close
FeaturedLayanan

Benarkah Ganja di Indonesia Tidak Bisa Dijadikan Obat?

Ilustrasi Scientific American
Ilustrasi: Scientific American

Akhir Juni lalu Pemerintah RI memutuskan sikap untuk tidak menyetujui rekomendasi WHO dalam membenahi penggolongan ganja dalam konvensi-konvensi PBB tentang narkotika dan psikotropika. Rekomendasi itu akan diputuskan pada rapat pemungutan suara Komisi Obat-Obatan Narkotika (CND) yang telah dijadwalkan Desember mendatang. Seluruh anggota PBB akan hadir di rapat tersebut termasuk Indonesia.

Ungkap Argumentasi Ilmiah ke Publik

Sikap tersebut disampaikan Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Krisno H. Siregar melalui keterangan tertulis. Sikap ini merupakan kesimpulan rapat koordinasi antara Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI, dan beberapa pihak lainnya.

Menurut Krisno, ganja yang tumbuh di wilayah Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika. Ia menyatakan dari hasil penelitian, kandungan zat psikoaktif ganja (delta-9-tetrahydrocannabinol [THC]) yang tumbuh di Indonesia tinggi, mencapai 18 persen. Sementara zat nonpsikoaktif yang potensial sebagai bahan obat (cannabidiol [CBD]) hanya 1 persen.

Krisno juga menerangkan, ganja yang dipakai untuk pengobatan seperti epilepsi adalah hasil rekayasa genetika dengan kandungan CBD tinggi dan THC rendah.

Karena kandungan zat pengubah kondisi psikologi (psikoaktif) atau kesadarannya lebih tinggi, maka kebanyakan konsumsi ganja di Indonesia adalah untuk rekreasi bukan medis.

Tak lupa Krisno merapal mantra, dilarang saja banyak yang melanggar apalagi kalau dilegalkan. Akan ada lebih banyak orang yang menyalahgunakan ganja dengan dalih apapun. Ia menegaskan, tanaman ganja yang tumbuh di Indonesia lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi ganja.

Atas keterangan yang dimuat banyak media massa, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan telah meminta secara resmi supaya klaim yang mengatasnamakan hasil penelitian itu diungkap. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak setiap orang memperoleh informasi publik seperti hasil penelitian yang mendasari sikap Pemerintah RI untuk tidak menyetujui rekomendasi WHO soal ganja.

Jenis dan Kandungan

Terdapat dua jenis tanaman ganja yang bernama Latin Cannabis. Yang pertama dikenal sebagai hemp atau rami, kandungan THC-nya kurang dari 0,3 persen. Rami dibudidayakan untuk dimanfaatkan seratnya sejak lima ribu tahun lalu. Berbagai produk dari tanaman ini di antaranya, tali, kain, pakaian, sepatu, makanan, kertas, bioplastik, bahan bangunan, hingga bahan bakar terbarukan.

Indonesia memiliki budaya yang cukup lekat dengan ganja industri alias hemp ini. Hal itu ditunjukkan oleh kekayaan perbendaharaan kata Bahasa Indonesia yang berhubungan dengan tanaman semak ini.

Dalam KBBI, lema “rami” berarti tumbuhan semak setinggi 1-3 meter dengan tepian daun bergerigi dan seterusnya walaupun di akhir juga tertulis sebagai tambahan; kelui (Boehmeria nivea) – sebuah spesies tanaman yang berbeda. Meski demikian, sebuah artikel di Trubus.id menggambarkan rami yang identik dengan hemp.

Kosakata lain adalah “hem”. Lema ini di KBBI berarti kemeja.

Baca juga:  Peta Dekriminalisasi Narkoba Sedunia

Sebuah artikel di LGN.or.id menjelaskan, kata hem berasal dari jenama (merek) baju berkerah yang banyak dikenakan di zaman penjajahan, Hemp®.  

Jenis ganja kedua mengandung THC yang lebih tinggi, tapi CBD juga terkandung di dalamnya. Amerika Serikat (AS) menamainya marijuana dan memopulerkannya untuk membedakan ganja yang ditanam di negara bekas jajahan Inggris itu dengan yang dibawa oleh imigran Meksiko.

Penamaan ini, bagi kaum pelarangan seabad lalu, ditujukan untuk menumbuhkan xenophobia (fobia bahkan kebencian terhadap orang asing) di kalangan kulit putih Amerika atas kata yang bersuara eksotis itu.

Harry Anslinger, dedengkot pelarangan narkoba cum Direktur BNN AS pada 1930, bahkan pernah membuat pernyataan rasialis, “Terdapat seratus ribu jumlah perokok marijuana di AS, dan kebanyakan Negro, Hispanik, Filipinos serta para pekerja hiburan. Musik setan mereka, jazz dan swing adalah hasil dari konsumsi marijuana. Ganja membuat perempuan kulit putih mau berhubungan seks dengan Negro, para penghibur, dan yang lainnya.”

