close
FeaturedLayanan

Benarkah Ganja di Indonesia Tidak Bisa Dijadikan Obat? (Bagian 2)

Medical Indo
Sumber ilustrasi: Freepik

Artikel Sebelumnya

Saya ingin membayangkan apa yang terjadi dalam rapat koordinasi pemerintah akhir Juni lalu sampai mereka yakin kalau saat ini ganja yang tumbuh di Indonesia beda dengan yang tumbuh di Eropa dan Amerika.

Ganja dalam Rezim Pelarangan Narkoba Internasional

Karena peserta rapat koordinasi pemerintah berdalih menggunakan hasil penelitian, maka sangat mungkin yang mereka gunakan adalah literatur ilmiah tentang deskripsi Jean-Baptiste de Lamarck soal spesies ganja kedua. Waktu itu memang para ilmuwan botani baru mengklasifikasi dua spesies ganja, yakni yang tumbuh di Eropa, Cannabis sativa dan Asia khususnya India, Cannabis indica.

Bahkan peserta rapat tidak hanya menggunakan ilmu botani sebagai rujukan, tapi lebih komprehensif mencakup sejarah, politik, hingga pertanian organik berkelanjutan (sustainable organic farming). Buktinya, pemerintah meyakini konsistensi tumbuh suburnya tanaman ganja di tanah air kita sampai saat ini merupakan ganja ber-THC tinggi yang bibitnya diboyong penjajah Belanda dari India sebagai pestisida alami pada abad 19. Sungguh epik!

Berdasarkan penelitian yang pemerintah jadikan dasar untuk menolak rekomendasi WHO soal ganja, kadar THC pada ganja yang tumbuh di Indonesia sebesar 18 persen. Lalu ada dua jenis ganja lain yang telah saya ulas, yakni THC Bomb yang berkadar THC hingga 25 persen dan bergenetika antara sativa dengan indica 50:50 serta Sour Diesel yang berkadar THC hingga 19 persen dan bergenetika antara sativa dengan indica 70:30.

Dengan kemajuan teknologi dan informasi pertanian saat ini, tentu semua jenis bibit baik hibrida maupun murni bisa dibudidayakan di manapun. Celakanya, pelarangan pemanfaatan ganja malah membuat para petani bebas menentukan tempat menanam, kadar THC-CBD, kepada siapa mereka memasok, untuk keperluan apa, dan tentu saja harga jual yang semena-mena serta bebas pajak.

Untuk lebih memperjelas, rekomendasi WHO yang ditujukan kepada Sekjen PBB adalah menghapus ganja dan getahnya dari Golongan IV Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961 (Konvensi 1961), tapi tetap berada di Golongan I.

Baca juga:  Mengulas Feminisme Tani

Suatu zat yang berada pada dua golongan sekaligus dalam konvensi itu dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan (ill-effect), dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan. Contoh zat yang ada di dua golongan tersebut adalah fentanyl, heroin, dan opioid lain yang dianggap berbahaya karena konsumsinya dikaitkan dengan risiko kematian yang signifikan.

Sumber bagan: Bedrocan

WHO merekomendasikan supaya ganja dikeluarkan dari Golongan IV Konvensi 1961 karena konsumsinya tidak diindikasikan merugikan kesehatan serta berkaitan dengan risiko kematian yang signifikan. Justru, kandungan dalam tanaman ganja memiliki potensi pengobatan nyeri dan kondisi kesehatan lainnya seperti epilepsi serta multiple sclerosis.

Oleh sebab itu, ganja dan getahnya seharusnya digolongkan pada tingkat pengendalian yang dapat mencegah dampak merugikan atas konsumsinya. Penggolongan ini jangan sampai menghalangi akses bagi pemanfaatan serta penelitian dan pengembangan zat-zat turunan ganja untuk keperluan medis.

Yang esensial dari rekomendasi tersebut adalah, zat-bermanfaat-obat dari tanaman ganja dikeluarkan dari konvensi-konvensi PBB atau pengawasan internasional tentang narkoba karena ketiadaan risiko yang relevan terhadap kesehatan masyarakat. Catatannya, ganja yang mengandung CBD itu memiliki kadar THC kurang dari 0,2 persen.

Kabar baiknya, CBD secara spesifik tidak pernah terdaftar di konvensi pengendalian narkoba PBB 1961, 1971, maupun 1988. Bagaimanapun, jika berbentuk ekstrak atau larutan, maka CBD terdaftar di Golongan I Konvensi 1961. Karena itu, WHO merekomendasikan supaya istilah ekstrak dan larutan (tincture) dihapus dari konvensi karena penafsirannya yang kompleks.

Antara Ekonomi Takhayul dan Ilmiah

Saya juga penasaran kenapa pemerintah berpendapat, tanaman ganja yang tumbuh di Indonesia lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi ganja. Padahal berbagai literatur menunjukkan, kalau di dunia ini belum pernah ada kematian yang diakibatkan overdosis THC karena konsumsi ganja. Bahkan laporan rutin Pemerintah AS meneguhkan fakta ini.  

