Satu tahun sudah UU Cipta Kerja, kerap disebut omnibus law, yakni gabungan dari berbagai macam peraturan dan perundang-undangan yang sudah ada, disahkan oleh DPR RI. Menjelang pengesahannya, berbagai penolakan dilakukan sejumlah kalangan secara serentak. Mulai dari buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, mahasiswa, hingga anak STM.
Meskipun terjadi tekanan yang cukup besar, pemerintah bersama DPR tetap saja mengesahkannya. Aksi penolakan besar-besaran itu diwarnai dengan perilaku represif aparat kepolisian. Bentuk tindakan represif yang dipertontonkan saat itu antara lain semprotan water cannon, tembakan gas air mata ke arah masa aksi bukan ke udara, pemukulan secara langsung dengan tangan kosong dan pentungan, hingga penahanan secara sewenang-wenang terhadap massa aksi.
Tidak berhenti sampai di situ. Para pengunjuk rasa yang ditangkap pun tidak diperbolehkan mendapat pendampingan hukum. Atas kejadian itu, setidaknya terdapat ribuan orang ditangkap dan tidak dibolehkan didampingi oleh kuasa hukum, ribuan masa aksi juga mengalami luka-luka, serta 52 orang harus terenggut nyawanya.
Satu tahun berlalu dan hal yang ditakutkan masyarakat Indonesia saat itu menjadi kenyataan. Kini, perampasan lahan masyarakat kian dipermudah dan kaum buruh mulai kehilangan hak-haknya. Lebih luas lagi, omnibus law juga dinilai merugikan rakyat Indonesia karena antilingkungan hidup dan tentu saja mengabaikan HAM.
Kanal Indonesia Tanpa Stigma kali ini mengulasnya secara lebih dalam bersama Asfinawati, pegiat hak asasi manusia sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Heri Pramono, Pengabdi Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Bandung.
Mari simak perbincangannya!