Sebenarnya baik THC maupun CBD faedah medisnya sama banyaknya. Keduanya dapat mengatasi sejumlah kondisi yang sama, sebut saja mual, cemas, peradangan, hingga nyeri. Tapi, CBD tidak mengakibatkan efek psikoaktif seperti yang ditimbulkan THC. Beberapa pasien pun lebih memilih memanfaatkan CBD untuk menghindari efek samping tersebut.

Semprotan oral Sativex (Pinterest)

Sebuah obat yang dikembangkan perusahaan farmasi Inggris, GW Pharmaceuticals untuk perawatan kontraksi otot karena multiple sclerosis mengandung 27 mg THC dan 25 mg CBD. Perbandingannya nyaris 1:1. Nabiximols adalah nama generik obat tersebut, dijual dengan jenama Sativex®. Obat berbentuk semprotan oral ini telah diresepkan bagi pasien multiple sclerosis di Inggris sejak 2010. Kedua ekstrak ganjanya berasal dari tanaman (botanical drug).

Jenis ganja memang banyak. Genus ganja pertama kali diklasifikasi oleh Carl Linnaeus pada 1753. Makanya penamaan spesies ini adalah Cannabis sativa L. Inisial “L” setelah nama Latin tanaman itu untuk Linnaeus sang pemberi nama.

Pada 1785, biolog Prancis, Jean-Baptiste de Lamarck memublikasikan deskripsi spesies kedua ganja yang ia namakan Cannabis indica Lam. Sama seperti Linnaeus, Lamarck juga mencantumkan inisial “Lam.” di belakang spesies tanaman yang ia beri nama itu.

Kalau Linnaeus akrab dengan rami yang banyak dibudidayakan di Eropa pada masanya, Lamarck mendeskripsikan spesies baru tanaman yang spesimennya dikumpulkan dari India. Ia mencatat, serat Cannabis indica tidak sekuat serat yang dihasilkan Cannabis sativa, tapi spesies ganja yang ia beri nama itu punya lebih banyak khasiat obat.

Apa yang dikatakan Brigjen Pol. Krisno bisa saja ada benarnya. India kan dekat ke Indonesia, sebenua, jadi tanaman yang tumbuh tentu jenisnya mirip-mirip. Juga, jangan kesampingkan hikayat bahwa ganja diboyong ke Gayo, Aceh oleh penjajah Belanda dari India pada abad 19 untuk ditanam sebagai penghalau hama pohon kopi di sana.

Baca juga:  Memperbincangkan Hari Anti-Narkotika Internasional

Untuk menguji tebakan saya itu, simaklah gambaran perbandingan berikut:

Sumber ilustrasi: Leafy

Dari kedua spesies berbeda itu, manakah yang banyak tumbuh di Indonesia? Polisi dan aparat BNN yang sering membumihanguskan ladang ganja pasti tahu jawabannya.

Klaim lain yang perlu diklarifikasi adalah, ganja yang dipakai untuk pengobatan seperti epilepsi adalah hasil rekayasa genetika dengan kandungan CBD tinggi dan THC rendah.

Untuk menghasilkan sebuah obat, laboratorium yang digunakan untuk pengembangan produk farmasi tentu memiliki berbagai macam genus tanaman bahan bakunya.

Sebuah publikasi di American Journal of Botany pada 1 Juni 2004, mengategorikan setidaknya terdapat 157 turunan ganja berdasarkan asal daerahnya. Itu baru dari asal daerah lo, belum dari kawin silang dan rekayasa genetika lain! Makalah tersebut juga memetakan potensi serat, obat, dan populasi liar yang ditunjukkan berbagai macam kandungan zat dalam tanaman semak ini.

Dari gambaran tersebut, jangankan laboratorium farmasi komersial, laboratorium pendidikan saja bisa memiliki ratusan jenis tanaman ganja. Sebagai contoh, Universitas Lethbridge di Alberta, Kanada yang akhir April lalu memublikasi kemampuan CBD menurunkan jumlah sel reseptor virus korona. Sejauh ini mereka telah mengembangkan 800-an jenis tanaman ganja berkadar CBD tinggi.

GW Pharmaceuticals, produsen nabiximols yang kandungan THC dan CBD-nya 27:25, juga membuat minyak CBD bertaraf obat (pharmaceutical-grade). Minyak itu dijual dengan jenama Epidiolex® seizin Badan POM AS pada 2018 untuk diresepkan pada pasien yang resistan terhadap perawatan epilepsi, yakni anak-anak yang mengalami sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut. Bahan baku obat berbentuk cairan tetes oral ini pun tanaman. Perusahaan itu memang punya izin penelitian dan pengembangan ganja.

