close
FeaturedKebijakan

Antara Motif Bisnis, Teror, dan Dongeng dalam Permen Narkoba di Surabaya

permen-dot_20170309_090233
Permen dot yang ditarik dari peredaran di Surabaya (Foto: Sriwijaya Post)

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana membeli seluruh permen yang mereka razia pada 6 Maret 2017. Keputusan tersebut menyusul uji narkoba di laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap permen tersebut yang hasilnya negatif.

Sebelumnya ramai diberitakan, Pemkot Surabaya merazia permen berbentuk dot warna-warni. Satpol PP Kota Surabaya saat itu mendatangi sekolah-sekolah dasar di 14 kecamatan dan menyita ratusan bungkus permen yang diduga mengandung narkoba itu. Esok harinya, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Surabaya, Kompol Suparti mengaku sudah mencari tahu peredaran permen tersebut. Ia mengatakan sudah memiliki sampelnya, dan langsung mengujinya  di laboratorium.

Isu permen mengandung narkoba yang dijual di sekolah-sekolah sudah sering dihembuskan. Motifnya bermacam-macam. Boleh jadi memang untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Bila memang demikian, mengapa isu yang dipilih adalah kandungan narkoba bukan racun, pengawet, atau pewarna tekstil yang berbahaya bila dikonsumsi?

Narkoba memang berbahaya bagi tubuh manusia, namun mana yang lebih berbahaya bila dibandingkan dengan racun? Tingkat bahaya narkoba pun bergantung pada jenisnya.

Apapun motifnya, masyarakat berhak mendapat informasi yang adil. Bila ingin meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap jajanan anak yang sehat, tidak mengandung MSG, pewarna, atau pengawet misalnya, sebutkan saja yang diduga menjadi kandungannya.

Isu kandungan narkoba atau minyak babi tampaknya memang lebih sensasional. Karenanya, mungkin lebih menarik perhatian masyarakat.

Baca juga:  Kesalahan negara adalah anggap narkoba sebagai "setan" bukan komoditas

Agar tidak terjadi kepanikan, masyarakat perlu mengetahui apa itu narkoba dan memahami kenapa zat tersebut diedarkan. Sehingga, kekhawatiran masyarakat didasarkan pada nalar yang wajar (common sense), bukan stigma maupun stereotip yang berpangkal pada prasangka .

Narkoba adalah akronim dari, narkotika dan obat/ bahan berbahaya. Istilah ini digunakan sebagai padanan kata dalam bahasa Inggris, drug(s) yang berarti obat(-obatan). Kata “narkoba” lebih banyak digunakan oleh aparat hukum (polisi, jaksa, hakim). Sementara, aparat kesehatan umumnya menggunakan istilah “NAPZA”, singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya.

Pemakaian istilah NAPZA sekaligus menunjukkan bahwa nikotin, alkohol, serta kafein juga merupakan narkoba atau drugs. Pada 1982, World Health Organisation (WHO), badan kesehatan dunia, mendefinisikan narkoba sebagai, zat apapun kecuali makanan, air, dan oksigen, yang saat dikonsumsi mengubah proses biokimia dan/ atau psikologis mahluk hidup atau jaringan.

Narkoba dibutuhkan manusia karena memiliki khasiat. Sebagai contoh, khasiat morfin adalah meredakan nyeri. Maka, ketika seseorang mengalami nyeri, ia mungkin membutuhkan morfin untuk meredakannya. Pemenuhan kebutuhan inilah yang kemudian dikomersialkan, yakni dijual dengan tingkat keuntungan tertentu.

Konsumsi rutin suatu produk akan menimbulkan ketergantungan. Contohnya adalah ketergantungan terhadap beras di masyarakat yang menjadikannya sebagai makanan pokok. Ketika pasokan beras berkurang, harganya akan meningkat karena permintaan di masyarakat tidak turut berkurang.

Baca juga:  Rumah Cemara Mengecam Tindakan Sewenang-wenang terhadap Kelompok Marginal

Persoalan makin runyam ketika peredaran komoditas yang telah jadi kebutuhan tersebut dilarang. Pelarangan tidak serta merta menghilangkan permintaan akan komoditas yang dilarang. Pemenuhan permintaan tersebut adalah peluang untuk memperoleh laba. Para penjahat memasok komoditas tersebut secara ‘gelap’ atau ilegal demi meraup keuntungan tersebut dan menjadi satu-satunya pemasok.

Ketersediaan komoditas secara gelap tidak bisa dikendalikan. Otoritas di suatu wilayah tidak dapat mengetahui siapa produsen maupun pemasoknya, juga tidak dapat mengawasi bahan baku serta harganya.

Selain rasa manis, permen dot yang dirazia di Surabaya minggu lalu belum diketahui khasiatnya.

Keuntungan yang diperoleh pemasoknya mungkin sama dengan keuntungan pemasok permen jenis lain karena harganya masih wajar untuk sebuah permen. Bandingkan, misalnya, dengan perbedaan harga antara tembakau super yang disebut-sebut sebagai ganja sintetis dan rokok kretek. Di sebuah blog, sebatang tembakau cap Gorila dibanderol Rp25 ribu, di situs lain, Rp50 ribu. Sementara, sebatang rokok merek Dji Sam Soe, misalnya, diketeng Rp2 ribu.

Satu hal yang menjadikan narkoba berbahaya adalah harganya yang tidak terkendali. Permen dot yang beredar di Surabaya dijual Rp1.000 per bungkus. Kalaupun benar terdapat kandungan narkoba, maka seorang anak yang ketagihan akan menghabiskan minimal Rp1.000 per hari untuk belanja permen tersebut. Bandingkan dengan pengeluaran minimal harian orang yang ketagihan sabu. Narkoba ini pada 2015 diecer Rp2 juta per gram.

Baca juga:  Kisah seorang perempuan yang tertular HIV dari mendiang suaminya

Dengan harga jual Rp1.000 per bungkus, bukankah lebih mengkhawatirkan kalau permen yang diedarkan di sekolah-sekolah itu mengandung racun atau bahan-bahan lain yang bisa merusak kesehatan seperti formalin atau pewarna tekstil?

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.