Kematian Hendri Alfred Bakari adalah insiden memalukan bagi penegakan hukum Indonesia. Kematian Hendri tidak hanya menunjukkan indikasi perilaku penyiksaan yang sudah membudaya namun juga keengganan institusi kepolisian untuk melangkah menuju perubahan.
Demikian pernyataan pers kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Komunitas Pengguna NAPZA, hari ini (12/8).
Seperti diberitakan sejumlah media, seorang warga Batam bernama Hendri Alfred Bakari (38), tewas saat ditahan di Polresta Barelang, Batam, Sabtu (8/8). Dua hari sebelumnya, Hendri dijemput polisi dengan tuduhan kepemilikan narkoba.
Beberapa hal dalam kasus ini dinilai janggal di antaranya Hendri ditangkap tanpa surat penangkapan dan surat kematian menunjukkan ia meninggal pada 07.13 WIB namun keluarga baru diberitahu siang hari dengan dalih untuk menemui Hendri terlebih dahulu. Hal lain yang dianggap janggal adalah kepala Hendri dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal dan ketat serta adanya beberapa bekas memar di tubuh Hendri.
Kasat Narkoba Polresta Barelang Kompol Abdur Rahman menyatakan bahwa Hendri mengalami sesak napas. Keluarga Hendri juga kebingungan karena pihak rumah sakit mengatakan bungkusan plastik itu dibuat pihak kepolisian sedang pihak kepolisian mengatakan sebaliknya, bungkusan plastik itu dilakukan pihak rumah sakit.
Hendri selayaknya mendapatkan proses hukum yang prosedural, sesuai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kepolisian juga sudah sepatutnya menyampaikan surat penangkapan pada Hendri sebagaimana amanat Pasal 18 KUHAP dan Pasal 17 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Kapolri yang sama disampaikan pula larangan akan perilaku penyiksaan yang pada kasus ini terindikasi keberadaannya, terutama pada Pasal 5 ayat 1 huruf bb, Pasal 10 huruf e, dan Pasal 11 ayat 1 huruf b.
Praktik penegakan hukum yang sarat dengan penyiksaan ini sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas konsumen narkoba di seluruh Indonesia. Peristiwa yang menimpa Hendri menjadi bukti sahih atas pengalaman kolektif ini. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dengan mudah menjerat pidana seseorang juga memberi sumbangsih pada hal ini. Upaya pembuktian dalam proses hukum narkotika kerap berat pada aspek pengakuan tersangka, yang tidak jarang diupayakan lewat praktik penyiksaan.
Kabid Humas Polda Kepulauan Riau, Kombes Harry Goldenhart Santoso yang menyatakan antara lain ia (Hendri-red) adalah pengedar, kurir narkoba serta narkoba musuh kita semua, juga menunjukkan aspek penting lainnya yakni demonisasi narkotika. Demonisasi ini seakan mengizinkan pembuat undang-undang untuk membentuk regulasi tanpa basis bukti dan hak asasi manusia serta permisif pada praktik penegakan hukum yang tidak sesuai prosedur dan mengandalkan penyiksaan.
Menganggap pihak Kepolisian tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini secara profesional, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aksi Keadilan Indonesia (AKSI), Banten Drug Policy Reform, Forum Akar Rumput Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Persaudaraan Korban Napza Kepulauan Riau (PKN Kepri), dan Yayasan Embun Pelangi mendesak agar Polri menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan.
Mereka juga mendesak agar Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman melakukan investigasi mandiri pada kasus ini untuk menekan Polri, memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi.
Terakhir, desakan ditujukan pada pemerintah dan parlemen untuk mendekriminalisasi konsumsi, kepemilikan, dan pembelian narkotika dalam jumlah yang cukup untuk konsumsi pribadi supaya pendekatan kesehatan masyarakat lebih dikedepankan ketimbang hukum pidana.