Jadi klaim bahwa obat berbahan baku ganja dihasilkan dari rekayasa genetika itu tidak sepenuhnya salah, hanya saja didasari cara berpikir yang terlalu kompleks atau cenderung berprasangka buruk bahkan minder. Ya, minder kalau bangsa Indonesia tidak akan mampu mengekstrak dan memisahkan zat-zat dalam tanaman ganja yang potensial untuk pengobatan tersebut.  

Penguasaan Bahan Baku Obat

Kita sudah tahu kalau tanaman ganja setidaknya mengandung dua zat yang berguna buat pengobatan, THC dan CBD. Laboratorium botani di manapun pasti bisa mengekstrak dan memisahkan zat tertentu dari sebuah tanaman yang akan jadi bahan baku obat.

Sativex® dan Epidiolex® buatan perusahaan obat Inggris adalah buktinya. Sativex mengandung THC dan CBD yang kadarnya hampir sama, sementara Epidiolex murni CBD. Bahan baku kedua obat itu adalah tanaman ganja.

Baca juga:  Tato: Antara Stigma dan Simbol Ekspresi

Saya yakin, laboratorium farmasi komersial maupun pendidikan di negeri ini punya kapasitas mengembangkan jenis ganja yang bakal sangat bermanfaat untuk dunia medis. Bukan hanya itu, dengan kebun-kebun ganja yang seakan tiada habis dibumihanguskan, Indonesia potensial untuk mengembangkan ekonomi dari budi daya ganja seperti yang dilakukan Lebanon.

Pada 21 April lalu, Lebanon menjadi negara Arab pertama yang meresmikan budi daya ganja demi mendongkrak pendapatan negara dari peningkatan ekspor hasil olahan pertanian ganja medis. Sebelumnya Lebanon terkenal akan damar ganja alias hashish yang dikirim secara ilegal ke Afrika dan Eropa.

Kalau penelitian yang diklaim rapat koordinasi pemerintah akhir Juni lalu menyatakan ganja di Indonesia mengandung 18 persen THC, maka kandungan zat psikoaktif ini dalam hashish bisa mencapai 65 persen, dan pada minyak hashish berkisar 30 hingga 90 persen. Tentunya dalam hashish juga terkandung CBD (Inciardi, 1992).

THC memang dikenal sebagai zat psikoaktif ganja. Karenanya, ada saja yang memanfaatkan ganja untuk rekreasi ketimbang pengobatan. Konsumen yang mencari kandungan THC tinggi, tentu lebih memilih hashish ketimbang melinting bunga ganja kering karena konsumsinya tentu akan jauh lebih hemat. Dari beragam jenis turunan ganja, rata-rata kandungan THC-nya 12 persen.

Di situs Cannaconnection.com yang berbasis di Amsterdam, Belanda, kita bisa mencari tahu kadar THC-CBD, spesies, siklus berbunga, cara serta tingkat kesulitan menanam, dan sebagainya dari berbagai jenis turunan ganja. Salah satu bibit yang dikategorikan mengandung THC tinggi, antara 20-25 persen, dinamai THC Bomb

Contoh lainnya adalah Sour Diesel, nama salah satu dari sepuluh jenis turunan ganja terbaik di California, AS. Ganja hibrida berkadar THC 19 persen ini pernah jadi favorit penyelundup antarnegara bagian terutama ke New York yang baru mengesahkan ganja untuk keperluan medis pada 2014. Tapi sampai sekarang pun, dalam situs Wheresweed.com, jenis ganja ini tidak ditemukan di seluruh apotek ganja yang ada di kota New York

Dibanding hashish, kandungan THC pada jenis ganja bernama Sour Diesel maupun THC Bomb hanya sekitar sepertiganya.

Hashish Lebanon sungguh masyhur hingga negara itu dijuluki ibu kota hashish dunia. Karena tidak ingin laba dari pertanian ganja hanya mengalir ke sindikat kejahatan, Pemerintah Lebanon akhirnya mengesahkan budi dayanya dengan tetap mempertimbangkan dampak moral dan sosial warganya. Mereka tidak beralasan kalau ganja dilegalkan, maka akan lebih banyak rakyat yang mengonsumsinya terdampak bahaya hashish yang kadar THC-nya jauh di atas ganja yang biasa dikonsumsi di Nusantara.

Sebagai perbandingan, prevalensi konsumen ganja di Lebanon 1,9 persen pada 2009, sedangkan di Indonesia 0,4 persen pada 2008 (World Drug Report 2011).

Bersambung

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

2 Comments

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.