya mengurangi dampak buruk dilakukan tanpa mengurangi konsumsi narkobanya. Dampak buruk yang dimaksud bisa secara kesehatan (penularan HIV), sosial (diskriminasi), juga hukum (pemenjaraan).

Upaya yang dalam bahasa Inggris bernama harm reduction ini membuahkan hasil. HIV di kalangan konsumen narkoba suntik di seluruh Indonesia dilaporkan menurun dari 52,4 persen pada 2007 menjadi 41,2 persen pada 2011 dan akhirnya 28,7 persen pada 2015.

Walaupun demikian, ada juga yang memandang laporan penurunan tersebut dikarenakan jumlah penyuntikan narkoba yang berkurang jauh lantaran pasokan putau juga berkurang. Badan Narkotika Nasional memperkirakan, narkoba yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia pada 2017 adalah ganja dengan 1,7 juta konsumen disusul sabu-sabu dengan 850 ribuan konsumen. Putau bahkan tidak masuk dalam 20 narkoba yang paling banyak dikonsumsi.

Kecenderungan ini menjadi perhatian penyelenggara acara. Sehingga, selain membahas persoalan pelaksanaan program, acara ini juga bertujuan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang mengakomodasi kecenderungan konsumsi narkoba nonsuntik yang jauh lebih banyak dilakukan.

Topik-topik yang dibahas dalam acara ini yaitu kebijakan NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) dan HAM, inovasi dalam pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba, penguatan jaringan masyarakat sipil, serta praktik penyediaan layanan program. Yang menjadi pembicara mencakup para praktisi, komunitas terdampak, akademisi, dan pembuat kebijakan dalam hal penanggulangan masalah narkoba dan HIV-AIDS.

Baca juga:  N-Bom, Kertas Halusinogen yang Bukan LSD

Berikut adalah rekomendasi yang dihasilkan dialog nasional ini,

Memperhatikan berbagai permasalahan yang muncul dan dibahas dalam Dialog Nasional Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan NAPZA yang dilaksanakan di Jakarta, 3-6 Maret 2019, kami bersepakat untuk merekomendasikan pokok-pokok pemikiran untuk dipertimbangkan di dalam pengembangan kebijakan pengurangan dampak buruk di Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak dan kepentingan pengguna NAPZA dalam pelayanan sosial, hukum, dan kesehatan dengan mengembangkan kebijakan NAPZA yang lebih manusiawi baik di tingkat nasional maupun daerah;
  2. Memperkuat program pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA yang saat ini dilaksanakan dengan memperhatikan cakupan, aksesibilitas, kualitas, dan keberlanjutan program;
  3. Memperluas konsep pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA dengan mencakup berbagai pelayanan sosial, ekonomi, hukum, dan kesehatan bagi pengguna NAPZA secara keseluruhan;
  4. Secara kelembagaan, perlu dibentuk kembali kelompok kerja pengurangan dampak buruk NAPZA di Kementerian PMK sebagai wadah bagi lintas sektor untuk mengembangkan kebijakan dan program pengurangan dampak buruk di Indonesia;
  5. Pengembangan jaringan dan kemitraan yang lebih kuat di antara organisasi masyarakat sipil, pemerintah, profesional, dan akademisi di dalam pengembangan kebijakan dan program pengurangan dampak buruk;
  6. Memberikan perhatian dan partisipasi yang bermakna kepada perempuan pengguna NAPZA dalam upaya pemenuhan hak dan kebutuhannya sejak mulai dari pencegahan, perawatan, hingga keberadaannya dalam sistem peradilan;
  7. Memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spesifik pengguna NAPZA berdasarkan gender, usia, dan latar belakang budayanya dalam pengembangan kebijakan NAPZA dan kesehatan untuk memastikan terpenuhinya hak yang dimilikinya.

Kesepakatan tentang rekomendasi kebijakan di atas dilengkapi dengan penjelasan untuk masing-masing pokok pemikiran yang pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lembar kesepakatan ini.

Jakarta, 5 Maret 2019: Kami yang menyepakati.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.