Partai Nasional Demokrat (Nasdem, bukan Nasdrun ya) mendeklarasikan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta sebagai calon presiden yang mereka usung untuk Pilpres 2024 pekan lalu. Kebetulan saat itu jagat maya dan media massa sedang ramai-ramainya membahas Tragedi Kanjuruhan yang menelan korban hingga 132 jiwa saat saya menulis artikel ini. Jadi khalayak, termasuk saya baru sempat menelaah soal deklarasi tersebut belakangan.
Sebenarnya saya lebih suka memakai istilah “pancasilais” alih-alih “nasionalis” untuk judul tulisan ini. Tapi di kancah politik Indonesia mutakhir, diksi nasionalis lebih sering disebut-sebut sehingga rasanya lebih akrab dengan mata dan telinga masyarakat. Pancasilais tuh jauh lebih paripurna tau ketimbang nasionalis-religius yang sering disematkan ke politikus saat meghadapi laga pemilu.
Dari ekonomi kata saja, pemakaian satu kata lebih efektif daripada dua apalagi tiga kata untuk mendefinisikan sesuatu yang dimaksud. Belum lagi bila dalam satu kata itu, makna yang terkandung jauh melampaui pemakaian dua kata atau lebih. Lo, ini kok jadi bahas semiotika. Politiknya mana, Nj*ng?
Kenapa saya menyandingkan Puan Maharani dan Anies Baswedan, karena menurut kalkulasi politik saya keduanya punya kemiripan dalam mengarungi jalan berliku menuju palagan politik 2024 nanti.
Saya bahas Puan dulu ya.
Ketua DPR RI cum Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDI Perjuangan ini tak lain dan tak bukan adalah cucu dedengkot Partai Nasionalis Indonesia (1927-1973), Bung Karno. Sebagai cucu, tentu saja Puan mengagungkan ajaran kakeknya khususnya nasionalisme. Di tingkat yang banal, sampai sekarang pun baliho-baliho PDI Perjuangan selalu menampilkan foto Putra Sang Fajar itu.
Di tingkat yang lebih substantif, harusnya Puan (dan kader PDI Perjuangan lainnya) fasih mengejawantahkan gagasan nasionalisme Bung Karno dalam keputusan-keputusan politiknya. Tapi apa sih arti nasional, nasionalis, dan nasionalisme?
Menurut kamus, na.si.o.nal sebagai adjektiva artinya bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa.
Sebagai kata benda, na.si.o.na.lis berarti pencinta nusa dan bangsa sendiri; orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya; patriot.
Lalu, na.si.o.nal.is.me adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan; kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Menggunakan definisi-definisi tadi, tentu Puan adalah seorang nasionalis. Bahkan citra itu dilekatkan teramat kuat. Celakanya, politik Indonesia kontemporer kadung mendikotomikan antara sosok nasionalis dengan yang religius. Lantaran citra nasionalis yang teramat melekat pada Puan, banyak yang menganggap ia tidak religius. Maka, sering kita dengar agar pasangan capres-cawapres yang diusung sebaiknya mewakili sosok nasionalis dan religiius.
Padahal kalau saja para politikus kita menerapkan teori semiologi yang saya ulas di awal, seorang kandidat pemimpin sudah jadi sosok paripurna sejak masa pengkaderan di parpol masing-masing, yakni religius, humanis, nasionalis, demokratis, sekaligus sosialis yang terangkum dalam satu kata, “pancasilais”.
Kembali ke Puan. Jadi untuk memoles citra akan ketidakreligiusan dirinya, kerap Mbak Puan berpose mengenakan kerudung di baliho-baliho yang ukurannya nggak kira-kira. Hal ini berkebalikan dengan Anies.
Sebenarnya Anies Baswedan adalah seorang nasionalis sampai Pilkada DKI Jakarta 2016-2017. Sekarang pun, saya yakin ia masih nasionalis. Tapi karena ia turut menari di tengah genderang politik identitas agama dan ras yang ditabuh tim sukses dan para pendukungnya di pilkada itu, maka Anies dianggap telah merobek tenun persatuan bangsa. Saat itu, ia bahkan berkomplot dengan kelompok yang ingin menjadikan sistem khilafah sebagai asas bernegara di Indonesia.
Tak hanya itu, Anies pun dekat dengan kelompok intoleran yang menghembuskan isu SARA di kontestasi politik tersebut. Belakangan, ia dijuluki Bapak Politik Identitas oleh sebagian kalangan, karena rasanya tidak pas melabeli Anies sebagai sosok religius gegara “kasus ayat, mayat, dan pribumi” ketika itu. Yang pasti, Anies dianggap sangat tidak nasionalis karena turut menikmati hasil pemecahbelahan bangsa ini yang memenangkannya sebagai gubernur.