Saya yakin, pakar-pakar narkoba di kementerian kesehatan sebenarnya tahu. Persoalannya, apakah mereka memperbarui dan mengklarifikasi wawasannya atau tidak. Sebab, pertengahan November 2017 ada berita heboh di sejumlah media nasional AS yang menyatakan, kematian bayi usia 11 bulan di Colorado, AS pada 2015 sebagai kematian akibat ganja pertama di dunia.

Baca juga:  DKRC Fusion dan Sepak Bola Indonesia yang Inklusif

Kedua dokter yang menulis makalah tentang kematian bayi itu akhirnya mengklarifikasi kalau media terlalu membuatnya sensasional padahal mereka belum menunjukkan dampak dan penyebabnya, baru sebuah asosiasi.

Fenomena peresmian budi daya ganja untuk keperluan medis di Asia (Thailand [2018] dan Lebanon [2020]) seakan, atau jelas menunjukkan bahwa negara-negara itu tidak mempermasalahkan mudarat konsumsi ganja seperti yang dikhawatirkan Pemerintah RI, yakni peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi ganja.

Tentu mereka pikir, untuk apa mengkhawatirkannya? Toh WHO yang terdiri dari ahli-ahli di bidang ini sudah melakukan kajian bertaraf internasional selama bertahun-tahun. Hasilnya pun sesuai dengan fakta yang ditunjukkan oleh data-data statistik sejagat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Lagi-lagi saya berimajinasi apa yang terjadi dalam rapat koordinasi sejumlah lembaga negara akhir Juni lalu itu.

Mungkin dalam rapat itu sudah ada yang tahu alasan WHO merekomendasikan supaya ganja dikeluarkan dari rezim pelarangan narkoba global, karena sampai sekarang belum pernah ada kematian akibat kelebihan dosis konsumsinya.

Tapi pasti ada juga aparat yang merasa jadi kurang heroik kalau tiba-tiba tupoksinya berubah dari pembumihangusan ladang-ladang ganja di lereng terpencil menjadi pengurus administrasi tanaman. Nantinya mereka cuma mengurus izin siapa yang boleh menanam, mendistribusikan, dan menyerahkan ganja pada masyarakat yang membutuhkan.

Mereka yang biasa naik turun lembah pegunungan, berjalan kaki masuk hutan yang medannya terjal berkilo-kilometer selama berhari-hari, dan menutup perjalanan penuh petualangan itu dengan aksi pembakaran ribuan batang pohon ganja sebagai simbol kesuksesan, tentu akan merasa terhina atas perubahan job description tersebut.

Bisa jadi, itu yang dirasakan sebagian peserta rapat. Betapa berat mereka menerima kenyataan harus berubah dari petualang rimba raya yang heroik karena juga kerap menodongkan senjata api dan membekuk terduga penjahat di puncak gunung, menjadi petugas yang mengurus administrasi cocok tanam ganja.

Baca juga:  Hubungan Kelamin dengan Pengidap Klamidia Berisiko Tularkan HIV?

Maka rapat koordinasi tersebut setuju untuk menolak rekomendasi WHO soal ganja karena, kesan sangar mereka jelas akan luntur di hadapan para petani ganja kalau mereka menyetujuinya. Yang juga menyedihkan, mereka akan kehilangan anggaran ekspedisi pencarian ladang ganja ilegal mulai dari pengadaan kendaraan, senjata, satelit atau drone, penginapan, sampai uang saku harian (per diem) selama tugas ekspedisi itu.

Peserta rapat koordinasi itu juga ada yang merasa akan kehilangan kesempatannya untuk memeras petani ganja agar hukumannya tidak terlalu berat atau bahkan bisa bebas dari jerat hukum pidana. Mereka juga bakal kehilangan pendapatan dari usaha menjadi beking bisnis ganja ilegal yang berkisar dari perlindungan penanaman, pengiriman, hingga perdagangan ecerannya.

Akhirnya demi semua alasan itu, para peserta rapat memutuskan bahwa negara ini harus berdaulat dalam kebijakan narkotikanya terlepas dari dikeluarkan atau tidaknya ganja dari Konvensi 1961 sesuai rekomendasi WHO pada Desember mendatang. Padahal konvensi itulah yang selama ini selalu dijadikan alasan aparat dalam menumpas ganja karena UU narkotika kita mengacu pada konvensi tersebut.

Seandainya memang itu yang terjadi, saya optimis ke depan akan lebih banyak budi daya ilegal dengan spesies, genus, varietas, dan hasil rekayasa genetika tanaman ganja yang sangat beragam di berbagai penjuru negeri. Sebenarnya keanekaragaman tersebut bisa lebih bermanfaat untuk masyarakat kalau ganja tidak lagi menjadi sasaran represi kebijakan pelarangannya. Dengan kata lain, negara hadir mengakomodasi penelitian dan pengembangan berbagai upaya tersebut.

Thailand dan Lebanon memilih untuk tidak mempertebal takhayul tentang ganja dengan melakukan berbagai riset dan pengembangan budi dayanya. Hingga pada akhirnya, upaya-upaya tersebut akan menunjukkan bukti-bukti ilmiah pengobatan berbahan baku ganja yang lebih solid yang sebenarnya telah dipraktikkan umat manusia setidaknya sejak Zaman Mesir Kuno pada 1550 SM.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.