Kalau Puan butuh citra religius untuk menggaet pemilih muslim, maka Anies butuh menampilkan citra nasionalis untuk menarik kembali simpati pemilih yang istikamah dengan semboyan Bineka Tunggal Ika karena tenunnya telah ia koyak saat menjungkalkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, rivalnya di Pilgub DKI Jakarta lima tahun lalu.
Sebelum lanjut, saya ingin menyampaikan bahwa selama ini para politikus negeri ini telah salah kaprah terhadap rakyat calon pemilihnya sendiri. Dengan mengusung kredo “duet nasionalis-religius” mereka menilai orang-orang Indonesia yang taat menjalankan perintah agama tidaklah nasionalis dan sebaliknya. Itu tuduhan tak berdasar yang melanggengkan politik identitas padahal ingin dieliminasi semua parpol di Pemilu 2024 termasuk oleh Nasdem.
Dalam konteks deklarasi Anies sebagai calon presiden, Nasdem tidak bisa dipisahkan dari sengkarut nasionalis-religius ini. Deklarasi yang mereka lakukan itu maju satu bulan dari yang telah dijadwalkan di rakernasnya Juni lalu. Parpol besutan Surya Paloh ini dikabarkan mempercepat deklarasi itu demi merebut ceruk suara orang-orang yang dituduh religius dan mendukung Anies untuk bisa jadi Presiden RI ke-8.
Ya, selama ini Nasdem mengalami defisit identitas religiius lantaran beberapa hal selain dari nama partainya sendiri. Kita tahu, Nasdem adalah parpol yang mendukung Jokowi pada 2014 dan 2019. Meski sukses menghantarkan mantan walikota Surakarta itu jadi presiden dua periode, tapi survei-survei pasca-2019 menunjukkan perolehan suaranya terus anjlok. Tentu saja ini membuat cemas Surya Paloh cs.
Survei elektabilitas parpol sebulan sebelum deklarasi misalnya, menempatkan Nasdem di peringkat ketujuh dengan perolehan 4,8 persen suara. Angka itu merosot dari perolehan pada Pemilu 2019, yakni 9,05 persen suara dan berada di peringkat kelima.
Dengan mengusung Anies, diharapkan para pendukung mantan Mendikbud itu yang menurut survei jumlahnya sedikit di bawah pendukung Prabowo Subianto tapi jauh di atas Puan, turut mencoblos Nasdem. Selain nasionalis, partai ini pun bakal dianggap religius karena Willy Aditya dkk. dianggap tidak religius lantaran mengusung Jokowi di dua pilpres sebelumnya. Apalagi mereka juga mengusung Ahok yang dilabeli penista Islam di Pilkada DKI Jakarta lalu.
Jadi deklarasi Nasdem mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden untuk Pilpres 2024 seyogianya saling menguntungkan. Nasdem butuh citra religius dari Gubernur DKI Jakarta itu, sedangkan Anies fardu tampil nasionalis, salah satunya dengan menerima pinangan partai bernama depan “nasional” itu.
Nah, kalau memang ingin terkesan toleran dan nasionalis, harusnya Anies tegas mengatakan bahwa di tanah air ini, siapapun boleh hidup, memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan akses kesehatan yang layak tak terkecuali LGBT, penganut Syiah dan Ahmadiyah, serta anak-cucu mantan anggota PKI yang tercatat dalam sejarah punya andil besar dalam memerdekakan bangsa ini. Lantas ia akan berdiri paling depan untuk melindungi dan memenuhi hak setiap orang tersebut sebagaimana amanat UUD 1945.
Tapi kok saya ragu ya kalau Anies akan bisa bicara seperti itu. Jangankan Anies yang basis pemilihnya saat jadi Gubernur DKI Jakarta lima tahun lalu adalah kelompok-kelompok intoleran, saya pun meragukan Puan Maharani akan berbicara tegas, menyebut kelompok-kelompok spesifik tersebut yang akan ia lindungi saat berkampanye. Padahal, baik secara biologis maupun ideologis, Puan kadung dikenal sebagai sosok nasionalis tulen.
Seharusnya kalau untuk kepentingan nusa dan bangsa demi terwujudnya kemakmuran, keadilan, serta kemajuan bersama sebagai satu Indonesia, maka fardu hukumnya buat calon-calon pemimpin di negeri ini untuk tegas melindungi mereka yang selama ini tersingkirkan, didiskriminasi, dianggap aib, hingga mengalami kekerasan lantaran perbedaan orientasi seks atau berkeyakinan.
Katanya nasionalis!